PETAKA

1.2K 119 1
                                    

PUKUL sepuluh malam. Hafsah baru saja menidurkan Aisyah di kamar bayi yang berada di samping kamarnya dan Drick. Hafsah menggerakkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Meregangkan otot-otot tubuhnya, ia merasa sangat lelah seharian ini mengurus rumah, mengasuh Aisyah yang entah mengapa seharian ini begitu rewel. Tapi tentu saja Hafsah sangat ikhlas dan bahagia menjadi seorang ibu rumah tangga, pekerjaan yang sangat mulia. Ya, pekerjaan yang sangat mulia. Kalimat itu yang selalu diucapkan Drick padanya. Drick memang melarangnya untuk bekerja, dengan alasan agar ia fokus mengurus rumah dan Aisyah. Drick masih mampu membiayai hidup mereka. Pekerjaan Drick lumayan bagus, karirnya pun meningkat. Kini Drick sudah bukan dokter magang lagi karena ia sudah menjadi dokter umum di Sint Lucas Andreas Hospital, salah satu rumah sakit umum di Amsterdam.

Hafsah melihat jam pada ponselnya, waktu menunjukkan pukul sepuluh lebih tiga menit. Drick belum juga pulang, seharusnya suaminya itu sudah pulang sejak dua jam yang lalu. Tapi ia tetap berpikir positif, mungkin Drick masih menangani pasien. Hafsah pun masuk ke kamar, rasa kantuk mulai menyerangnya.

Beberapa menit kemudian Hafsah tertidur setelah membaca doa. Selimut tebal menutupi seluruh tubuhnya kecuali kepalanya, ia masih memakai jilbabnya, ia lupa melepasnya. Udara di luar memang sangat dingin, salju pun turun cukup lebat, namun selimut tebal dan penghangat ruangan cukup membuat tidur Hafsah nyaman.

Tak lama kemudian, terdengar daun pintu bergerak, pintu pun dibuka. Drick pulang dengan wajah yang sangat memperihatinkan, begitu pucat. Pria itu melepaskan mantelnya dan menggantungnya di belakang pintu, lalu ia meletakkan tas kerjanya di meja rias milik istrinya. Burur-buru Drick mengampiri istrinya, merebahkan tubuhnya di samping istrinya dan memeluk istrinya begitu erat. Hafsah pun terbangun, ia merasakan kening Drick menempel pada pipinya. Sontak ia pun kaget, suhu tubuh Drick sangat tinggi.

"Sayang, ada apa denganmu? Tubuhmu panas sekali."

"Aku nggak apa-apa. Aku hanya ingin berada di dekatmu."

"Astaghfirullah. Kau demam ya? Sebentar, aku akan mengambilkan kompres untukmu," Hafsah menempelkan punggung tangannya di kening Drick, ia pun beranjak dari tidurnya. Meletakkan kepala Drick perlahan diatas bantal berwarna putih.

Dengan telaten Hafsah melepaskan dasi dan kemeja yang Drick kenakan, lalu ia melepaskan kaos kaki dan sepatu yang masih dipakai oleh Drick. Setelah itu Hafsah mengambilkan kaos dan sweater tebal untuk Drick, kemudian memakaikannya. Hafsah pun mengusap kepala Drick penuh kasih sayang. Lalu ia bergegas menuju dapur untuk mengambil alat kompres.
Tak lama kemudian Hafsah pun kembali dengan membawa peralatab kompres untuk suaminya. Hafsah meletakkannya di nakas samping ranjang, lalu dengan telaten ia mengompres Drick.

"Terimakasih, sayang."

"Tak perlu berterimakasih, ini sudah kewajibanku sebagai istri untuk merawatmu saat sakit seperti ini."

"Ik hou van je mijn vrouw," ("Aku mencintaimu istriku," : Bahasa Belanda), ujar Drick sembari menggenggam tangan Hafsah.

"Aku juga mencintaimu, sangat mencintaimu," balas Hafsah. "Walau aku tahu kau belum sepenuhnya mencintaiku, kau masih mencintainya. Namun aku bahagia karena kau sedang berusaha mencintaiku," batin Hafsah.

"Sayang, aku ingin makan sup ercis. Apa kau bisa membuatkannya untukku? Apa tak merepotkanmu, sayang?" pinta Drick.

"Tentu saja tidak, aku akan membuatkannya untukmu. Tapi aku harus membeli bahannya dulu, kebetulan kita kehabisan bahan-bahannya di kulkas. Tunggu ya, ku harap kau sabar ya."

"Aaaah, kalau begitu tidak usah. Ini sudah malam, bahanya untukmu jika harus ke minimarket sendirian. Buatkan saja aku apapun bahan makanan yang kita punya."

Goresan Tinta Lauhul Mahfudz [Complete]Where stories live. Discover now