SESEORANG DI MASALALU

1.5K 142 8
                                    

SATU BULAN sudah Alea tinggal di rumah Kiya. Gadis kecil itu kini menjadi bagian dari anggota keluarga Sakhi, Pak Rahman As-Sakhi pun bahagia dengan kehadiran Alea, putri kecilnya.

Seperti malam ini, semua anggota keluarga Sakhi sedang berkumpul di ruang tamu. Pak Rahman, Kiya, Dul, Zeera dan juga Alea. Seusai melaksanakan sholat isya, biasanya keluarga Sakhi menghabiskan waktu bersama untuk sekedar berbincang. Kali ini mereka sedang mengetes hafalan qur'an Alea. Kini hafalan Alea sudah hampir tiga juz. Gadis kecil itu semangat sekali jika sedang menghafal qur'an. Katanya ia ingin menjadi seorang penghafal qur'an yang hebat.

Tiba-tiba terdengar suara salam, pintu utama yang langsung terhubung dengan ruang tamu terbuka, sehingga semuanya bisa melihat siapa yang datang. Entah mengapa degup jantung Kiya berpacu begitu cepat. Keringat dingin membanjiri tengkuknya, sepertu ia sedang melihat hantu.

"Assalamu'alaikum," salam orang itu lagi.

"Wa'alaikumsalam," jawab semuanya bersamaan, kecuali Kiya. Gadis itu masih tak bisa mengendalikan otak dan hatinya, sampai menjawab salam pun tak mampu.

"Boim, masuk lo. Waaaah ada apa malem-malem ke sini?" ujar Dul menghampiri sahabatnya itu dan memeluknya.

"Gue mau jemput Alea," jawab Boim.

"JEMPUT ALEA?" Teriak Kiya terkejut. "Enak aja, nggak bisa," bantah Kiya yang kemudian menarik Alea ke dalam pelukannya.

"Loh, biar bagaimanapun juga aku sudah menganggap Alea sebagai adikku. Aku pun sangat menyayanginya. Lagipula Alea sudah tinggal bersamamu selama satu bulan. Alea juga sudah tidak pernah ke yayasan karena dia sekolah dan tak ada waktu lagi untuk itu. Tentu saja aku sangat merindukannya. Biarlah Alea tinggal bersamaku barang satu minggu saja," pinta Boim dengan wajah penuh pengharapan.

Memang, Boim sangat menyayangi Alea. Boim-lah yang menolong Alea dab ibunya saat peristiwa tabrak lari itu. Waktu itu usia Alea masih lima tahun, lantas Boim membawa Alea ke yayasan miliknya untuk ia rawat dan ia ajari tentang ilmu agama. Alea adalah anak yang cerdas dan penurut, hal itulah yang bisa membuat Boim sangat menyayangi Alea. Sudah sejak lama ia ingin mengajak Alea tinggal di rumahnya agar mendapatkan fasilitas yang lebih baik, bukan Boim pilih kasih terhadap anak yang lain. Tapi Boim rasa, Alea pantas mendapat itu semua karena ia anak yang paling cerdas dan rajin diantara anak yang lain. Namun karena kesibukan Boim, ia menunda keinginannya untuk mengajak Alea tinggal di rumahnya, ia takut anak itu malah akan mendapat perhatian yang kurang.

"Tidak, Alea lebih suka tinggal bersamaku," ujar Kiya dengan tegas.

"Ku mohon, nanti setelah satu minggu aku berjanji akan mengantar Alea ke rumah ini. Aku ingin mengajaknya berlibur, kebetulan Alea libur semester kan," pinta Boim.

"Tidak bisa. Aku sudah akan mengajak Alea berlibur. Pokoknya Alea akan tetap bersamaku," Kiya tetao teguh pada pendiriannya.

"Kenapa kamu keras kepala sekali sih?" rajuk Boim.

"Biarkan saja. Ayo Alea kita tidur, sudah malam," ujar Kiya sembari menggendong Alea dan mengajak anak itu masuk ke kamar

Sementara itu, tiba-tiba Dul menarik tangan Boim dan mengajaknya pergi ke taman belakang rumah.

"Gue harap ini bukan cuma alasan lo supaya bisa ketemu sama adek gue," ujar Dul sembari mentap tajam Boim. "Astaghfirulla Im, lo kalau beneran suka sama adek gue lamar dong," lanjut Dul sembari mencengkeram kuat kedua bahu Boim.

"Lo lupa ya, waktu itu gue udah lamar dan adek lo nolak gue," jawab Boim.

"Ya, ya, ya, ya lo coba lamar lagi."

Boim tak menjawab, ia menarik nafas panjang dan mendongakkan wajahnya menatap taburan bintang yang berkilauan indah mendampingi rembulan yang bersinar begitu terang.

"Gue yakin, adek gue hanya belum bisa berdamai dengan masalalunya," kata Dul kemudian mengikuti Boim, memandang bintang-bintang.

"Sesempurna apa laki-laki itu sehingga Kiya enggan keluar dari zona nyamannya untuk berpaling darinya?" tanya Boim sembari menyugar rambutnya yang nyaris botak.

Dul berdehem, mencoba mengatur nafas dan kemudian mengusap wajahnya pelan. Sebenarnya ia enggan mengingat laki-laki itu yang sudah melukai hati adiknya, laki-laki baik yang tak berjodoh dengan adiknya.

"Dia laki-laki yang baik, saleh dan tentu saja santun. Namanya Drick, dia pria Belanda yang sudah menawan hati Kiya. Dari cerita yang pernah gue dengar, ia terlahir dari keluarga muslim yang taat, ia pun taat beragama namun semuanya berubah setelah ia kehilangan seluruh anggota keluarganya, ia hidup sebatang kara hingga ia menyalahkan Allah akan hal itu, sejak saat itu ia tak lagi mengingat Allah, terlebih ia diasuh oleh keluarga non muslim. Namun pada akhirnya Allah sangat mencintainya, Allah memberinya hidayah untuk kembali ke jalannya. Ia menjadi gigih untuk kembali mempelajari islam, ia menyesal dan merasa sangat berdosa. Gue sendiri pun merasa takjub padanya," jelas Dul panjang lebar. Boim mendengarkan cerita itu dengan seksama hingga ia tak menyadari sekujur tubuhnya merinding mendengar cerita itu.

"Kiya jatuh hati padanya, ia pun begitu sebaliknya. Namun takdir berkata lain, mereka tak berjodoh. Drick menikahi gadis lain karena suatu hal dan gue dengar ia sudah bahagia sekarang dengan keluarga kecilnya, bahkan mereka sudah memiliki anak. Dan sejujurnya gue khawatir Kiya tak bisa menyembuhkan lukanya," ujar Dul.

"Apa lo masih berkomunikasi dengannya?" tanya Boim.

"Nggak. Terakhir kali gue dengar kabar tentang dia satu tahun yang lalu, itu pun dari kembaran gue, Rama, yang tinggal di Belanda. Setelah itu Rama tak pernah lagi bertemu dengan Drick," jelas Dul.

Boim memejamkan mata sejenak, membayangkan sesutu yang pernah terjadi di masalalunya. Apa yang Kiya rasakan sama dengan apa yang pernah ia rasakan dulu, hanya bedanya ia tak hanya kehilangan cinta tapi juga orang yang ia cintai. Gadis yang hampir saja menjadi penyempurna separuh agamanya meninggal dunia di hari pernikahan mereka, gadis itu meninggal akibat kecelakaan.

"Kalau lo beneran cinta sama adek gue, minta sama Allah, deketin Allah, baru deh Allah bakalan deketin lo sama adek gue Insha Allah," ujar Dul menepuk bahu Boim. Boim pun mengangguk dan tersenyum.

-o0o-

"Dari mana kamu dek? Muka kusut gitu, nggak salam lagi masuk rumah," ujar Dinda yang berada di ruang makan, Boim baru saja datang dan akan masuk ke kamarnya. Dinda tersenyum tipis mendapati wajah pucat dan lesu adik laki-lakinya yang baru saja datang.

"Mbak Dinda belum tidur?" tanya Boim mengalihkan pembicaraan.

Dinda menuang air putih ke dalam dua gelas, satu untuknya dan satu lagi ia berikan pada Boim. Boim pun menerimanya dan menenggaknya habis.

"Boim dari rumah Dul, jenguk Alea. Boim rindu Alea," jawab Boim.

"Bukan alasanmu saja supaya bisa bertemu Kiya kan? Mbak sudah bilang padamu ribuan kali. Jaga pandangan, jaga hati. Jika kamu mencintainya jagalah dia, peliharalah dia dari dosa. Minta sama Allah. Deketin Allah sebelum kamu deketin Makhluk-Nya," nasihat Dinda pada adik laki-laki satu-satunya.

Boim mengusap wajahnya pelan, istighfar tak henti-hentinya ia ucapkan dalam hatinya. Boim tak bisa menahan perasaanya pada gadis itu, ia juga tak bisa memaksa Kiya untuk membalas cintanya. Ia hanya bisa menyebut nama Kiya dalam setiap doanya, berharap agar Allah membuat gadis itu menjadi jodohnya.

Senin, 09 Oktober 2017

Jangan lupa vote dan komen ya.

Dank je!

Goresan Tinta Lauhul Mahfudz [Complete]Where stories live. Discover now