#11: Sisi yang Terungkap

329 43 3
                                    

Tidak ada nama, tidak ada petunjuk atas siapa yang memberikan kado itu. Dan kalimat di memo itu sama sekali tidak menggambarkan Dongjun sedikitpun. Lagipula untuk apa dia merepotkan diri memberikan kado yang ditahan bertahun-tahun hanya untuk mengatakan bahwa dia pengecut, kalau mau, dia akan terus terang.

Hingga waktu itu datang, akan kuberikan lebih banyak, lihat, tunggu ketika aku kembali dan menjadi lebih berani.

Untuk saat ini aku seorang pengecut.

Jemarinya memainkan liontin kelinci di gelang-nya selagi kalimat-kalimat itu terus mengiang di kepala seperti kaset rusak. Ia akan tanyakan ke Dongjun nanti, ia tidak bisa membiarkan ini lebih parah.

"Tidak biasanya kau memakai aksesori? Gelangmu imut, kau seperti anak kecil memakai itu—ini pujian ngomong-ngomong. Dan syalmu lucu juga, mencolok. Hari ini kau terlihat sedikit berwarna."

Hwa Young menggulirkan matanya ke Eun Jae. Wanita itu agak berantakan pagi ini, sepertinya bayinya tidak mau tidur semalam suntuk. Tapi Eun jae tidak pernah mengeluhkan itu karena ia suka anak-anak.

"Syal dan gelang ini pemberian orang, jadi kuhargai saja selagi bisa. Apa rambut karamelku kurang terang juga?"

"Eh, itu karamel? Lebih mirip dark coklat sih," ucap Eun Jae enteng. Mungkin karena Hwa Young seringkali berkeramas jadi warnanya agak luntur sekarang. Soal syal, memang hari ini jadi banyak yang memandangnya karena warna mencolok syal ini, dan jujur saja ia tidak suka menjadi pusat perhatian. Ia menyesal, seharusnya tidak usah memaksakan memakai syal ini kalau ujungnya berpasang mata menatapnya seperti anak kecil.

Hwa Young melepaskan mantelnya dan mulai mengerjakan editing kembali. Ia harus cepat-cepat karena jam enam sore tepat ia harus bersiap bersama kamera dan merekam Bangtan.

Mulut kecilnya mengembuskan napas panjang. Satu hal yang ia tidak tahu: merekam Bangtan yang dimaksud Hak PD bukanlah semua member, melainkan satu.

.

.

.

Park Jimin

Rasa hangat samar-samar menyelimuti rambutku, seorang sylist menyisir dan meluruskan mereka dengan hati-hati. Aku duduk di depan meja rias, mengecek kontak lens keabuanku, akhir-akhir ini minusku bertambah 0,25 dan aku tidak bisa di panggung tanpa kontak lens. Lantas aku menegakkan punggung ketika seseorang berwajah familiar menyembul di ruang ganti, lengkap dengan kamera yang ia bawa.

Semakin ia mendekat, tak terasa ujung-ujung bibirku tertarik ke atas dengan sendirinya.

Syal oranye mencolok itu tampak lucu hingga terlihat menenggelamkan setengah pipinya yang bersemu. Aku jarang melihatnya memakai syal, terutama yang mencolok begitu.

"Aku tidak menyangka kau yang datang," ucapku mengawali pembicaraan.

Hwa Young Nampak terkejut, namun segera mengangguk malu. Pandangannya kemana-mana seperti mencari sesuatu. Aku ikut menoleh, masih tidak mengerti apa yang dia cari.

Tanpa ambil pusing dan aku melanjutkan, "Kemarin aku bertemu denganmu di lorong, kamu lari seperti orang kesetanan. Kamu pasti sibuk, sampai tidak sadar aku menyapamu."

Lalu bibirku tak dapat menahan diri untuk tidak tertawa dan menyeringai, meski akhirnya gagal. "Tapi itu terlihat cute. Lain kali jangan kabur lagi."

Hwa Young yang tadinya tampak menegang, kini terlihat mengendurkan otot wajahnya dan tersenyum malu—yang kumaksud di sini adalah pipi yang semerah tomat dengan ujung bibir tertarik sedikit, juga irisnya yang tak berani menatapku.

DistanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang