-3-
Pintu lokernya baru saja tertutup ketika dia mendengar namanya dipanggil dengan suara keras. Suara yang begitu familiar, yang membuatnya sejenak terpejam dengan helaan nafas dalam sebelum kemudian tubuhnya berbalik, dan menemukan wajah dengan senyum lebar yang sangat dicintainya. Senyum yang selalu saja membuatnya menaikkan sudut bibirnya tanpa bisa dikendalikan, tanpa bisa dicegah.
Dan dia sadar. Pemuda itu memiliki pengaruh kuat padanya – tubuh, pikiran dan hatinya.
Cengiran itu masih bisa dilihat oleh amethysnya, begitu pula dengan raut bersalah yang begitu terbaca di wajah coklatnya.
Dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Pasti sesuatu yang membuatnya kecewa. Tapi tetap saja, dia tidak bisa dan tidak mampu untuk menghilangkan senyum tipisnya. Tidak akan pernah dia lakukan jika itu membuat raut bersalah seseorang di depannya makin terlihat jelas.
"Maaf aku tidak bisa menemanimu lagi. Pelatih menambah porsi latihan kami," dia itu berucap lirih – sangat tidak Kiba. Karena pemuda itu selalu meledak-ledak, di banyak kesempatan tanpa terlalu memperdulikan sekitarnya.
"Aku tahu, Kiba-kun. Kau tak perlu khawatir," dan kumohon jangan memasang raut itu.
"Tapi...."
"Berjuanglah. Aku juga minta maaf karena tak bisa lagi menemanimu," senyumnya melebar. Mencoba menenangkan sosok di depannya. Bahwa dia akan baik-baik saja. Bahwa mereka akan baik-baik saja. Semua ini akan segera terlewati. Dan mereka bisa pulang bersama lagi, berkencan di akhir minggu, dan menghabiskan lebih banyak waktu bersama lagi.
"Yosh. Mari kita sama-sama berjuang, Hinata"
Tawa kecilnya lolos begitu saja.
Inilah Kiba. Semangat seperti biasanya.
Dia suka.
Teramat suka.
"Hati-hati di jalan, Hinata. Jangan pernah melirik pemuda lain. Sampai jumpa"
Senyum lebar itu selalu menular padanya.
Sudut bibirnya masih terangkat, maniknya menatap punggung Kiba yang menghilang dengan cepat – secepat larinya, kakinya bergerak.
Dia melangkah dengan tenang sambil sesekali memperbaiki scarfnya – mencoba mengurangi dingin angin yang berhembus kencang. Ingatannya memutar kembali runtutan alur kehidupannya.
Senyum tipis tercipta lagi.
Perempuan itu bernama Matsuri. Manajer klub kekasihnya. Dia sudah merasa tidak tenang dengan keberadaan gadis itu sejak pertama kali menemani Kiba berlatih – menunggunya untuk bisa pulang bersama. Perempuan itu sungguh sangat terang-terangan menunjukkan ketertarikannya pada Kiba. Selalu membuntuti dan memberikan perhatian lebih kepada kekasihnya.
Dan sulung Hyuuga itu hanya bisa bersyukur dengan sifat kurang peka-nya Kiba.
Itu dulu....
Ceritanya berbeda... Sejak mereka tak pernah lagi pulang bersama. Sebelum dia mulai tak pernah lagi menemani Kiba berlatih. Sejak dia lebih sering menghabiskan waktunya di perpustakaan kota. Sejak entah berapa minggu lalu seorang guru memintanya untuk mengikuti olimpiade antar sekolah yang akan diadakan beberapa minggu lagi.
Dia menghela nafas keras. Bibirnya tak lagi menunjukkan lengkung ke atas.
Hanya bisik-bisik...dari teman-temannya. Bahwa Kiba sering terlihat pulang bersama Matsuri. Bahwa beberapa kali Kiba terlihat ditemani Matsuri di sebuah kafe, saat akhir minggu. Bahwa Matsuri selalu membawa bekal lebih yang akan diberikan kepada Kiba sebelum latihan klubnya dimulai. Bahwa.....
Ah....
Langkahnya berhenti sejenak, tepat sebelum memasuki perpustakaan.
Matanya terpejam.
Sosok Kiba tiba-tiba saja menjadi buram.
Dia menghela nafas dalam, mencoba menenangkan jantungnya yang tiba-tiba saja berdetak kencang. Sudut bibirnya terangkat, kakinya melangkah, maniknya menyusuri ruangan perpustakaan yang terlihat sepi, dan sudut bibirnya makin terangkat tinggi ketika amethysnya menemukan warna yang begitu kontras dengan dominasi coklat ruang perpustakaan.
Langkahnya begitu ringan.
Mungkin...pemuda beriris coklat gelap itu masih memiliki pengaruh yang sangat kuat padanya – tubuh, pikiran dan hatinya.
Tapi dia sadar.
Ada seorang lain yang memiliki pengaruh padanya.
Seseorang yang selalu duduk di depannya, berbagi meja dengannya sejak beberapa minggu lalu. Seseorang yang selalu menunjukkan raut hangat kepadanya, di balik wajah datarnya. Seseorang yang begitu perhatian kepadanya meski tersamar sikap dan kalimat kakunya.
"Selamat sore, Sabaku-san"
Setitik merah di tengah dominasi coklat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Always With Me
FanfictionI don't believe in 'forever' || It's alright if the only one who hurts is me... || KibaHina Oneshot(s)