JADI, BUKAN TA'ARUF?

5.1K 243 24
                                    

Terik matahari membuat seorang gadis mengibaskan tangan kanan di depan wajahnya, berharap ada sedikit hembisan angin menyejukkan meniupnya, ia mengusap peluh yang mengalir di keningnya dengan punggung tangan. gadis itu terus berjalan di tengah terik matahari, panas, gerah, letih, hiruk pikuk kesibukan ibu kota siang itu semakin menambah kekacauan hatinya. Ia terus berjalan sembari memegangi tas slempangnya.

Gadis berkerudung navy blue itu kembali mengusap peluhnya, kali ini ia meringis mendongak ke atas menatap matahari yang begitu terik, lalu ia memengangi lehernya dengan tangan kiri. Ia melihat ke sekeliling, sial, tak ada satupun pedagang asongan di sekitar tempatnya berdiri. Hanya ada beberapa orang berlalu-lalang dan kendaraan bermotor yang melaju senaknya sendiri, sehingga menambah semerawut. Ah, andai saja mobilnya tak mogok, andai saja ia tak ada janji yang harus segera ia tepati.

Dari kejauhan, ia melihat papan nama kafe yang akan ia tuju. Setidaknya ia dapat bernafas lega, hanya tinggal seratus meter lagi ia berjalan. gadis itu pun mempercepat langkahnya, rasanya ia sudah tak kuat. Sesampainya di kafe nanti ia akan memesan satu galon air mineral untuk menghilangkan dahaganya.

Gadis itu pun telah sampai, bergegas ia masuk ke dalam kafe, ia melihat seorang pria berkemeja abu-abu sedang sibuk berkutat dengan laptopnya dan seorang wanita bercadar terlihat sedang mengulak-alik daftar menu. Lalu, tampaka seorang pramusaji terlihat bosan, agaknya si tamu lama tak menemukan menu pilihannya.

Tapi tunggu, gadis itu menajamkan pengelihatannya, ada seorang lagi yang duduk bersama mereka. Seorang pria yang sedang membaca buku kecil, agaknya ia belum pernah bertemu pria itu sebelumnya

"Assalamu'alaykum," sapa gadis itu.

"Wa'alaykumsalam," jawab keempat orang itu bersamaan.

"Ah adek, akhirnya kamu datang juga. Ah ya, sekalian kamu mau pesan apa?" tanya

wanita bercadar itu antusias.

"Satu galon air mineral," sahut gadis itu sekenanya.

"WHAT?" teriak si wanita bercadar dan pria berkemeja abu-abu bersamaan.

Alih-alih menanggapi kekagetan kedua orang itu, ia segera meletakkan badannya pada bangku kosong.

"Yang benar saja Dzakiya Talitha Sakhi?" tanya peia berkemeja abu-abu setengah terbelalak.

"Bang Dul sama Kak Zeera nggak ngerasain jadi aku. Lelah, letih, lesu, lapar dan mobil aku mogok, aku harus jalan dari perempatan ujung sana sampai tempat ini. Kalian pikir aku tidak lelah, udah gitu tadi ada masalah di tempat kerja, masa sih bagian produksi bisa sampai salah memasukkan komposisi. Untung aja ada ketauan, coba kalau nggak, coba kalau sampai lolos di pasaran. Bisa-bisa orang meninggal dunia gara-gara minum obat itu," oceh gadis yang akrab di sapa Kiya.

"Jadi mau pesan apa mbak?" sahut si pramusaji yang tampak semakin geram.

"Es teh manis. Soalnya hidup aku udah pahit," jawab Kiya. Dul, kakaknya menoyor pundak Kiya, mendengar ucapan konyol Kiya. Zeera mengerlingkan matanya melihat adik iparnya yang tampak tersipu malu. Sementara itu, satu orang lagi tersenyum menyadari tingkah lucu Kiya.

"Maaf mbak, tidak ada es teh manis," ujar si pramusaji.

"Kalau gitu orange juice aja deh."

"Yang lain?" tanya si pramusaji.

"Kopi Vietnam," jawab Dul dan Zeera bersamaan, pasangan suami istri itu memang selalu kompak.

"Mas yang dari tadi baca Qur'an mau pesan apa? Nggak pegel apa mas baca Qur'an muluk dari tadi?" tanya si pramusaji pada pria berwajah tirus itu.

Mendengar itu, Kiya melirik pria yang duduk di seberangnya itu, Kiya baru sadar, bahwa buku kecil yang sedari tadi dibaca pria itu adalah Al Qur'an.

"Nggak kok, Mas. Oya, saya pesan green tea," jawab pria itu sembari menutup Al Qur'annya dan memasukkan ke dalam saku jaketnya.

"Oke kalau begitu, satu orange juice, dua Kopi Vietnam dan satu green tea. Tunggu sebentar ya," ujar si pramusaji undur diri. Sebari berjalan, pramusaji itu mengelus dadanya, ia lega, akhirnya para tamunya itu jadi memesan. Tadinya ia pikir, ia aka berada di tempat itu satu jam lebih lama, menunggu sang tamu mendapatkan menu yang tepat.

"Ehm," Dul berdehem sembari memebenarkan posisi duduknya. "Jadi, adikku yang cantik, Dzakiya Talitha Sakhi, maksud abangmu yang tampan ini menyuruhmu datang ke tempat ini adalah untuk memperkenalkanmu denga sahabat abang waktu kuliah di UGM dulu, namanya Ibrohim Aditya, biasa dipanggil Boim," uja Dul sembari melirik pria yang duduk di sampingnya itu.

Sekilas pria bernama Boim itu memandang Kiya dan tersenyum ramah, setelah itu ia kembali menundukkan pandangannya, menatap ukiran cantik pada kaki meja. Sementara itu Kiya hanya terdiam menunduk, perasaannya mulai tak enak. Ia takut kejadian dua bulan lalu terulang lagi, Dul berniat menjodohkannya dengan rekan kerja Dul. Kiya mengerjap dan menggelengkan kepalanya.

Kiya trauma, bahwasannya pria yang dikenalkan Dul padanya waktu itu tak benar-benar baik, pria itu hanya bersikap baik di depan Kiya dan Dul, selebihnya hanya topeng saja. Pernah Kiya memergoki pria itu berjalan, bergandengan dengan seorang gadis berpakaian serba terbuka di salah satu pusat perbelanjaan di ibu kota.

"Oiya dek, Boim ini punya yayasan penghafal Qur'an khusus anak-anak jalanan lho. Kamu kan suka tuh sama anak-anak. Siapa tahu kamu bisa bantu-bantu di sana. Ya nggak, Im?" tanya Dul menyenggol siku Boim.

"Ah ya, jika Kiya berkenan, kami pun dengan senang hati menerima bantuan tersebut," jawab Boim. Kiya pun hanya mengangguk tanpa mengangkat wajahnya.

Beberapa saat kemudian pesanan mereka pun datang, dengan cepat Kiya mengahabiskan satu gelas besar orange juice miliknya, agaknya ia benar-benar kehausan, setelah melawan terik matahari yang memerah dahaganya, tadi. Ketiga orang yang lain hanya tersenyum geli menyaksikan tingkah Kiya.

-o0o-

"Jadi, bukan ta'aruf?" teriak Kiya di dalam mobil. Saat ini Dul, Kiya dan Zeer sedang dalam perjalanan pulang. Mobil Kiya masih berada di bengkel yang tak jauh dari kafe tempat mereka tadi. Rencananya nanti malam ia dan Dul akan mengambil mobil itu, ba'da isya.

"Siapa juga yang mau nyuruh kamu ta'aruf sama Boim. Orang abang cuma mau bantuin Boim, siapa tahu kamu bisa bantu dia. Dia lagi nyari pengajar buat yayasannya," jawab Dul.

"Ya aku kan bukan hafidzah, baru hafal berapa juz doang."

"Siapa tahu kalau kamu ikut jadi pengajar di sana, semangat menghafalmu bisa lebih meningkat," celetuk Zeera sembari memutar kepalanya, melihat Kiya yang duduk di jok belakang.

"Ya, udah, deh. Aku coba," putus Kiya akhirnya.

Assalamu'alaykum readers, akhirnya setelah satu bulan MHB selesai, saya bisa mulai lagi menggoreskan kisah hidup Kiya di judul baru ini. Terimakasih untuk teman-teman semua yang masih setia dan suka dengan kisah Kiya. Semoga teman-teman suka ya. Ohya jangan lupa vote dan comment ya.

Dank je!

Goresan Tinta Lauhul Mahfudz [Complete]Where stories live. Discover now