Rain of Hope

106 17 1
                                    

-10-


Bukan dia ingin megkhianati Matsuri. Bukan karena itu. Dia hanya tidak bisa lagi membohongi perasaannya. Rasa sayangnya pada Hinata – meski gadis itu tak pernah sadar bahwa dia selalu memandangnya dan menganggapnya ada – lebih dalam dari pertemanan atau persahabatan teman sekolah. Memposisikan diri sebagai lelaki dan menempatkan gadis itu sebagai perempuan. Menyadari raut sakit Hinata saat Naruto selalu mengabaikannya dan mementingkan Sakura atau Shion. Dia sangat memahami Hinata, melebihi siapapun. Karena dia tak pernah melepas pandangannya pada sang Hairess Hyuuga meski di sampingnya Matsuri menatapnya dengan pandangan sendu.

Hanya Kiba yang memandang nanar senyum Naruto, selebrasi keunggulannya melawan Sora. Karena Naruto telah berjanji – dengan lantang, dan tak seorangpun tak tahu – pada Sakura, bahwa setelah Turnamen selesai, akan ada kencan diantara mereka berdua. Hanya Kiba yang sadar, dalam senyum tipis Hinata, ada setitik raut kesedihan. Dan hanya Kiba yang tahu langkah Hinata yang berbalik memunggunggi Naruto, berjalan gontai meninggalkan kerumunan yang bersorak keras.

Dia menghela nafas keras – menimbulkan suara yang teredam teriakan kemenangan yang masih bergema. Mengikuti Hinata. Meski Kiba sadar, Matsuri menyadari kepergiannya, menyadari siapa yang menjadi pusat perhatiannya, menyadari alasan kepergiannya.

Dia tahu dia egois. Tapi biarkan. Biarkan dia menghentikan tangis Hinata, kali ini. Setelah berkali-kali keraguan merantai langkahnya tuk menghampiri gadis itu saat tangisnya selalu pecah – di tempat yang selalu sama. Dia tahu. Selalu tahu yang terjadi pada gadis yang menyukai Naruto entah sejak kapan. Tapi dia tidak tahu, sejak kapan dunianya terpusat pada sosok bermanik ametis itu.

Langkah kakinya terhenti. Menatap sendu punggung rapuh yang bergetar, terisak pelan.

Dulu, dia selalu memandangnya yang seperti ini tanpa mampu berbuat apapun. Terlalu sadar, dia tidak berhak mencampuri urusan pribadi Hinata – bahkan untuk sekedar meminjamkan pundaknya. Kini, dia akan memulainya – sesuatu yang dulu berakhir bahkan sebelum dia memulainya. Dia akan mencoba berada di sisi Hinata, meski tahu Hinata tak mengharap kehadirannya.

Langkahnya mantap meski tak menimbulkan suara. Mengulurkan kedua tangannya ketika jarak mereka tak begitu jauh. Meraih tubuh kecil yang tengah terduduk di ayunan taman untuk ditarik dalam dekapannya. Merasakan keterkejutan.

Tubuh ini begitu hangat, dan dia tak yakin bisa melepasnya "Hinata," hanya ucapan lirih.

"Ki-ba?" bibirnya terbuka di sela isakan tangis.

"Hn" Dia masih bisa merasakan getaran dari punggung Hinata yang menempel erat di dadanya. Membuanya mengeratkan pelukan dan bergumam di telinga yang sangat dekat dengan bibirnya "Jangan menangis, lagi" hingga dia bisa merasakan wangi lavender yang menguar jelas, menggelitik indra penciumannya.

"A-a-aku...." Serak. Bahkan dia masih belum benar-benar mengeluarkan suaranya.

"Aku pernah mengatakannya padamu, jika kau masih ingat. 'Dia' takkan pernah benar-benar menganggapmu sebagai perempuan – takkan pernah menyukaimu, dan hanya melihatmu sebagai teman yang harus dijaganya. Mungkin aku terdengar jahat karena mengatakannya saat kondisimu seperti ini. Tapi aku benar-benar tak bisa lagi melihatmu menangis. Tak ingin lagi, Hinata"

Isaknya bertambah keras. Dia sadar, ucapan Kiba memang benar. Menyakitkan, tapi memang sebuah kenyataan yang harus segera diyakininya. "Aku menyukai-nya, k-kau tahu – " Dan dia baru sadar, Kiba selalu melihatnya dalam keadaan menyedihkan.

"Aku tahu, Hinata. Sangat tahu. Dan aku tahu bahwa aku menyukaimu"

"A-ku...." tidak tahu itu.

"Aku yakin kau tidak akan pernah tahu, jika aku tidak mengatakannya" Karena matamu hanya menangkap berkas sinar senyum Naruto.

"...."

"Apa aku tak cukup bersinar hingga matamu tak mampu menangkap kehadiranku, Hinata?" entah kenapa sudut matanya yang terpejam menampilan butiran air. Kini tubuhnya yang bergetar, menggantikan Hinata yang hanya bisa terpaku – terlupa dengan tangisnya.

Tangannya yang semula terkulai di pangkuannya mulai terangkat, menggenggam lengan Kiba yang berada di depan dadanya, yang melingkari tubuhnya. Hinata tahu, rasa sakit jika keberadaan diri tak di anggap. Dia tak bisa mengatakan apapun, tepatnya tidak tahu apa yang harus dikatakannya saat ini, atau yang harus diperbuatnya. Hanya sentuhan dan remasan pelan yang dilakukan telapak tangannya. Hanya itu.

"Karena kau hanya tertarik dengan sinar Naruto. Ingin tersenyum hanya bersama Naruto"

"Maaf," dan dia tahu hanya kata itu yang terucap. Karena tidak ada yang patut disalahkan dalam drama ini.

Angin berhembus pelan. Memainkan rambut panjang Hinata yang masih terkuncir kuda, meski telah berantakan. Menghadirkan hawa dingin bagi keduanya. Angin yang –

– mengingatkan Hinata pada Naruto. Tubuhnya menegang, dan Kiba menyadarinya.

Melepas pelukannya, dia berjalan ke depan Hinata, berlutut dengan kaki kirinya. Kedua mata itu saling menatap, dan jemari keduanya saling bertautan – entah sejak kapan.

"Maukah kau menyambut perasaanku? Aku tahu sulit bagi perempuan melupakan cinta pertamanya, Nee-chan memberitahuku. Tapi kau tak harus melupakannya, cukup mengenangnya sebagai seorang yang sangat berarti bagimu, dulu" Karena jika kau tidak mau, kau tidak akan pernah bisa menyambut rasa ini.

"T-ta-pi.... Matsuri....."

"Aku tahu dia akan kecewa. Tapi bagaimana dengan perasaanku?" Dia telah mengatakannya. Sekarang atau tidak sama sekali. Apapun yang menjadi keputusan Hinata, dia akan menerima. Meski sakit. "Bolehkah aku egois, Hinata?"

"E-en-tahlah, Kiba. A-ku bing-ung" Kebingungannya bertambah ketika dia merasakan remasan di tangannya dan rasa hangat yang perlahan menjalar di hatinya. Bertambah bingung lagi ketika jantungnya berdegup kencang hanya karena senyuman tipis yang diciptakan pemuda yang tak pernah lepas dari tato merah di kedua pipinya, yang entah kenapa saat ini sangat ingin disentuhnya. Dia merasa, wajahnya memanas.

"Kau hanya perlu mencoba berbagi rasa denganku – sedih, kecewa, bahagia. Aku selalu siap memberikan tempatku untuk menampungnya"

Pemuda itu terkejut ketika Hinata tiba-tiba melepaskan kaitan jemari mereka dan mendadak berdiri. Lebih terkejut lagi ketika tubuh gadis itu oleng karena ketidakseimbangan kakinya. Dan Kiba, yang memiliki refleks gerak yang tinggi – semua orang tahu itu – menangkapnya. Tak ada lagi jarak diantara kedua tubuh yang berbalut malam. Kiba bergerak secepat dia bisa agar Hinata tidak terjatuh. Membuatnya sekali lagi merasakan kehangatan tubuh Hinata dan wangi yang kali ini tercium dengan lebih jelas. Berat tubuh Hinata tertumpu sepenuhnya pada tegap tubuh Kiba.

Lengan kokoh yang melingkari pinggangnya erat entah kenapa membuat Hinata merasa terlindungi. Perlahan lengannya mengalungi leher pemuda yang tengah memeluknya, memantapkan kakinya tuk bisa berdiri atas tubuhnya sendiri, dan mengangkat wajahnya untuk menatap iris yang baru disadarinya berwarna coklat kelam.

Entah siapa yang memulai. Bibir dua remaja itu telah saling bersentuhan. Ciuman mereka makin dalam – basah dan hangat – setelah Kiba meletakkan telapak tangan kirinya di belakang leher Hinata, menekan kepala gadis itu pelan. Tak ada yang ingin melepas, hingga udara mulai menipis – yang membuat mereka menjauhkan wajah meski enggan.

"Aku akan mencoba, Kiba"

Pertemuan dua bibir yang kedua kalinya terjadi. Diikuti ciuman-ciuman yang lain. Dimanapun mereka ingin melakukannya. Dihari-hari selanjutnya yang mereka jalani. Di tempat-tempat lain selain bibir, tentu saja...

Always With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang