#Sembilan

691 73 25
                                    

Kim Hwa Young

Kalau boleh jujur,

Musim gugur adalah favoritku, dimana semua dedaunan berubah menjadi jingga kecoklatan. Aroma kayu lembab yang menguar di tiap sudut taman, dan juga angin sejuk di sore hari. Apalagi jika kau menggelar tikar lalu piknik di bawahnya, menikmati buah favorit pula —jeruk.

Ngomong-ngomong soal jeruk, aku jelas mendapati aroma segar itu, bercampur samar dengan lembutnya bunga lilac, tercium dari jaket denim milik Park Jimin.

Astaga, bau ini —tidak salah lagi, Jo Malone Orange Blossom. Parfum impian yang harus kugapai selama menabung bertahun-tahun. Aku jelas sampai menyimpan selembar tasternya di kantung mantelku berminggu-minggu.

Katakan aku maniak, karena nyatanya aku memeluk jaket ini seolah memeluk pemiliknya. Erat sampai aku menghentakkan seluruh lantai, berputar dan berteriak kegirangan seperti fans yang dapat botol bekas idolanya.

Orange Blossom, musim gugur, Park Jimin —eh koreksi: jaketnya, perpaduan yang aneh tapi sempurna.

Detik kemudian aku bertanya-tanya sejak kapan dia suka memakai parfum wanita?

Getaran ponsel yang menjawabku.

"Halo?"

"YA! KIM HWA YOUNG! BEGINIKAH CARAMU MEMPERLAKUKAN OPPA? KAU TIDAK MENJAWAB 124 TELEPONKU!"

Aku meringis.

Kudekatkan lagi smartphone jadulku dengan hati-hati. Menarik napas panjang sepelan mungkin agar tidak terdengar olehnya, bisa-bisa aku telak disemprot lagi. "Maaf, aku —err, sibuk."

Musim comeback jelas seperti jogging di musim panas siang bolong tanpa henti. Meski suhu luar hampir mendekati 5 derajat, tapi kondisi dalam kantor —terlebih jika kau berkunjung ke studio dance Bangtan, rasanya seperti masuk sauna. Sampai-sampai cermin mereka bahkan berembun.

"Sibuk?" Aku bisa mendengar jelas nada sarkastik tersemat di sana, bisa kubayangkan Oppa mengalihkan wajahnya seperti mendecih. "Aish, anak ini, lama-lama aku pindah ke Seoul juga nih."

Benar-benar deh. Satoori Busan-nya mengalahkan ahjumma di kamar sebelah yang suka mengomeli anaknya yang tukang mabuk.

"Kau tidak tahu betapa menyebalkannya dirimu ketika tidak ada kabar apapun selama 24 jam, kukira kau diculik maniak atau hantu kota."

Aku memutar mata, "Oppa, ini abad millennial. Kalaupun ada hantu, dia takkan betah tinggal di sini, orang lebih takut pada deadline."

Ngomong-ngomong soal maniak, sepertinya diriku sendirilah yang masuk kategori itu. Tapi sejurus kemudian, Oppa tiba-tiba tidak tertarik lagi membahas topik soal hantu atau mengomeliku. Suaranya lebih dalam dan serius.

"Eomma, dia di rumah sakit."

.

.

.

Aku hampir saja menjatuhkan kamera dari tripod.

Karena gerak reflekku yang berlebihan dan menegangkan, Hoseok yang pertama kali kaget setengah mati, "Eoya! Apa kau baik-baik saja? Apa kameranya terselamatkan?"

Trio dancer andalan Bangtan ada di sini semua; Hoseok, Jimin, Jungkook. Sisanya masih bergumul di studio pribadi atau mungkin masih memikirkan menu sarapan mereka di dorm. Bahkan aku sangat yakin ketiga orang ini datang dari subuh mengingat keringat mereka yang sudah merembes begitu saja.

"Untungnya tidak apa-apa, maafkan aku. Aku akan lebih berhati-hati." Hoseok yang tadinya menatapku dengan mata melongo berubah lega. Aku tidak begitu yakin apa ada yang lebih patut disyukuri daripada gerak refleksku barusan, karena merusak properti kantor adalah hal yang paling krusial untuk staff magang sepertiku.

DistanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang