-8-
Ruangan sederhana itu hanya terisi dua orang, sedang menikmati tiap kegiatan mereka masing-masing dalam diam dengan ditemani angin yang leluasa keluar masuk dari jendela yang terbuka lebar. Seorang berambut coklat terlihat tertidur nyaman di pangkuan gadis bersurai indigo – terlihat senang mempermainkan rambut pemuda bertato merah di kedua pipinya. Sedangkan lengan kokohnya bersendekap – menahan tumpukan kertas yang berada di atas dadanya agar tidak jatuh berhamburan.
Suara pintu terbuka tak mengusik kegiatan mereka berdua untuk sekedar menoleh – mencari tahu seorang yang telah masuk ke daerah pribadi tanpa izin. "Sampai kapan kau mau bermanja, Inuzuka-san?" pemuda berambut silver dengan kaca mata bundar bersendekap berdiri menjulang di depan sofa yang menjadi tempat istirahat Kiba dan Hinata
"Dia masih lelah, Kabuto-san. Kiba-kun baru pulang pagi tadi – "
"Dan sekarang sudah menjelang sore, Hinata. Kurasa tidur seharian lebih dari cukup untuknya. Ayo, Kiba! Kau ingin Sasuke marah lagi gara-gara dia selalu di laboratorium sendirian?" langkahnya menghilang di balik pintu – tak berniat mendapat sahutan dari dua manusia berbeda gender yang masih beristirahat, meninggalkan suara dentuman dari pintu yang ditutup keras.
Jemari lentik itu mengusap lembut segitiga merah, membungkuk mendekatkan wajahnya ke telinga Kiba dan berbisik, "Bangun, Kiba-kun. Teman-teman menunggumu"
Hinata hendak kembali posisi duduknya ketika tangan Kiba menghentikan gerakannya – menarik lembut rambut indigo Hinata agar si empu tetap berada dalam posisinya. "Cium," lirih pemuda itu manja.
Hinata tersenyum dan mengecup ujung mata kiri Kiba – yang kemudian bergumam, "Aku tak yakin bisa melepasmu ke tangan si Uchiha itu, Hinata"
"Maka kau tak perlu melepas"
"Apa itu berarti kau lebih memilih menjadi anak durhaka daripada meninggalkanku?" Suaranya lirih dengan wajah sendu, menahan sesak yang tiba-tiba datang ketika mengingat segala hal tentang dua keluarga besar yang telah menjalin hubungan baik sejak beberapa tahun lalu. Dan untuk sedikit mengurangi sesak itu, Kiba menghela nafas keras, mengeluarkan keinginan yang telah berputar-putar di kepalanya semenjak dia ikut dalam proyek Uchiha-Hyuuga "Aku ingin pergi dari tempat ini"
"Aku tahu, Kiba. Sangat tahu" Hinata menggigit bibirnya keras, menahan desakan untuk meloloskan air yang telah menggenang di sudut matanya. Ya, dia sangat tahu, sangat mengenal lelaki ini. Seorang yang telah bersamanya selama masa kuliah hingga sekarang, yang selalu membuatnya tersenyum dan melupakan tuntutan keluarga Hyuuga yang sungguh berat – baginya. Sangat tahu jika pemuda ini telah berjuang semampu yang dia bisa untuk mendapat pengakuan dari Tou-sannya, yang bahkan tak ingin melihatnya lagi secara langsung hanya karena Kiba dari keluarga Inuzuka, klan yang tidak besar dan tidak mampu menembus kualifikasi dari standar yang ditetapkan Hiashi. Sangat tahu jika senyum yang dulu selalu ada kini perlahan-lahan menghilang, pun ingatan Hinata telah mengabur – bagaimana bentuk senyumnya dan kapan terakhir dia tersenyum.
Sesunguhnya, Kiba tidak berniat ikut dalam proyek ini. Tapi karena Hinata memintanya ikut, dia tidak bisa menolak. Lebih tepatnya tak ingin melihat wajah sedih dan kecewa Hinata saat menerima penolakan darinya. Gadis itu hanya ingin Tou-sannya tahu bahwa Kiba bisa diandalkan dan layak mendapat kepercayaan darinya. Gadis itu hanya ingin hal sederhana itu, mengabaikan beban moral jika proyek berhasil maka kekasihnya akan menjadi salah satu orang yang terlibat dalam terbunuhnya jutaan – atau mungkin puluhan juta – orang. Biarkan Hinata egois, sekali saja.
"Maaf" begitu lirih, dan penuh penyesalan.
Maaf karena mendorongmu terlalu jauh.
Maaf karena menarikmu terlalu dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Always With Me
FanfictionI don't believe in 'forever' || It's alright if the only one who hurts is me... || KibaHina Oneshot(s)