#Delapan

572 60 6
                                    

Park Jimin

Netraku menangkap sosok gadis yang kucari.

Kim Hwa Young.

Yang tanpa sedikitpun pernah lari dari pikiranku akhir-akhir ini. Sosok yang bahkan dulu tak pernah terbesit dalam kepalaku, yang hanya kuanggap sebagai adik kecil sahabatku, Dongjun-hyung.

Tapi kenapa... Cerita-cerita tentang Hwa Young yang keluar begitu saja dari mulut hyung masih terekam jelas di kepalaku?

Mengapa memoriku memilihnya? Seorang Kim Hwa Young?

Mengapa aku begitu percaya diri, dengan dugaanku bahwa ia --tidak, ini hanya kebetulan. Semua orang akan menuju ke tempat ini setelah apa yang telah terjadi --yang baginya sebuah momok mengerikan, terutama bukti yang masih membekas di sweater putihnya, juga tatapan semua orang, raut pedihnya.

Tidak butuh waktu lama, aku telah menemukan Hwa Young. Di satu-satunya tempat yang akan ia datangi saat depresi, sebab aku ingin jujur kalau sering menemuinya seusai di bully teman sekelas hanya karena dia gendut.

Dan Park -sialan- Jimin ini, pengecut yang tak melakukan apapun sekedar menenangkannya.

Kali ini saja.

Kali ini, biarkan aku menembus kesalahan yang lalu.

Aku memberanikan diri, "Hwa Young-ah, kau baik-baik saja?"

Tubuh itu terjengit.

Hening.

Hwa Young sama sekali tak merespon.

Aku memutuskan untuk mendekatinya, namun Jungkook yang sedari tadi membisu di belakang menepuk bahuku.

"Coba, biarkan aku, hyung."

Aku belum mengatakan apapun, sementara maknae itu langsung menjalankan rencananya.

"Kim Hwa Young, kau dengar aku?" ucap Jungkook dengan penuh kehatian.

Hwa Young takut-takut menoleh. Mendapati Jungkook yang menyentuh pucuk kepala karamelnya. Aku menampik gejolak aneh yang tiba-tiba datang, segera menyusul mereka dengan langkah cepat namun setenang yang kubisa.

Ketika mata kami bertemu, dia langsung menundukkan kepala.

Kenapa?

Apa wajahku terlihat mengerikan?

Mengesampingkan itu semua, aku harus mengatakan niatku sebaik mungkin, "Ini tasmu. Kau mau pulang sekarang? Biar aku antar ya?"

Aku menyerahkan kepunyaan Hwa Young, gadis itu menerima dengan tangan gemetar. Rautnya dingin dan pucat, tak ada semu kemerahan yang selalu menyapu kedua pipinya.  Kacamatanya basah, sebasah titik-titik keringat dingin di sekitar dahi gadis ini. Ia nampak begitu... Lusuh.

Separah inikah depresinya? Astaga, Hwa Young... tolong jangan menatapku seperti itu. Jujur saja itu membuat dadaku terasa sesak.

"Aku... bisa pulang sendiri," cicitnya.

"Dengan kondisi seperti ini?"

Jungkook sontak menyikutku. Ouch, ulu hatiku mendadak nyeri.

Asal kau tahu, aku tidak berniat sama sekali menyangkut pautkan penampilan Hwa Young saat ini. Lagipula, siapa yang tega membiarkan gadis dengan mental breakdown pulang tengah malam sendirian, di udara sedingin ini?

Oke, kuakui ucapanku tetap salah.

Tapi aku juga bukan boneka kayu wingchun yang bisa kau sikut sembarangan, Jungkookie.

"Jangan dengarkan Jimin-hyung," sahut Jungkook. "Kau bisa berdiri?"

Hwa Young tidak mengatakan apapun, namun ia menerima uluran tangan Jungkook. Ia hanya mengangguk kecil sebelum menopang tubuh kurusnya untuk berdiri.

Ini benar-benar titik dimana aku tidak mengerti mengapa Jungkook begitu dekat dengan Hwa Young. Diperparah oleh ketidak-mengertian soal kebencian Hwa Young terhadapku. Karena --hey, dia hampir mengabaikan seluruh eksistensiku saat ini.

"Kembalilah. Aku bisa kok pulang sendiri, serius. Jangan perdulikan aku, member lain pasti mencari kalian nanti," ucap Hwa Young, terlihat sekali memaksakan senyum.

Jungkook langsung menyahut, "Aku sudah bosan di sana. Aku juga ingin pulang, ya kan, hyung?"

Aku melepas jaket denimku sembari mengangguk singkat, memastikan Hwa Young. Namun lagi-lagi gadis itu menghindari kontak mata.

Barulah netra coklat itu bertemu milikku saat kusodorkan jaketku padanya. Ia memasang wajah bertanya.

"Pakailah. Ini bisa menutupi... em, itu."

Dia pasti lupa membawa mantel kremnya.

Namun mengejutkannya, ia kembali tersenyum -persis seperti yang kulihat saat aku membuatkannya teh kemarin.

Suara lembutnya mengalun, singkat, padat, sangat jelas, "Terimakasih."

Tahan perasaanmu, Park.

.

.

.

Pada akhirnya aku tahu dimana letak flat Hwa Young berada.

Flat yang tidak begitu besar, namun nampak asri dari luar. Dindingnya yang sebagian bermotif bata merah seakan menutupi kelusuhan gedung ini. Lampu-lampu di tiap balkon beberapa masih menyala, menunjukkan keberadaan tiap penghuni flat.

Dari lobi saja aku bisa menebak lorong antar flat pasti sempit sekali, hanya sekitar satu meter, mungkin?

"Kau baik-baik saja tinggal di sini, Hwa Young-ah?" tanyaku. Agak takut jika claustrophobia-nya kambuh sewaktu-waktu.

Ia menggigit bibirnya sekilas, "Ini nyaman. Aku suka di sini."

"Syukurlah," jawab Jungkook tanpa beban. "Kalau begitu kami pulang dulu."

Aku ikut pamit, tapi di sisi lain aku ingin tetap tinggal. Maka sebelum benar-benar bisa beranjak dari sana, Hwa Young menahanku.

"Ah, Jimin-ssi, jaketmu!"

Aku menahan tanganku di handle pintu kaca lobi dan berbalik menatapnya, "Simpan saja. Kau bisa kembalikan nanti, ok?"

Meski ia terlihat ragu, Hwa Young mengangguk canggung.

"Sekali lagi,"

Nada Hwa Young merendah, nyaris seperti bisikan, "Terimakasih... Jimin."

Bukan Jimin-ssi, bukan Jungkook, bukan Park. Jimin, hanya Jimin. Aku mulai suka bagaimana suaranya menyebut namaku. 

Cukup dengan satu kata istimewa yang tak terlalu kuharapkan, menjadi sesuatu yang terdengar begitu manis --entah mengapa, hanya gadis ini yang bisa, Hwa Young.

Aku tersenyum, "Sudah malam, jaljayo."

My heart flutters so fast, and it's getting warm as if summer in October.

#To Be Continued

Kayaknya ff ini bakal ada perbaikan (gizi) karena beberapa faktor yang tidak mengenakkan di hati Kei. Maaf update lama :" kalo lagi vakum di Wattpad berarti daku lagi ngerjain video-nya itu aja sih ^^

DistanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang