TERUNGKAP

1.5K 145 3
                                    

GELISAH, beberapa kali Kiya melirik jam tangannya. Kenapa waktu berputar begitu lambat, sementara hatinya sudah sangat gelisah. Entahlah, apa yang sedang terjadi, hati gadis itu tetap saja tidak tenang walau bibirnya sudah melantunkan istighfar berkali-kali.

Waktu menunjukkan pukul dua siang, sementara itu jam kerjanya akan usai pada pukul empat sore. Kiya mendengus pelan, mencoba memenangkan hatinya, berharap tak ada hal buruk yang menimpanya ataupun keluarganya.

"Bu Kiya, jangan lupa besok ada meeting," ujar Pak Haris teman satu ruangan Kiya mengingatkan. Pak Haris adalah seorang admin bagian produksi, tugasnya adalah mengurus administrasi karyawan, termasuk gaji karyawan. Sementara itu, Kiya adalah seorang manager produksi di perusahaan tersebut, sebuah perusahan yang bergerak di bidang farmasi, di Jakarta.

"Baik Pak Haris, terimakasih sudah mengingatkan," kata Kiya.

"Apa Bu Kiya sakit? Kenapa anda pucat sekali?" tanya Pak Haris menatap tajam Kiya.

"Tidak, saya hanya kecapean saja, pak," elak Kiya.

"Oh iya, pantas saja, produksi sedang ada masalah ya akhir-akhir ini. Lagipula bagaimana bisa sampai terjadi kesalahan seperti itu. Waktu itu salah kompisisi, sekarang ada masalah pada bagian packing. Karyawannya kurang teliti,"

"Namanya manusia pak, tempatnya luput dan dosa," komentar Kiya singkat.

Pak Haris hanya mengedikkan bahu dan kembali fokus pada pekerjaannya, ia harus segera menyerahkan laporan gaji karyawan bulan ini, kalau sampai terlambat atau ada kesalahan, bisa-bisa karyawan bisa terlambat menerima gaji.

Sementara itu Kiya masih sibuk dengan kegelisahannya, berulang kali ia mengecek ponsel pintarnya, manun tak ada satupun notifikasi yang masuk, untuk mengabarkan sesuatu. Kiya pun memejamkan matanya, menarik nafas pelan dan kembali fokus pada pekerjaannya, ia harus segera mempersiapkan berkas-berkas untuk meeting besok pagi.

-o0o-

Pukul lima sore, Kiya sampai di rumah, untung saja tadi jalanan tak semacet biasanya, jadi ia bisa sampai rumah lebih cepat. Bergegas ia keluar dari mobil dan menuju rumah. Tak biasanya, pintu terkunci. Sial, Kiya tak membawa kunci duplikat. Ke mana penguhuni rumah, apa Dul masih ada urusan di Kantornya? Ke mana Zeera, Pak Rahman dan Alea?

Kiya memijat keningnya, hatinya semakin gelisah. Ia pun segera merogoh ponsel pintarnya dari dalam tasnya. Ia segera mendial nomor ponsel Zeera. Tak diangkat. Ia pun mendial nomor Pak Rahman, sama, tak diangkat juga. Satu-satunya orang yang harus ia hubungi adalah Dul. Gadis itu segera mencari nomor kakak laki-lakinya itu. Sial, tak diangkat juga. Ke mana mereka sebenarnya, apa yang sedang terjadi. Kiya pasrah, gadis itu pun duduk di depan pintu.

Tiba-tiba ponselnya bergetar, menandakan ada pesan masuk. Bergegas Kiya meraih ponsel yang ia geletakkan di sampingnya.

Dek cepat ke RS Annisa Medika, kamar Anggrek nomor 12. Maaf abang baru bisa kasih kabar.

Hati Kiya semakin gelisah, perasaannya kacau, siapa yang sakit? Dul tak memberi tahu. Tak ingin banyak berpikir, Kiya segera menuju ke rumah sakit yang di sebutkan kakaknya. Sepanjang perjalanan Kiya tak henti-hentinya mengucap istighfar, menenangkan hatinya, berharap tak ada hal buruk yang menimpa keluarganya.

Setelah tiga puluh menit perjalanan Kiya sampai di RS Annisa Medika, seharusnya waktu tempuhnya tak selama itu, rumah sakit yang di sebutkan Dul jaraknya tak jauh dari rumah Kiya, hanya berjarak kurang lebih lima kilo meter, akan tetapi rutinitas ibu kota yang menyebabkan hal itu terjadi, macet, ciri khas ibu kota.

Setelah sepuluh menit berkeliling mencari ruangan yang disebutkan Dul akhirnya Kiya menemuka ruangan itu, bahkan ia tak sempat bertanya pada resepsionis, sangking tak sabarnya untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. Kiya pun membuka pintu, betapa terkejutnya ia melihat sang ayah terbaring di rajang.

"Astaghfirullah abi, apa yang terjadi?" teriak Kiya histeris bergegas menghampiri ayahnya dan memeluk tubuh ayahnya yang terbaring di ranjang.

"Tadi abi jatuh dari pohon mangga saat  membujuk Alea untuk turun, tadi Alea nekat memanjat pohon mangga untuk menolong kucing yang tak bisa turun. Tulang belakang abi retak, Alhamdulillah, untung saja tidak terlalu parah," jelas Dul.

"Sekarang Alea mana?"

"Zeera mengajaknya ke kantin untuk membeli air minum, sejak tadi ia menangis karena melihat abi sakit seperti itu," ujar Dul sembari mengusap pundak Kiya.

"Om, Dul, saya permisi ya. Ada pasien yang harus saya cek," ujar seorang pria berjas putih. Kiya tak menyadari bahwa ada seorang lagi di ruangan itu selain ia, Dul dan Pak Rahman.

"Oh iya Im, thanks ya lo udah nyempetin jenguk abi," ujar Dul.

Tunggu, Kiya mencoba mencerna ucapan kakaknya, tadi kakaknya menyebut bama 'Im', itu artinya, Kiya bergegas mengangkat wajahnya. Dan benar, tak salah lagi, pria berjas putih itu adalah Boim. Kiya hariap ia hanya salah lihat, tapi kenyataannya pria itu memeng benar-benar Boim. Kiya tak menyangka jika sebenarnya Boim adalah seorang dokter, selama ini penampilannya tidak sepertin seorang dokter. Memang berwibawa, santun, baik, cerdas dan saleh. Akan tetapi Kiya kira pekerjaan Boim hanyalah seorang pengelola yayasan. Kiya tak menyangka, disela-sela kesibukannya menjado dokter, Boim masih sempat mengurus yayasan miliknya itu.

"No worries, Assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikumsalam," jawab Pak Rahman, Dul dan Kiya bersamaan.

Boim bergegas keluar tanpa sedikitpun menoleh ke arah Kiya. Entah mengapa akhir-akhir ini Boim menghindari Kiya, bahkan saat di yayasan, Boim tak pernah lagi mengajak Kiya mengobrol atau sekedar membicarakan perkembangan anak-anak penghafal Qur'an, Kiya tak tahu apa sebabnya. Mungkinkah pria itu kecewa terhadap Kiya karena lamarannya ditolak.

"Bang, si Boim dokter ya?" tanya Kiya saat Boim sudah tak terlihat lagi di ruangan itu.

"Iya, Boim dokter spesialis jantung," jawab Dul singkat.

"Dulu abang kenal Boim waktu sama-sama kuliah di UGM, kan dulu pernah cerita. Kita memang nggak satu fakultas, abang kenal dia karena kami sama-sama ikut organisasi kerohanian," jelas Dul tanpa Kiya minta.

"Nak, kenapa kamu nggak terima saja lamaran Boim? Dia laki-laki yang baik, abi yakin dia juga bisa menjadi imam yang baik untukmu. Sampai kapan kamu akan terus seperti ini? Lupakan masalalumu, dia buka jodohmu, nyatanya dia sudah bahagia sekarang. Mencobalah membuka hati untuk laki-laki lain. Usiamu sudah semakin bertambah, abi harap kamu bisa berdami dengan masalalumu dan menata masadepan, abi menyayangimu, nak," ujar Pak Rahman dengan mata berkaca-kaca menatap putrinya.

Pak Rahman memang tahu semua tentang putri kesayangnnya itu, termasuk tentang seseorang di masalalu putrinya yang sampai saat ini masih tak bisa putrinya lupakan. Berkali-kali Pak Rahman mencoba menyembuhkan luka hati putrinya dengan cara perjodohan, namun selalu gagal.

Kiya meresapi ucapan ayahnya, mungkin ada benarnya, seseorang di masalulunya itu memang bukan jodohnya, tak pantas ia masih berharap. Kiya menarik nafas pelan dan mendongakkan wajahnya menatap langit-langit, mencoba menahan air matanya agar tak tumpah. Beberapa saat kemudian alarm adzan dari ponselnya berbunyi, waktu sholat maghrib telah tiba. Kiya izin keluar untuk sholat, saatnya ia mencurahkan keluh kesahnya pada Allah. Dul pun ikut izin sholat juga, tak masalah, Pak Rahman sendirian, toh sakitnya tak terlalu parah. Lagipula sebentar lagi Zeera dan Alea datang, pasti Zeera dan Alea sudah sholat lebih dulu, jadi ia bisa menjaga Pak Rahman selama Kiya dan Dul sholat di mushola rumah sakit.

Rabu, 11 Oktober 2017

Assalamu'alaikum, jangan lupa vote dan komen. Semoga teman-teman suka dengan work ini dan semoga ceritanya tidak membosankan. Untuk itu, saya mohon kritik dan saran ya. Terimakasih.

Dank je!

Goresan Tinta Lauhul Mahfudz [Complete]Where stories live. Discover now