#Sepuluh

306 47 4
                                    

"Hwa Young, itu siapa?"

Kim Hwa Young merasakan bibirnya gemetar, bahkan hanya sekedar menjawab pertanyaan ibunya.

"Ah, dia? P-park Jimin. Teman sekantorku, kenapa Eomma?"

Sedangkan di seberang sana, tanpa disadari oleh si gadis karamel, Park Jimin telah mendaratkan pandangan padanya sejak sepuluh menit yang lalu—kalau boleh dihitung, bersama beberapa suapan jigae sembari memerhatikan gadis itu berkomunikasi dengan ibunya.

"Kau memanggilku?"

"Ya—astaga Jimin!" Hwa Young sontak merenguh dadanya seolah mencegah jantungnya melompat. Suara Jimin seakan dikatakan langsung tepat di telinganya, begitu dekat. Ia menjamin itu adalah suara tertinggi yang keluar dari mulut kecilnya, merubuhkan image yang selalu dijaga dengan amat baik.

Jimin menganggukan kepalanya hormat, "Oh, annyeong haseyo, Eommoni. Masih mengingatku? Ini Park Jimin."

Nampak dengan jelas iris Hwa Young melebar. Begitu pula ibunya, hanya saja dalam keterkejutan kegembiraan.

Eommoni!?

"Aigoo, ini Park Jimin? Uri Jiminie! Kemana saja dirimu, eoh? Kau tambah tampan!" pekik ibu Hwa Young penuh kegembiraan. Dan jangan lupakan logat Busan yang kental.

Uri Jiminnie!?

"Hwa Young, berikan ponselmu padanya." Bahkan Hwa Young tak dapat menemukan kata-kata untuk mengekspresikan perasaannya.

Ketika gadis itu menyadari ponselnya berpindah tangan ke Jimin, ia dapat mendengar ibunya menyerocos banyak sekali, namun yang terdengar di telinga hanyalah, "Bagaimana kabarmu? Kau menghilang lama sekali aigoo... Tolong jaga Hwa Young ya... Aish, jangan pikirkan Dongjun!"

"...Hwa Young ah?"

"Y-ya bu?"

"Berhentilah menangis ok?"

Oh, mungkin Jimin mengungkapkan semuanya.

Otaknya tidak bisa mencerna apapun hari ini, detik ini.

Ia mendengar suara lembut Jimin saat melihat layar ponselnya meredup, "Hei...?"

"Jimin," Hwa Young menerjapkan mata, menatap lurus obsidian milik Jimin. "Apakah—jangan bilang kau—"

Sebuah telunjuk menghentikannya. Sedetik pemuda itu tertangkap basah gelagapan persis seperti dirinya, sebelum kembali mengontrol diri dengan mengerucutkan bibir plum-nya.

"Eiy, kenapa jiggae-nya tidak dihabiskan? Kau belum makan dari pagi kan?" omel pemuda itu dengan logat khasnya. Jimin bahkan menyendokkan potongan besar nasi berkuah sup pedas itu sembari terus menyerocos dan Hwa Young hanya mampu membuka mulutnya dengan pikiran yang masih kacau.

Tuhan, entah bagaiman Hwa Young akan menghadapi pemuda ini kedepannya.

"Ayo, katakan aaa...."

.

.

.

"AAAH! Meja sialan! Kau harus tau posisimu sialan!"

"Yoonji...? Kau masih di sana?"

"Astaga, sepertinya kuku kelingkingku mengelupas!—Ya, aku di sini. Jangan menelponku untuk memberi kabar buruk karena aku akan membunuhmu, Kim." Lee Yoonji membenarkan letak ponselnya, sibuk mencoret ukuran ruangan yang akan didekor ulang. Bukan hanya rasa sakit luar biasa karena hanya mengenakan flat shoes tipis terpentok ujung meja, melainkan juga kesialan berkali lipat hari ini. Kesialan Yoonji tidak bisa jauh-jauh dari bos Park, yang sangat kurang kerjaan menyuruhnya mengukur ulang semua proyek apartemen milik istrinya yang ribet.

DistanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang