-11-
Keduanya tahu bahwa ini adalah kesalahan. Tapi tak ada yang menyuarakannya. Karena mereka sama-sama berpura-pura lupa... dan bersembunyi dibalik sebuah alasan yang sederhana."Maaf membuatmu menunggu, Kiba," gadis itu menghampirinya dengan lari kecil. Berhenti tepat di hadapannya sambil menyunggingkan senyum kecil, dengan nafas yang masih terenggah-enggah.
Tak ada yang istimewa dengan penampilannya di minggu pagi ini. Surai indigonya masih diikat ekor kuda, dengan kaos lengan pendek warna putih yang pas di tubuhnya, celana jeans panjang berwarna hitam, sepatu kets hijau lumut dan tas kecil tersampir di bahunya – menempel di pinggangnya. Tak ada yang istimewa, tapi di matanya gadis itu selalu terlihat mempesona. Selalu.
"Aku baru datang. Terima kasih sudah mau menemaniku mencari kado untuk Matsuri," senyum tipis terbentuk. Sebuah kalimat pembenaran, sebenarnya. Dia menginginkannya, gadis di depannya juga menginginkannya – menghabiskan waktu akhir pekan entah di mana. Dia bahagia dan sesak di waktu yang bersamaan. Sekat diantara keduanya telah terbentuk meski transparan. Saling melihat, tapi tak bisa saling menyentuh.
"Apa yang kau bicarakan? Aku juga punya kepentingan untuk itu," dia berjalan meninggalkan Kiba di belakang, menyembunyikan sudut bibir yang terangkat tinggi. Dia terlalu senang, mendekati gugup lebih tepatnya. Lalu tubuhnya berbalik, mendapati pemuda itu masih berdiri menatapnya sambil tersenyum, pipinya memanas dengan detak jantung yang mendadak bertambah cepat. Pemuda itu selalu bisa membuatnya salah tingkah, membuatnya mengumpat dalam hati dan menyesali sikapnya yang tidak bisa manis seperti dulu. "Kereta akan berangkat sebentar lagi. Kau akan kutinggal," Hanya omong kosong, nyatanya dia masih diam di tempat, menunggu pemuda itu meraihnya.
Ya. Memang selalu seperti itu. Kiba yang selalu bergerak.
Lelaki dengan surai berantakan itu mendekat, meraih tangan mungil sang gadis dan berjalan beriringan. "Aku menunggu itu... Kau yang meninggalkanku," suaranya lirih, tapi masih terdengar jelas. Karena dia tak bisa pergi meninggalkan gadis itu, langkahnya terlalu berat untuk melangkah. Baginya, hatinya akan lebih menerima jika dia melihat punggung Hinata yang pergi meninggalkannya dibanding memunggungi gadis itu dan mendengar isak tangisnya. Dia tak akan bisa meninggalkan gadis itu di belakang.
Langkahnya terhenti, manik coklatnya menatap gadis itu – yang tiba-tiba memaksanya berhenti dan menunduk menyembunyikan wajahnya. "Kiba..." sungguh dia tidak menyukai saat di mana dia tak mampu memandang wajah dan menatap manik ametis gadis itu. Lengannya terulur, berusaha menyentuh surai yang masih terikat rapi.
Wajah bulat itu terangkat, menampilkan senyum "Kau tahu? Kau dan aku sama-sama menunggu, pada sesuatu yang berbeda. Dan akan kupastikan kau yang meninggalkanku" aku yang menunggumu mendatangiku dan kau yang menungguku meninggalkanmu. Dia sadar, pandangan mereka tak akan menemukan titik temu. Dan hal itu membuatnya menyunggingkan senyum. Ya, mereka tidak akan melepaskan tautan jemari ini. Karena masing-masing ingin menjadi yang terakhir untuk melepas, tanpa ada yang ingin menjadi pertama.
"....."
"....."
"Jangan tersenyum seperti itu di hadapanku..." kalimatnya tergantung dengan senyum tipis, menikmati sepenuhnya wajah kebingungan dari gadis di depannya, "...itu hanya akan membuatku jatuh cinta lagi padamu" dan sebuah kejujuran terucap begitu saja.
Sebuah kenyataan tergambar dalam imajiner kepala mereka – menyesakkan dan menyakitkan – tapi keduanya memilih mengabaikannya. Mereka berdua tahu bahwa keduanya sama-sama tahu masing-masing perasaan satu sama lain. Tapi...
"Bodoh. Jangan mengatakan hal-hal seperti itu..." aku sudah tahu "...Kau bisa membuat Matsuri marah" dan membuatku makin merasa bersalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Always With Me
FanfictionI don't believe in 'forever' || It's alright if the only one who hurts is me... || KibaHina Oneshot(s)