-1-
Lamunannya terpecah, oleh denting jam dinding di kamarnya. Membuatnya menciptakan senyum tipis.
Tipis saja. Tapi menyimpan kesedihan, dan rasa sepi yang memuncak... malam ini. Mungkin itu alasan kenapa dia masih terjaga. Mungkin.
Kepalanya mendongak, maniknya menatap langit yang menurunkan butir salju - entah sejak kapan, dia tak tahu - dari balik kaca jendela kamarnya.
Denting jam dinding di kamarnya masih terdengar. Sudah tengah malam. Dia tak menyadarinya. Tak mungkin, jika pikirannya entah berada di mana.
Hari ulang tahunnya sudah lewat. Dan dia sadar, dia menunggu. Menunggu hingga detik terakhir. Sayangnya penantiannya tak bersambut.
Tawa kecil lolos dari bibirnya, ketika menyadari aliran air itu sudah menuruni pipinya.
Jemarinya menggenggam erat ponsel di pangkuannya. Ponsel yang sedari tadi ditunggu untuk berbunyi.
Apa yang sesungguhnya diharapkannya? Sebuah suara yang menyapanya di hari ulang tahunnya? Suara dari seorang yang dulu menjadi kekasihnya? Yang sekarang entah sedang melakukan apa?
Bodoh. Dia sungguh bodoh. Itu tak mungkin, kan?
Bibirnya masih mengeluarkan suara tawa kecil, diiringi tangisnya, yang makin lama makin terhapus oleh suara isaknya.
Lelaki itu tak mungkin lupa. Mereka sudah bersama sedari kecil. Lelaki itu selalu ingat, selalu ada di sampingnya dan menemaninya seharian - bahkan sebelum masing-masing dari mereka menyadari ada rasa lain di persahabatan mereka. Lelaki itu tak mungkin sudah melupakannya, kan?
Sebuah pertanyaan yang membuat tangisnya makin keras terdengar.
Yang masih saja tersisa meski dia mati-matian menahan isaknya ketika ponselnya sudah di telinganya, menghubungkannya dengan pemuda Inuzuka.
"Kau menangis?" Suara itu mengalun. Dan kalimat aneh itu yang menjadi pembuka, setelah sekian lama. Hinata hanya bisa mendengus pelan, meski dia bisa mendengar nada khawatir dalam suara itu.
Dia rindu.
"Aku rindu," terucap begitu saja, kejujuran dalam bentuk dua kata yang membuat lelaki di seberang tertawa pelan. Dia tak peduli jika dia berada di luar karakternya. Semua ini karena lelaki itu, yang meninggalkannya begitu saja - memutuskan ikatan mereka dengan kalimat perpisahan sepihak.
"Jangan mengatakannya, Hinata. Kau hanya membuatku ingin terbang ke Jepang dan memelukmu" Mereka berdua tahu, inilah alasan kenapa masing-masing dari mereka memutuskan untuk tak saling menghubungi, tak saling memberi atau menanyakan kabar.
"Bodoh," bisiknya lirih. Tawa itu terdengar lagi di telinga Hinata, membuat sudut bibirnya terangkat. Perasaannya menghangat, rasa tenang yang masih dibalut sedikit sepi dan rindu.
"Cepat kembali. Aku sudah lelah menunggumu"
Mari kita bertemu dan bercerita, tentang mimpi kita masing-masing - sudah sedekat apa, apa sudah kau raih..... Hal ini kan yang membuat kita berpisah sementara waktu?
"Selamat ulang tahun, Hinata. Maaf baru bisa menghubungimu. Terima kasih sudah mau menungguku"
KAMU SEDANG MEMBACA
Always With Me
FanfictionI don't believe in 'forever' || It's alright if the only one who hurts is me... || KibaHina Oneshot(s)