MIMPI BERTEMU BOIM

1.3K 115 4
                                    

Siang itu Kiya baru keluar dari salah satu ruang kelas Yayasan Al-Hafidz milik Almarhum Boim. Setelah dari ruang itu Kiya berniat menuju ruang kerjanya untuk mengecek agenda bulanan Yayaysan Al-Hafidz, setiap bulannya Yayasan Al-Hafidz akan melaksanakan tadabur alam. Dan kebetulan bulan ini Yayaysan Al-Hafidz akan pergi menginap di Ciwidey, Bandung. Kebetulan sahabat Pak Aditya memiliki villa di kawasan itu.

"KIYA!"

Teriakan itu membuat Kiya menghentikan langkahnya, ia pun menoleh ke belakang mencari sumber suara. Betapa terkejutnya ia saat mendapati sosok wanita cantik tengah tersenyum kepadanya, di sebelah wanita itu berdiri seorang pria tampan mengenakan baju koko berwarna krem dan celana cingkrang berwarna hitam. Kiya pun membalas senyum wanita cantik itu.

"MBAK DINDA!" teriak Kiya dengan wajah berbinar, Kiya pun segera berlari dan memeluk kakak iparnya itu dengan erat. Ia benar-benar merindukan kakak iparna itu, berminggu-minggu tak bertemu membuatnya mencurahkan rasa rindunya saat itu juga.

"Mbak Dinda kok nggak bilang mau datang?" tanya Kiya masih memeluk Dinda.

"Mbak sengaja ingin buat kejutan untukmu, dek."

"Tau gitu kan aku jemput mbak di bandara."

"Nggak perlu, dek. Lagipula kamu pasti sibuk mengurus yayasan," Dinda mengurai pelukan Kiya lalu menangkup wajah Kiya yang tertutup cadar berwarna peach dengan kedua tangannya.

"Oh iya, mbak samapi lupa. Perkenalkan, ini Mas Idris, suami mbak," Dinda mengalihkan pandangannya pada pria berjenggot tipis di sebelahnya. Pria itu mengangguk seraya menangkupkan kedua tangan di depan dadanya dan tersenyum ramah pada Kiya seraya menunduk. Kiya pun melakukan hal yang sama.

"Assalamu'alaikum. Wah Mbak Dinda, Mas Idris, kapan pulang dari London?"
Suara itu menginterupsi mereka, seorang pemuda datang sembari membawa tumbukan buku di tangan kirinya, tangan kanannya terulur pada Idris. Idris pun menjabat tangan pemuda itu.

"Wa'alaikumsalam. Eh Hanif, apa kabar kamu? Setelah pulang dari Mesir makin keren aja nih," goda Dinda pada pemuda itu yang ternyata adalah Hanif. Dinda dan Idris memang mengenal Hanif dengan baik.

"Iya dong, sekarang kan udah dapet gelar magister dari univ terkeren di Mesir, Universitas Al-Azhar," timpal Idris yang menepuk bahu Hanif pelan.

"Ah, Mbak Dinda dan Mas Idris bisa saja," ujar Hanif tersipu malu.
Sementara itu Kiya hanya menunduk, entah mengapa ia selalu gugup jika bertemu dengan Hanif sejak malam itu dimana ucapan Hanif berhasil membuat jantungnya berdesir dan sejak tiga hari yang lalau saat ayah mertuanya menyampaikan jika Hanif telah melamarnya.

"Mas Idris gimana kuliahnya? Mas Idris nih keren lho bisa kuliah di universitas impianku, Oxford University," puji Hanif balik pada Idris.

"Sebenarnya aku sedah menyelesaikan tesisku, tapi aku masih punya waktu dua bulan lagi dan aku ingin menengok kampung halaman sebentar," jawab Idris. Hanif hanya mengangguk-angguk mengerti.

Idris merengkuh bahu Hanif dan mengajak pemuda itu duduk di sebuah bangku, sudah lama mereka berdua tidak mengobrol. Hanif pun menuruti saja kakak ipar dari sahabatnya itu yang sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri, mengingat Hanif adalah anak tunggal. Sebenarnya Hanif punya seorang adik perempuan, namun adiknya itu meninggal saat masih bayi.

Sementara itu Dinda mengajak Kiya menuju ruang kerja Kiya yang dulu adalah bekas ruang kerja almarhum adiknya. Dinda duduk di sebuah sofa berwarna cokelat tua di sudut ruangan, ia mengisyaratkan Kiya untuk duduk di sebelahnya. Kiya pun menuruti titah kakak iparnya itu.

Dinda menggenggam erat tangan Kiya, ia pun menatap kedua bola mata Kiya yang berwarna cokelat. Kemudian Dinda tersenyum manis pada Kiya.

"Bapak sudah cerita semua padaku, Hanif telah melamarmu. Apa kamu menerima lamarannya?" tanya Dinda hati-hati.

Goresan Tinta Lauhul Mahfudz [Complete]Where stories live. Discover now