New World

188 26 0
                                    

-6-

Dia sedang duduk di lantai kayunya ketika sudut matanya menangkap gerakan kecil dari arah gerbang depan rumah. Maniknya memandang sekeliling, tidak ada seorangpun dari keluarganya yang terlihat. Artinya dia sendirian. Amethysnya kembali melirik gerbang kayu, dan dia tak melihat apapun. Tapi suara anjing terdengar, diikuti suara seseorang yang samar dapat dia dengar "Ssst. Diamlah Akamaru"

Dia penasaran.

Perlahan dia menurunkan kaki kecilnya, meraih sandal, dan mengendap ke arah asal suara. Tangannya menempel pada kayu di hadapannya, kepalanya terjulur ke luar dengan badan yang masih berada di halaman rumahnya. Rumah barunya.

Matanya mengerjap. Menemukan seorang lelaki berambut coklat dengan tato segitiga di masing-masing pipinya dan terlihat memegang moncong seekor anjing putih.

Amethysnya mengerjap.

Manik berpupil coklat kecil di hadapannya mengerjap.

Masing-masing tak bersuara, tak bergerak.

Suara pertama dari lelaki tak dikenal di hadapannya adalah teriakan kesakitan. Dan kemudian mengibaskan lengan kanannya berkali-kali.

"Baka. Kenapa kau gigit tanganku?"

Tangan kirinya masih mengelus jemari kanannya, bibirnya masih mengumpat. Sepenuhnya melupakan sosok yang menjadi objek yang dia intip.

"Kau tidak apa-apa?"

Aneh. Ini aneh. Hinata tidak pernah ingat, dalam hidupnya, dia bisa bicara setenang ini dengan seorang yang asing. Tanpa gagap. Tanpa gugup. Tanpa menunduk. Tanpa memainkan dua telunjuk tangannya. Hanya ada rasa kekhawatiran, yang terlihat dari raut wajahnya dan terlukis dari nada suaranya.

"Ah," lelaki itu tersentak, menyadari seorang lain di sekitarnya. Tangan kirinya terangkat, menggaruk kepalanya. Secara reflek dia menyembunyikan tangan kanannya di belakang tubuhnya. "Tak apa. Akamaru memang selalu menggigitku"

"..."

"Kau," dia menemukan suaranya serak. Tangan yang semula menggaruk kepalanya beralih ke pipinya, jari telunjuknya menggaruk pipinya – mencoba mengurangi kegugupannya. "Aku baru melihatmu. Kau baru?"

"Iya. Aku baru pindah. Hyuuga Hinata. Mohon bantuannya," tubuhnya membungkuk.

"Oh. Pantas. Aku Inuzuka Kiba. Kau bisa memanggilku Kiba. Mohon bantuannya," dia membungkukkan tubuhnya sejenak sebelum kemudian bersuara lagi, "Ano, Hinata... Kelas berapa?"

"Aku kelas tiga. Kiba-kun?"

"Ah. Kita sekelas. Shino harus tahu ini. Hinata, aku akan memanggilmu seperti itu. Boleh, kan? Kau mau ikut denganku? Akan kukenalkan dengan temanku," maniknya berbinar. Tanpa sadar meraih sebelah lengan perempuan di hadapannya dan menariknya. Merasa kekuatannya tak mampu menarik perempuan itu, dia berbalik dan menemukan sang teman baru menunduk tak menggerakkan kakinya – terlihat ragu.

"Aku belum meminta izin kepada orang tuaku. Mereka pasti marah kalau melihatku bermain tanpa izin. Lagipula Ayah selalu menyuruhku untuk bermain hanya dengan Neji-nii"

Kiba tak bersuara. Cengkeraman tangannya pada lengan perempuan itu terlepas. Dia berjalan ke depan, mendekati perempuan berambut indigo pendek. Mendapati manik tanpa pupil yang memandangnya ragu. Tanpa sadar dia tersenyum lebar, mengangkat kedua tangannya ke pipi sang teman baru dan mencubitnya dengan gemas.

"Kita sudah besar. Jadi kalau main tak perlu izin lagi," kedua tangannya masih memainkan pipi Hinata, masih dengan senyum lebar.

"Kita baru kelas tiga sekolah dasar," dia berucap meski dengan pipi yang sakit. Dia tak bisa menghasilkan suara dengan bunyi yang benar, "Kiba-kun, sakiiit"

"Tenanglah," tangannya meraih jemari mungil Hinata, "Cukup pegang erat tanganku. Kita akan berlari cepat, jadi jangan dilepas ya. Percaya padaku. Oke?" Senyumnya mengembang, lebar.

Always With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang