#Lima

524 88 11
                                    


Please play the video after finishing this chapter.

Kim Hwa Young

Shooting MV dimulai.

Aku menyiapkan kamera dan mengabadikan momen tiap member saat mereka mulai serius latihan secara personal. Termasuk cowok hiper yang kudapati sedang berlatih vokal bagian rap. Tak butuh waktu lama sampai ia menyadariku merekamnya.

Kenapa aku merasa dipekerjakan menjadi penguntit?

Gerakan jarinya menekan layar datar di ponsel. Ia menggoreskan senyuman khas berbentuk hati. 

"Lanjutkan saja rekamanmu."

"Oke, er...?"

Ia cepat-cepat menyahut, "Namaku J-Hope. Panggil saja Hobie, atau Hoseok. Asal jangan kuda."

Suatu hal yang melegakan saat kau harus berhenti memanggilnya cowok hiper atau pemuda tanpa nama.

"Oke, Hobie, atau Hoseok. Mengerti," ulangku mengangguk.

Hoseok mendekat, berbisik sensual, "Gimana? Apa aku sudah seperti anak SMA?"

Perlu diketahui bahwa ia melakukannya untuk entertain karena aku sedang merekam. Hoseok terus menyerocos, "Rasanya seperti kembali ke masa sekolah. Kau pernah jatuh cinta saat SMA?"

Ketika ia berbicara begitu dan aku dapat menangkap siluet Jimin ada di belakang sana, pikiranku kembali melayang beberapa tahun lalu.

Mengapa mereka harus memakai konsep cinta-cintaan begini?

Wah, sial.

Rasanya seperti flashback. Pikiranku mulai membaur dengan kenangan konyol di masa lalu ketika menggilai Park Jimin. Tanganku terus gemetar jika mengingatnya seraya menatap orang yang dimaksud. Aku pasti sudah kehilangan akal sehat.

Jimin tersenyum dari kejauhan sembari melambaikan tangan singkat.

Itu pernah terjadi di masa lampau, sekali.

Saat itu ia mengenakan seragam yang sama, seragam sekolah. Tangannya melambai sangat antusias. "Hei! Young-ah!"

Kepalaku mengadah. Ketika aku berpikir apakah dia sedang memanggilku, seseorang tepat di belakangku berlari ke arahnya.

Cewek itu Jung Hee Young, teman sekelasku.

Aku tahu kok kalau saat itu dia juga sedang mengejar seseorang. Dan cewek itu sudah punya pacar.

Aku tidak ingin berharap banyak. Melihatnya tersenyum di hari itu saja sudah cukup.

Lihat betapa pasrah dan gilanya aku pada Park Jimin. Hanya seorang Park Jimin, tanpa embel-embel apapun.

"Pernah?"

"Kau bertanya padaku?" Aku mengangkat alis. Hoseok menatapku penuh tanya sekaligus pengharapan.

"Tidak. Tidak pernah." Karena itu kualami pada masa SMP.

Hoseok memperhatikan arah tatapanku. "Apa sekarang kuanggap kau pernah karena kulihat kau terus-terusan menatap Park Jimin?"

"A-apa? Tidak." Lidah sialan. Jangan gugup.

Ia tersenyum iseng. "Kau pasti bertanya-tanya kenapa aku bisa sadar."

Hatiku mencelus, walaupun sekarang aku ingin kinerja otakku tetap berjalan normal –nyatanya tidak.

"Tapi baguslah. Kau harus hati-hati padanya. Dia genit. Padahal dulu cupu," candanya.

DistanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang