-12-
Pandangan matanya benar-benar terpaku pada pemandangan di depannya, pikirannya kosong. Dan di suatu tempat entah di mana, dia merasakan kesakitan yang sangat menyiksanya. Dua es krim di tangannya telah benar-benar meleleh, mengalirkan dingin dan lembut di waktu yang bersamaan. Sama seperti dia yang merasakan manis dan pahit, sekarang. Detik ini juga.
Dia hanya bisa menghela nafas. Tersenyum pahit. Dan kemudian berbalik.
Dia tidak bisa melakukan hal apapun saat ini.
Kakinya telah kaku, karena entah berapa lama dia berdiri di titik itu tanpa menciptakan gerakan apapun. Melihat gadis itu bersama dengan orang yang dia sayangi – selalu orang itu.
Sebelum keluar dari taman bermain, dia membuang es krim yang dia niatkan untuk diberikannya pada gadis itu. Urung dia lakukan, begitu melihat teman sekelasnya yang mencuri hatinya tengah bersama seseorang yang dia tahu telah lama pergi keluar negeri meninggalkan jepang.
Sai telah kembali. Tepat di depan matanya. Dan menyeret kembali Hinata ke dalam dunianya.
Dan dia tersingkir. Begitu saja. Tanpa perlawanan.
.
.
Pertama kali dia merasa takdir memberinya kesempatan adalah saat gadis bersurai indigo itu menangis tanpa suara di bangku sudut taman kota dekat rumahnya.
Tanpa sengaja, dia yang baru pulang dari mini market dan melintasi taman melihat wajah gadis itu tertutup kedua tangannya. Dan langkahnya tercipta begitu saja, membawa tubuh berbalut sweater coklat mendekat ke arah kebahagiaan yang selalu menjadi harapannya. Dia, gadis itu, telah menjadi pusat rotasi dunianya sejak hari pertamanya di bangku senior.
Saat jarak tak lebih dari lima langkah, manik coklatnya tak meloloskan gerakan kecil dua bahu yang bergetar samar, serta aliran air yang menjadikan rok lipit selutut milik sang gadis basah. Dan langkah lainnya tercipta. Tepat saat berada di depan gadis bermarga Hyuuga, dia menurunkan paper bag dari pelukannya ke tanah tak jauh dari kaki kanannya, dan berlutut di atas kaki kirinya. Tak menimbulkan suara apapun.
Kedua tanganya terulur, menyentuh dua sisi wajah Hinata. Merasakan kekagetan dari tubuh itu – yang perlahan menurunkan kedua tangannya, memperlihatkan wajah kusut dengan manik yang terus mengeluarkan air mata. "Hinata," sapaan pelan, namun dia yakin masih bisa didengar oleh Hinata.
"Ki-ba...," gadis di depannya berusaha keras mengucap kata ditengah isak tanpa suaranya. "Kiba..." jemari mungilnya kini tengah meremas rok lipit seragam.
"Ada apa?" sungguh, Kiba tidak ingin melihat gadis ini menangis. Nafasnya terasa sesak. Dan kesedihan ikut merambatinya.
"D-dia pergi..."
Siapa yang kau maksud, Hinata?
"D-dia telah pergi..."
Siapa?Pergi kemana, Hinata? Cobalah bicara dengan jelas.
"S-Sai pergi..."
"Ah...," dan benar-benar hanya desahan itu yang keluar selama beberapa saat ke depan. Hinata masih menahan suara isaknya. Ketika dua tangannya telah menggenggam dua tangan lain, yang ada dalam benaknya hanya keinginan untuk menghantarkan satu ketenangan untuk gadis itu.
"D-dia tidak mengatakannya padaku. Pergi begitu saja...," nafasnya telah lebih teratur, getar di pundaknya mereda. Dan kalimat yang baru dikeluarkan dengan lirih itu membuat Kiba menghela nafas.
Dua lengannya membawa tubuh Hinata ke dalam pelukannya, mencium wangi lavender, dan membelai lembut punggung yang masih berbalut seragam. Getaran tubuh itu mulai melemah, ditambah berat yang makin membebani Kiba. Tak ada suara apapun dari keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Always With Me
FanfictionI don't believe in 'forever' || It's alright if the only one who hurts is me... || KibaHina Oneshot(s)