Unfading Light

100 12 0
                                    

-9-


Dia tak pernah berbohong. Karena aku tak pernah bertanya.

Cukup senyumnya, tanpa raut canggungnya. Cukup tawanya, tanpa gagapnya. Cukup dia seorang.

Aku tak butuh penjelasan

Aroma kopi masih setia menyapa hidungku, masih setia mencoba menyamarkan aroma lavender yang selalu menguar dari tubuhnya. Bising masih saja menggelitik telingaku, mencoba menyembunyikan suaranya yang memang lirih. Aku masih menaikkan sudut bibirku, masih tak mengalihkan pandanganku dari sosoknya, masih sesekali tertawa mengiringinya yang sesekali tertawa kecil.

Dia tak pernah berbohong. Karena aku tak pernah bertanya.

Tentang 'siapa' yang dia sebut sebagai 'teman' dalam ceritanya, misalnya.

Aku tahu. Dan aku tak butuh penjelasan.

Aku yang meringsek masuk dalam hidupnya. Aku yang menawarkan bahuku. Aku yang meraih tangannya yang dingin.

Jadi aku tak ingin mengganti senyumnya dengan raut canggungnya ketika aku memotong ceritanya dengan kata 'siapa'. Jadi aku tak ingin tawanya menghilang dan berganti dengan suara gagap ketika dia menjelaskan 'siapa' yang kutanyakan.

Jadi cukup dia saja yang bersuara, karena aku akan selalu mendengarkan dia yang bersuara.

.

.

Dia tak pernah bisa menyembunyikan apapun dariku. Karena aku sangat mengerti dirinya.

Tentang matanya yang terbelalak kaget. Tentang jeda pendek di rangkaian ceritanya. Tentang suaranya yang tercekat meski dia mencoba untuk menyamarkannya. Atau dia yang mencoba untuk menunduk.

Aku tak butuh penjelasan.

Suara yang familiar terdengar begitu saja di telingaku – ceria dan keras. Sudut mataku menangkap sosok matahari itu. Mataharinya. Matahari Hinata-ku. Bersama Musim-Semi Matahari Hinata-ku.

Aku memandangnya, manik bulan itu, yang sepertinya tahu ke mana manikku baru saja kuarahkan. Aku memandangnya, manik bulan itu, yang menyampaikan rasa bersalahnya padaku.

Helaan nafasku tak kucoba untuk kututupi. Aku tak ingin kekanakan, aku hanya ingin dia tahu aku sedang mencoba berdamai dengan egoku. Meski manik matanya yang berkaca membuatku sesak, dan merutuki kebodohan yang baru saja kulakukan.

Aku tahu.

Dia masih mencoba untuk melupakan.

Dan aku masih sanggup untuk menunggu.

Aku tak akan bertanya kepadanya, tentang berapa lama aku harus menunggu. Aku tak akan bertanya kepadaku sendiri, tentang berapa lama aku sanggup menunggu.

Karena aku masih sanggup untuk menunggu. Lagi. Dan lagi.

.

.

Dia seorang yang terlalu baik. Karena aku yang akan menjadikannya seperti itu. Aku seorang yang terlalu jahat.

Menggenggam erat jemarinya, menariknya menjauhi tempat yang selalu menjadi tempat di mana dia membagi senyumnya untukku. Meninggalkan aroma kopi yang akan menyamarkan lavendernya.

Aku, tak ingin memaksakan apapun kepadanya.

Selama dia masih bersedia untuk tetap ada di sampingku, aku akan tetap menggenggam jemarinya.

Aku akan melepasnya, jika memang dia menginginkan untuk pergi dariku. Aku akan melepasnya, dengan senyum.

Aku yang akan melihat punggungnya. Karena memang aku tak akan pernah bisa meninggalkannya.

Dia tak pernah melukaiku.

Aku yang menginginkan luka ini. Aku sendiri yang meninggalkan luka ini. Yang mungkin suatu saat akan sembuh, entah kapan. Meski masih berbekas.

Always With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang