SAAT TAKDIR BERBICARA

1.5K 136 4
                                    

CINTA MEMANG MUDAH DATANG, tentu saja atas izin Allah. Seminggu setelah peristiwa itu, Kiya tetap berkomunikasi baik dengan Boim, ia masih menjadi tenaga pengajar di yayasan Boim. Boim pun juga bersikap biasa saja, seperti tak pernah terjadi apa-apa, pria itu memang pandai mengendalikan perasaan.

Seperti sekarang ini, Boim dan Kiya sedang berjalan menyusuri koridor, mereka tak berdua, ada Alea, salah seorang siswa yang merengek meminta untuk ikut pulang bersama Kiya. Gadis kecil berusia enam tahun itu sedang demam dan hanya Kiya yang mampu membuatnya tenang dan nyaman, menurutnya, kelemah-lembutan Kiya membuatnya teringat akan sosok ibunya yang meninggal karena tertabrak mobil saat mengemis, satu tahun lalu.

Meski begitu, sama sekali tak ada obrolan antara mereka, keduanya hanya terdiam. Boim memang bisa mengendalikan perasaan, menunjukkan sikap biasa saja, namun tidak untuk hati kecilnya. Ada suatu hal di dalam sana, di dalam hatinya, ada perasaan yang sulit ia lukiskan. Begitupun juga dengan Kiya, gadis itu terkenal periang dan selalu cuek dengan situasi apapun, namun berbeda sekarang, ia kesulitan menata perasaannya. Setiap kali berada di dekat Boim jantungnya tak pernah bisa berhenti untuk berdetak kencang, ia tak tahu apa sebabnya. Ia takut, kesalah itu akan ia ulang kembali.

"Kiya, aku titip Alea," ujar Boim saat mereka sampai di tempat parkir.

"Insha Allah, biarkan Alea tinggal bersamaku sampai ia sehat," jawab Kiya tanpa berani menatap wajah Boim.

"Baiklah, terimakasih sebelumnya," kata Boim seraya tersenyum.

"Sama-sama. Kalau begitu aku dan Alea pergi dulu. Assalamu'alaikum," ujar Kiya bergegas menuju mobil sembari menggendong tubuh mungil Alea.

"Wa'alaikumsalam," jawab Boim lirih.

Setelah Kiya dan Alea tak terlihat lagi, Boim kembali ke kelas. Jam hafalan masih ada tiga puluh menit lagi. Barulah, setelah itu Boim akan pulang. Rasanya ia sudah terlalu lelah, beberapa hari ini ia kurang istirahat, badannya sangat lelah, begitu juga dengan hatinya.

-o0o-

"Alea sayang, kamu makan dulu ya. Kak Kiya sudah buatkan sup sayuran untukmu, setelah itu minum obat lalu tidur," ujar Kiya lembut pada Alea yang terbaring di tempat tidur Kiya. Anak itu terlihat begitu pucat, tadi Boim dan Kiya memang sudah membawanya ke klinik yang ada yayasan milik Boim, namun sepertinya keadaan Alea belum ada perkembangan, badannya masih panas. Besok rencananya Kiya akan membawa gadis kecil itu ke rumah sakit, kebetulan besok hari sabtu dan Kiya libur kerja.

"Terimakasih kak, Kakak baik sekali dan cantik," ujar Alea polos.

Kiya tersenyum mendengar ucapan gadis kecil itu, saat sedang sakit gadis kecil itu malah merayu Kiya.

Alea pun bangun, Kiya menyuapkan sup pada gadis kecil itu. Kelihatannya Alea menyukai sup buatan Kiya. Memang, selain lemah lembut, Kiya pandai memasak. Dua tahun terakhir ini Kiya belajar memasak dengan kakak iparnya, Zeera. Semua itu saran dar Zeera, lantaran jika ingin cepat menikah Kiya harus belajar masak. Sungguh alasan yang sangat konyol, bukankah jadwal nikah seseorang sudah diatur oleh Allah, tak perdulu sudah bisa memasak atau belum.

"Terimakasih Kak Kiya supnya enak, andai saja Alea boleh tinggal di sini, pasti makan enak terus," ujar Alea dengan kepolosannya.

"Kalau Alea mau boleh kok tinggal di sini, dengan senang hati pasti keluarga Kak Kiya mengizinkan," ujar Kiya.

"Beneran boleh?"

"Tentu saja. Besok Kak Kiya akan urus semuanya ya supaya Alea bisa tinggal di sini," ujar Kiya mengacak rambut Alea

Sesungguhnya Kiya senang jika Alea ingin tinggal bersamanya, menurut Kiya gadis kecil itu sangat menggemaskan dan cerdas. Siapa sangka, gadis berusia enam tahun itu sudah hafal dua juz Al Qur'an. Sungguh, seketika Kiya bisa simpati dengan gadis itu, bahkan menyayanginya. Kasihan Alea, sekecil itu sudah tak memiliki orangtua, ayahnya membuang ia dan ibunya saat ia berusia tiga tahun. Sementara itu ibunya meninggal dunia satu tahun lalu, Kiya tahu sekali bagaimana rasanya ditinggal oleh orang tercinta, ibu.

Setelah selesai makan, Kiya segera memberi paracetamol untuk Alea, demam anak itu belum turun juga, untung gadis kecil itu tak terlalu sulit jika disuruh minum obat. Tak lama kemudian Alea tertidur, Kiya pun menyelimuti gadis kecil itu. Lalu Kiya pun menyusul untuk tidur, sebelumnya Kiya mengecup lembut pucuk kepala Alea.

Keesokan harinya Kiya membawa Alea ke rumah sakit, demam Alea memang sudah turun, namun kini gadis itu terserang flu. Kiya tak tega melihat Alea batuk-batuk sejak subuh tadi dan mengeluh hidungnya tak bisa untuk bernafas.

"Kak Kiya, hidung Alea mampet nggak bisa buat nafas," begitu keluh Alea tadi saat Kiya usai melaksanakan sholat subuh tadi.

-o0o-

"Aku ingin minta ijin," ujar Kiya saat menemui Boim di yayasan. Keduanya sedang berada di taman yang ada di depan yayasan, mereka duduk di sebuah bangku bercat putih. Tentu saja, mereka duduk tidak kurang dari jarak lima puluh senti meter.

"Untuk apa?" tanya Boim.

"Aku ingin Alea tinggal bersamaku, maksudku aku ingin mengangkatnya jadi anak, oh, em, mak-maksudku jadi adikku," kata Kiya.

"Tidak bisa," jawab Boim ketus.

"Kenapa?"

"Karena aku sangat menyayangi Alea, aku tidak ingin oranglain merawatnya. Bahkan sudah sejak lama aku ingin mengajaknya tinggal di rumahku," jelas Boim.

Kiya tak menjawab, ada rasa kecewa dalam hatinya. Kiya benar-benar jatuh cinta pada gadis kecil itu. Saat bersamanya Kiya selalu ingat dengan Kenan, anak kecil yang ia temui saat di Leiden dulu. Alea dan Kenan sama cerdasnya, hal itu yang memikat hati Kiya untuk bisa jatuh cinta pada sosok Alea.

"Kita bisa merawatnya bersama, jika saja kau bersedia menjadi istriku," ujar Boim tiba-tiba. Tentu saja sederet kalinat itu mampu membuat degup jantung Kiya berpacu lebih cepat dari biasanya.

"Ah maaf Kiya, ucapanku terlalu lancang," ujar Boim sembari menyingsingkan ujung bibir kirinya, tersenyum kecut.

"Beri aku waktu," ujar Kiya kemudian.

"Untuk?" tanyw Boim penuh selidik.

"Mempertimbangkan tawaranmu barusan."

"Tawaran yang mana? Ku rasa aku sedang tidak memberimu penawaran, Kiya."

Kiya tak menjawab, gadis itu mengerucutkan bibirnya kemudian berdiri.

"Ternyata kamu memang menyebalkan, Boim. Alea akan tetap tinggal bersamaku, terserah kamu setuju atau tidak," ujar Kiya kemudian pergi.

"Aku hanya perlu menunggu takdir berbicara, kemudian kamu akan benar-benar jatuh cinta padaku dan menerima lamaranku," kata Boim dengan percaya diri.

Kiya menghentikan langkahnya kemudian menoleh. "Percaya dirimu terlalu tinggi Pak Ibrohim Aditya. Aku yakin Allah tidak akan memberiku jodoh semenyebalkan kamu," ujar Kiya. Kali ini ia benar-benar pergi, baru ia sadari bahwa ternyata Boim adalah orang yang sangat menyebalkan. Memang, kita tak bisa menilai orang dari penampilan luar saja. Don't judge a book by it's cover.

Berbeda dengab Boim, laki-laki itu malah tersenyum lepas, seperti ada setitik harapan ketika ia menatap rona wajah Kiya.

"Tunggu hingga Allah ridho, aku yakin namamu yang sudah Allah tulis," gumam Boim dalam hati.

Minggu, 08 Oktober 2017

Assalamu'alaikum. Semoga teman-teman masih suka dan menanti work ini. Jangan lupa vote dan komen. Terimakasih.

Dank je!

Goresan Tinta Lauhul Mahfudz [Complete]Where stories live. Discover now