windsong

185 22 1
                                    

-5-

Gadis di sampingnya masih terdiam. Dari sudut matanya, tangan di pangkuan gadis itu masih menggenggam erat, kepalanya masih menunduk, dan rambut panjangnya masih diterbangkan angin yang berhembus pelan – yang membuatnya beberapaa kali mengeratkan syal di lehernya.

Dan lagi-lagi dia harus mengakui, gadis ini terlalu indah, dan selalu indah. Berapa pun waktu berlalu.

Gadis ini, selalu membawa kenyamanan.

Dia mencintainya, gadis ini. Tapi hanya sebatas itu. Hanya sebatas cinta saja yang bisa dia berikan. Bukan kebahagiaan. Bukan tawa. Bukan kebersamaan. Bukan masa depan.

Cinta darinya, bukanlah segalanya.

Dan cinta dari gadis ini, tak cukup.

Jadi, yang bisa dia lakukan hanyalah mencoba berdamai dengan keadaan – menerimanya dengan harapan bahwa akan ada keadaan yang lebih membuat gadis ini bahagia. Karena masih ada banyak waktu untuk gadis ini, untuk memulai lagi.

"Jangan egois, Hinata," entah kenapa, yang muncul pertama dari bibirnya malah kalimat itu. Bernada menuduh, dan terlihat seperti semua keadaan ini ada dan terjadi karena kesalahan Hinata. Sudah terlambat, untuk memperbaikinya. Tapi sesungguhnya dia merasa, memang ini adalah jalan yang tepat. "Mencintaiku bukan berarti kau harus memilikiku. Aku bukan benda" Keadaan yang sama juga berlaku untuknya. Dia mencintainya, gadis ini, sangat. Tapi dia tak mungkin memaksakan dan melawan keadaan untuk memiliki gadis ini. Sungguh, dia merutuki dirinya yang sangat egois. Kiba Inuzuka yang sangat egois.

Gadis ini menangis, dalam diam. Dia dapat melihat tetesan basah di genggaman tangan gadis itu. Lagi-lagi, dia hanya bisa merutuki dirinya sendiri. Dan menyadari, bahwa inilah yang akan terjadi nanti, di kemudian hari. Dan menyadari, bahwa inilah yang telah terjadi, hari-hari lalu. Dia yang membuat gadis ini menangis.

Dia sudah tahu. Dia hanya bisa memberikan cintanya. Tapi itu saja tidak cukup.

"Kau bilang, aku harus mencintai seseorang yang mencintaiku. Kau mencintaiku, maka – "

"Bukan itu maksudku, Hinata," nada suaranya naik tanpa bisa dicegah, tapi dia tidak peduli. "Maksudku dia. Dia mencintaimu, Hinata. Dan dia bisa memberikan banyak hal kepadamu. Banyak hal, yang tak mungkin bisa kuberikan. Kebahagiaan. Masa depan. Aku tidak bisa memberikan itu kepadamu, Hinata," nafasnya sesak, dan suaranya berubah lirih, "Jadi kumohon, teruslah hidup. Tinggalkan aku," meski dia tak ingin gadis ini meninggalkannya, tapi hal itu harus terjadi. Harus.

Suara isakan terdengar. Hinata, sudah sampai batasnya. Dia tahu. Dan dia melakukannya lagi, membuat gadis yang sangat dicintainya menangis.

Hinata berdiri. Dia masih enggan untuk mendongak, lebih memilih menekuni apapun itu di bawah kakinya.

"Aku harus menghadiri kelas kuliah"

Tubuh itu berlalu, membuatnya mengangkat kepalanya, yang membuat pandangannya tertuju pada pundak kecil itu.

"Hinata," panggilnya pelan. Gadis itu berhenti, tapi tak menoleh. Itu lebih baik bagi Kiba, bagi mereka berdua "Jangan kembali lagi"

"Semoga operasimu berhasil, Kiba"

Dia menatapnya, tubuh kecil berbalut coat hitam, yang menjauh tanpa sekalipun berbalik memandangnya. Dan kemudian menghilang dari pandangan manik coklatnya.

Dia egois. Dia tahu. Tapi dia tak boleh lebih egois dari ini.

Dia tak akan mengharapkan keajaiban. Bukan karena dia menyerah begitu saja. Bukan karena dia pesimis. Lebih karena dia harus realistis. Dan dia siap menerima kenyataan. "Apa kau bisa menciumnya, Hinata? Aroma kebebasan yang dibawa angin, aku bisa menciumnya"

Bukan dia yang telah berhasil membebaskan diri. Tapi Hinata, yang telah dia lepaskan. Itu, adalah harapannya. "Apa kau bisa menciumnya?"

"Apa aku sudah memberitahumu bahwa aku benci bau antiseptik, Hinata? Apa aku sudah memberitahumu bahwa aku bosan berada di rumah sakit, Hinata? Apa aku sudah memberitahumu bahwa aku lelah terus-terusan meminum obat yang tidak pernah habis, Hinata? Aku benci, bosan, dan lelah"

"Apa aku sudah memberitahumu bahwa aku ingin selalu di sampingmu, Hinata?"

Dia tertawa pelan. Sudut matanya menghangat, dan basah... dia bisa merasakannya.

Always With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang