Hwa Young mengeratkan mantel kremnya. Surai karamel itu menunduk, helainya ikut membantu menyembunyikan pipi gembul yang bersemburat kemerahan. Bahkan di udara sedingin ini pipinya masih saja bisa bersemu. Gadis itu kembali mengenakan kacamata, teman seperjuangan selama lima tahun terakhir.
Shooting MV sudah berakhir dan memasuki proses editing, jadi ia tidak terlibat dengan kamera untuk saat ini. Sedangkan BTS telah mengakhiri cuti seharinya kemarin. Hwa Young bisa saja bertemu salah satu member sewaktu-waktu.
JDAK!
Dan benar itu terjadi.
Hwa Young dapat melihat sepasang kaki berbalut ripped jeans hitam terlentang di depan lift. Bunyi dentuman tadi cukup keras dan mengagetkan, tahu. Yang pasti seseorang telah tersungkur di sana.
Belum sempat Hwa Young mengumpulkan keberanian untuk menolong seseorang yang jelas memiliki kaki pria, dia bangkit. Ia menopang tangan di sisi pintu lift. Jemari itu dihiasi cincin silver lempengan polos di bagian jempol, diikuti eksistensi wajah secerah musim semi yang lalu menyapanya hangat—seolah tidak terjadi apa-apa,
"Oh. Selamat pagi, Hwa Young-ah."
Gadis Busan itu telah membuat keputusan yang salah. Seharusnya tadi lewat tangga saja, seperti biasanya.
Pintu lift mulai tertutup. Nasi sudah menjadi bubur, mau tak mau Hwa Young menjawab meski dengan nada terpelan, "Pagi, Jimin-ssi."
Park Jimin, dalam balutan jaket Supreme abu-abu favoritnya yang kedodoran dan ripped jeans di bagian lutut warna hitam. Surai hitamnya tak begitu tersisir rapih dengan wajah polos tanpa make up. He looks so puffy, wajah khas Park Jimin di pagi hari. Namun Hwa Young tak menyangkal bahwa ia menyukainya.
Tidak ada percakapan lanjutan. Hwa Young lebih mengkhawatirkan degup jantungnya yang nyaris seperti bunyi drum, takut-takut bunyi itu sampai ke telinga pemuda Park. Degup yang seirama saat Jimin sempat mengatakan "sepertinya aku pernah melihatmu" ketika shoot MV berlangsung.
Nyaris saja, waktu itu.
Mencapai lantai dua, pintu lift kembali terbuka. Ada banyak orang hingga Hwa Young pusing menghitung jumlahnya—langsung memenuhi lift begitu saja. Dan si pemuda Park menggeser tubuh ke sisinya, berniat memberi ruang mereka.
Ada yang lebih buruk.
Tubuhnya benar-benar berhimpitan dengan Jimin. Ketakutan Hwayoung tentang degup jantung itu kian nyata, ditambah deru hangat napas Jimin yang menyapu tepat di telinga kanannya. Hanya butuh sedikit dorongan, dada mereka akan sukses bertemu.
Jimin sepertinya berusaha mati-matian agar tubuhnya tetap stabil dengan menahan sebelah tangan di sisi kepala Hwa Young. Iris kelam pemuda itu melirik gadis dibawahnya yang telihat dibawah tekanan hebat.
Perjalanan menuju lantai lima seakan memakan waktu berjam-jam sebelum akhirnya mereka menghirup udara bebas.
"Hwa Young-ah, kau ok?" Jimin meremas lembut kedua pundak sempit gadis itu, berharap kekhawatirannya tersalurkan.
Hwa Young mengangguk cepat. Bahunya naik-turun tak karuan seakan lupa cara bernapas dengan wajar.
"Aku baik-baik saja. Aku baik," ucapnya setengah berteriak. Jimin tak kunjung pergi, begitu pula dengan rasa khawatirnya. "Kau mau minum teh? Atau air? Wajahmu pucat, serius."
"...claustrophobia," guman Hwa Young tak jelas. Jimin dengan sigap segera menuntunnya duduk di sofa terdekat, sebab Hwa Young terlihat nyaris pingsan secara mengenaskan.
"Tunggu di sini, jangan kemana-mana," perintah Jimin. Tak berselang lama ia kembali dengan secangkir teh hangat.
Jimin bisa merasakan badan gadis itu gemetar. Hwa Young menyesap sedikit teh, kedua telapaknya seakan memeluk cangkir hangat itu. Jemari Jimin refleks menyingkirkan helaian kecoklatan Hwa Young, membawanya ke belakang telinga—agar ia lebih leluasa minum tanpa terganggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Distance
FanfictionUntold stories of BTS Jimin Imagine video [Distance] Kim Hwa Young, Gadis pesisir Busan yang nekat menginjakkan kaki di metropolitan Seoul, hanya dengan satu nama: Big Hit Entertainment. Tapi siapa sangka, mantan senior yang dia sukai-yang bakal mem...