#Prolog

1.4K 139 11
                                    

Semua ini hampir berawal saat aku mendapati sosok berpeluh itu meneguk minumnya rakus. Aku mengerti betul setiap inchi gerakannya. Bibirnya yang tebal, jerawat tepat di tulang pipinya, juga kacamata berembun yang ia lepaskan sekarang.

Bahkan pendingin ruangan yang suhunya membuatku mengigil juga tidak membantunya sama sekali. Ia masih mencoba mengatur napasnya, dan saat ingin memuaskan hasrat hausnya lagi, mulutnya berdecak kesal. Pemuda itu refleks mengerucutkan bibir sembari menggoyangkan botol kosong itu sebelum berakhir di tong sampah terdekat.

Aku hanya mematung di balik meja kasir, ia bahkan tak kunjung membayar tagihan sejak setengah jam yang lalu. Kami sama-sama membiarkan suara detik jarum jam terdengar begitu mencekam dan sepi. Hanya saja pemuda itu tak begitu peduli, masih sibuk mengatur napas.

Pemuda itu kembali membuka kulkas lagi, mengambil sebotol air mineral dingin yang tersisa di sana. Kulkas itu tepat disamping meja kasir. Walaupun ini kali kedua ia menghampiri, aku menaruh perhatian pada bisepnya yang terekspos, mengkilap oleh peluh. Entah memamerkan hasil latihannya atau memang ia benar-benar kepanasan kali ini.

Aku berani berdehem. "Ma-maaf, kami akan tutup sebentar lagi."

Lancang sekali dirimu, rutukku. Tapi gila ya, ini hampir jam dua belas malam dimana harusnya tempat latihan ini tutup sejam yang lalu. Lebih gilanya lagi–

"Kamu baru ya di sini?" dia bertanya setelah mendapatkan satu tegukan. Aku benar-benar tidak pernah sedekat ini dengannya. Maksudku dekat dalam artian jarak.

–dia Park Jimin sunbaenim. Dan dalam sepanjang sejarah masa sekolahku–sumpah demi apapun, ini percakapan pertama kami. Rentetan kalimat tak berguna terus mengiang di otakku dan Jimin sunbae mulai mengangkat alisnya bingung. Kalau ia sampai tahu cewek kucel ini penguntitnya di sekolah, tamatlah riwayatku.

Bibirku gemetar, pendingin ruangan semakin membuatku hipotermia. "A-aku hanya menggantikan kakakku jaga."

"Kau baik-baik saja? Suaramu gemetar," ucapnya simpati. Jimin memajukan tubuhnya, dan aku refleks mundur kebelakang–hampir terjungkal dengan tidak elit. Aku setengah berteriak, "Aku baik-baik saja, aku baik."

"Tapi itu tidak terlihat baik-baik saja."

Aku bangkit, pura-pura sibuk merapihkan sweater kaos yang kupakai. Aku benar-benar tidak bisa menatap Jimin dalam jarak sedekat ini. Aku malu dengan penampilanku–aku tidak siap untuk ini.

Siapa yang menyangka kalau tempat latihan dance-nya begitu dekat dengan rumahku? Tapi memang bukannya Park ini cowok paling populer di sekolah, heol siapapun tidak bisa mengendalikan dirinya di depan orang yang ia sukai 'kan? Oh, kecuali kalau kau menghitung kepopuleran saat ia memakai hanbok wanita dan memenangkan penghargaan di festival sekolah.

Jimin melirik jam dinding lalu menyeletuk, "Ok, aku harus pulang sekarang."

Ia menatap ke sini lagi. Aku berharap dia tidak mengingat detil wajahku, karena ini sudah sangat merah sekarang–uh, memalukan. Sempat terdengar ia bertanya 'habis berapa?' sayup-sayup.

"Uh–anu, gratis," ucapku gugup, malah terdengar seolah aku memberikannya dengan penuh keraguan. Jimin melebarkan matanya, nampak tak percaya apa yang ia dengar barusan. Ya, aku tahu yang tadi hampir terdengar seperti cicitan.

"Apa?" tanyanya meyakinkan diri.

"Gratis," celetukku.

Jimin sunbae tertawa sambil menggeleng, "Mana bisa begitu. Aku memakai studio hampir lima jam lho."

"Kami sedang ada diskon." Baiklah, itu bohong. Aku yang menanggung semua biayanya. Itu hanya alibi atau entah kerasukan setan mana, aku sedang berusaha menunjukkan rasa kagumku pada Park Jimin.

DistanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang