Heart. 12

48 9 0
                                    


"Love is a sin. But, why is that my feeling towards you feel so right?"

3rd POV

Tok tok tok
Suara pintu rumah sakit membuat Eliezer mengangkat kepalanya yang sedari tadi bersandar di rel tempat tidur Aria. Matanya yang tambah sipit dan kantung mata, menunjukkannya tidak mendapat istirahat yang baik akhir-akhir ini.
Ia bangkit dari tempatnya tadi, melangkah menuju pintu dengan gaya seperti zombie. Ya, zombie hidup. Membuka pintu, ia melihat Aeneas dengan sebuah kantong plastik yang entah apa isinya.
Ia menyodorkannya pada Eliezer, "Makanan. Titip salam dari ayahku."
Semenjak hari itu, hubungan antara Aeneas dan ayahnya menjadi baik. Aeneas menceritakan segalanya. Meminta maaf, karena kabur dari rumah tanpa alasan.

Aeneas kembali tinggal dirumah ayahnya, meninggalkan Aria dan Eliezer kembali tinggal berdua di apartemen Aria.

Berbicara soal Aria, "Kau sudah 4 hari tidak makan dan minum. Tenanglah, dia akan siuman." Jelas Aeneas, melihat keadaan dan kondisi temannya itu. Aeneas tahu bahwa ia sangat mencintainya, namun ia terlalu khawatir sampai tidak makan, minum bahkan istirahat pun tak cukup.

"Kalau kau mati, akan menjadi lebih repot..." Ayah Aeneas, sebagai wujud terima kasihnya, membayar segala biaya rumah sakit dan obat Aria sampai sembuh. Untuk hal ini, Eliezer sangat bersyukur.

"Ya.." jawab singkat Eliezer. Mulutnya serasa enggan untuk berbicara. Seolah, seribu satu kata yang ia tahu tiba-tiba hilang. Ia tidak puasa total dan tidak istirahat tanpa alasan. Ia khawatir.

"Aku khawatir.." mendengar ini, Aeneas berbalik, menatap Eliezer yang tiba-tiba berbicara. "Jika, ia bangun nanti, apa yang ingin aku katakan padanya? Apakah dia akan menganggapku sebagai...."

".... monster?" Aeneas hanya bisa terdiam mendengar kata itu. Jujur, setelah melihat Eliezer beberapa hari yang lalu, ia juga ketakutan.

Melihat dirinya yang pendiam setiap hari, ia tidak menyangka bahwa ada sisi ganas dari orang ini.
"Apakah aku harus..." Lanjutnya, "Meninggalkannya saja?"

Sebuah tamparan langsung mengenai pipi Eliezer membuatnya mengernyit kesakitan. Ia menatap wajah pemuda didepannya itu. Air mukanya telah berubah, menampakkan ekspresi marah.

"Apa kau bodoh? Kau telah menyakitinya dan meninggalkannya langsung seperti itu!?" Ia mengajukan jari telunjuknya padanya, "Asal kau tau, Aria bukanlah orang seperti itu. Ia sangat mencintaimu dan mana mungkin masalah sekecil ini bisa membuatnya membencimu?"

Eliezer menelan ludah, "Darimana kau tau? Kau bahkan tidak mengenalnya selama diriku!"

"Jika ia membencimu, mengapa ia membiarkanmu tinggal di apartemennya, tanpa harus membayar apapun padanya. Mengapa saat kau sakit saat itu, ia merawatmu." Kali ini, Eliezer tidak bisa membantah. "... dan juga, kau tidak berpikir? Aku tau kau merasa sangat bersalah dan tidak sanggup menghadapinya lagi. Tapi, ia sendiri disini! Temannya yang namanya entah siapa itu telah meninggal bukan? Orang tuanya di Jepang. Jika kau pergi, apakah kau tidak pikir betapa sepi dirinya nanti?"

Eliezer terdiam. Semua, yang dikatakannya benar. Ia tak bisa berkutit lagi.
"Aku..."

Sebuah rasa sakit tiba-tiba muncul di belakang kepalanya. Aeneas, yang emosinya telah reda, melihatnya mengernyit kesakitan berkata, "Istirahatlah. Aku janji akan membangunkanmu nanti."

Karena terlalu lelah dan rasa sakit di kepalanya memaksanya, Eliezer pun terpaksa berbaring walau ia tak ingin.

Suara dengkuran kecil terdengar darinya sesaat kemudian dan ini membuat Aeneas lega.. entah mengapa, sampai sekarang, ia melihatnya sebagai sosok kakak.

Ia tak pernah memiliki kakak. Tidak. Namun, sekarang ia dapat merasakannya.
Perasaan saat kau bersama orang yang kau percayai. Perasaan saat kau memiliki, sahabat.

HeartlessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang