-2-
Tubuhnya tersembunyi di balik deretan buku yang tertata rapi. Dua tangannya mendekap buku di dadanya. Telinganya dapat mendengar jelas dua suara dari meja yang tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Maaf, Ino-chan. Aku sudah berjanji menemani Hinata ke toko buku"
Dia mendengarnya. Suara yang selalu terdengar familiar di telinganya, terselip nada permohonan maaf. Sebuah bahasa tersirat, yang sejujurnya tak ingin dia mengerti. Tapi sayangnya dia selalu memahaminya – apapun tentang pemuda itu.
"Oh. Baiklah"
Dia mendengarnya. Suara yang biasanya terdengar ceria, terselip nada kekecewaan. Dan entah kenapa, dia bersorak.
Dia memang gadis yang jahat. Dia tahu itu.
"Kita kencan besok, pulang sekolah. Bagaimana?"
Dia mendengarnya. Suara berat itu mencoba untuk terdengar ceria, disertai bumbu rayuan. Dan dia tidak suka. Membuatnya sesak. Membuat kakinya mendadak tak bisa lagi menahan tubuhnya.
Dia terduduk.
Masih dengan buku di dekapannya.
Masih tersembunyi di balik buku yang berjajar – di lorong rak buku perpustakaan.
Maniknya tertutup. Dia tak lagi melihat cahaya temaram, hanya hitam.
"Baiklah. Sampai jumpa besok kalau begitu"
Dia mendengarnya. Suara ringan itu terdengar sedikit ceria, dibanding beberapa saat lalu, meski tak seceria biasanya. Dia mendengarnya, derap langkah kaki cepat yang menjauh – terdengar seperti berlari.
Dia masih memilih untuk bersembunyi. Sendirian.
Dia tak peduli....
...pada berapa lama waktu yang dilewatkannya.
...pada pemuda itu yang masih menunggunya.
...pada tugas kelompok yang harus segera diselesaikan oleh mereka – dia dan pemuda itu.
...pada suara langkah pelan yang terdengar mendekatinya.
...pada seseorang yang duduk di depannya dan tepukan lembut di puncak kepalanya.
"Kau kenapa? Jangan menangis seperti itu"
Telapak tangan itu masih di kepalanya, mengelus pelan. Tapi dia masih menolak untuk menjawab, memilih untuk bungkam, dan tak ingin manik mereka bertemu – tidak dengan maniknya yang memerah karena tangis.
"Astaga, Hinata. Kau kenapa, sih?" Suara dalam itu meninggi, diiringi tarikan pada kepalanya untuk mendongak – memandang wajah tegas di hadapannya.
Coklat gelap itu menatapnya, dengan kilat kekhawatiran yang tak disembunyikan. Membuatnya makin terisak.
"Ino...."
Manik gelap itu menampilkan keterkejutan. Hinata tahu, pemuda di depannya tahu bahwa dia mendengar pembicaraannya dengan Ino
"Kau... akan meninggalkanku"
Sebuah pernyataan. Bukan pertanyaan. Keduanya paham, dan sadar.
"Jangan pergi"
Sebuah perintah. Bukan permintaan. Keduanya paham, dan sadar.
Terlihat enggan menanggapi, pemuda di depannya mendengus kasar. "Kau tahu aku sedang berusaha mengumpulkan serpihan hatiku – karena perbuatanmu. Aku sedang memperbaikinya – dengan bantuan orang lain," suaranya berubah pelan, "Meski aku tahu, tidak akan utuh seperti semula" Pemuda di depannya masih menatapnya, kedua tangannya masih di kedua sisi wajahnya – memaksanya untuk tak menunduk. "Jadi kumohon, jangan membuatku berharap dengan tingkah dan ucapanmu"
"Maaf. Aku tahu aku egois. Aku hanya...." dia terdiam sejenak, meneguk ludahnya sebelum melanjutkannya dengan ragu,"....terbiasa dengan keberadaanmu di sampingku"
"Tapi kau mencintainya. Dan kau memilih untuk di sampingnya – daripada di sampingku"
"Aku tahu. Aku tahu, Kiba. Aku mencintainya. Sangat"
"Oke. Aku tahu. Jadi, biasakan dirimu tanpa aku. Dan jangan membuatku repot dengan membuatku berada pada keadaan di mana aku harus memilihmu atau Ino – dalam banyak hal"
Dia masih bungkam. Masih menolak untuk berbicara. Bahkan ketika wajah itu mendekat, menautkan kedua kening mereka. Nafas mereka beradu, matanya terpejam, dan dia dapat mencium bau pinus.
"Aku tidak akan meninggalkanmu. Kita sahabat, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Always With Me
FanfictionI don't believe in 'forever' || It's alright if the only one who hurts is me... || KibaHina Oneshot(s)