Aku kira hari itu, hari pertama dan terakhirku bisa berada di atas roda dua kesayanganmu
"Ini masih motormu yang waktu itu?" tanyaku heran.
Nanda mengangguk, dengan bangga ia memberikanku helm tanpa kaca untuk kukenakan mengelilingi kota di negeri orang. Nanda yang sudah siap dengan memegang kedua kendalinya, mengisyaratkanku untuk segera naik ke kursi belakangnya yang tak berubah sejak dulu.
"Sudah berapa gadis yang duduk disini?"
"Kalau kamu stalking akun IG aku, pasti kamu tau udah berapa gadis yang duduk situ~"
"Ih maaf yaa masih banyak kerjaan aku disbanding harus cek IG kamu," jawabku sambil menepuk helm yang tengah ia kenakan.
Nanda tertawa geli, ia membangunkan kembali kenangan itu, kenangan dimana aku berada di atas roda dua milik Nanda untuk pertama kalinya. Di malam itu, malam dimana menjadi momen yang membuatku tak bisa tidur sepanjang hari.
Memori sekitar 9 tahun lalu, ketika aku Nanda, Riska, Cahyo, Nisa dan Anya bermain dan berkumpul bersama di rumah Cahyo. Berkumpul hingga larut malam sambil berbincang tentang banyak hal. Aku yang hanya mendengarkan tiba-tiba tertarik dengan gitar yang sejak awal Cahyo mainkan, dan kemudian meminta gitar tersebut untuk sekedar menghilangkan rasa penasaran.
"Emangnya lo bisa mainnya Ra?"
Aku menggeleng menjawab pertanyaan Cahyo, ia tertawa sambil memintaku membalas tos-an nya karena ternyata Cahyo pun tidak memiliki kemampuan bermain gitar. Tak lama Nanda mendekat, ia menanyakan hal yang sama dengan Cahyo.
"Oia lo kan bisa main gitar tuh Nan? Coba tuh ajarin si Rara," desak Riska, sambil mengedipkan sebelah matanya ke arahku.
Aku tertawa kecil, sahabatku yang satu itu memang handal menjadi mak comblang tak heran banyak teman-teman di sekelilingnya bisa berhasil jadian berkat bantuannya. Aku tak berharap soal itu, karena ceritaku dengan Nanda, berbeda.
Aku yang duduk di sofa sambil memangku gitar hitam milik Cahyo mendadak kikuk, ketika Nanda yang sejak tadi berdiri di hadapanku, merubah posisinya, ia menekuk sebelah lututnya tepat di hadapanku, jemari panjangnya menuntun jemari mungilku untuk menekan senar gitar sambil menyebutkan kunci gitar tersebut.
"Coba digenjreng," tutur Nanda.
Jemariku yang tidak lebih besar dari jemari Nanda mencoba memulai untuk memetik senar gitarnya, bukan karena aku tertarik bermain musik, namun aku lebih tertarik kepada dia yang tengah mengajarkanku bagaimana memainkan alat musik.
"Nah itu namanya kunci G, coba sekarang yang ini,"
Nanda kembali menuntun jemariku dan memintaku untuk menekan beberapa senar disana, ia memintaku untuk lebih erat menekan senar di ujung gitar tersebut, dan memberi instruksi untuk kembali mencoba memetik kembali gitar coklat disana.
"Nahhh kalo nekennya memang harus kenceng Ra, biar suaranya lebih enak, nah kalo itu kunci C," jelas Nanda.
Hari itu, adalah hari dimana aku ingin bicara pada Tuhan, bahwa aku sangat bersyukur akan segala momen indah yang Tuhan berikan untukku bersama Nanda. Sederhana, namun begitu berkesan. Hubungan kami yang dulu begitu rumit, kini bisa kembali terajut dengan baik.
Sampai akhirnya, Nanda menawariku tumpangan untuk pulang, dengan motor antiknya dan helm kumbangnya, ia mengajakku untuk pulang bersama, malam itu, adalah malam dimana aku berharap besar, aku bisa kembali dekat dan setidaknya bicara, bahwa aku sadar, aku menyukainya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jadi, Inikah Kita Yang Sekarang?
RomanceSosok lelaki itu hadir lagi, bedanya, ia hadir pada waktu dimana aku dan hidupku sudah berjalan sangat baik. Aku yakin, begitu juga hidupnya. Namun, disamping kehidupan kami yang terlihat sudah lebih baik, ada satu hal yang belum kami selesaikan sej...