Yang Paling Menyedihkan

328 9 0
                                    

Meski waktu sudah berjalan jauh, lukaku masih tak kunjung sembuh

"Kamu gak pernah datang reuni atau nikahan temen-temen SMP ya Ra?"

Sejak tadi Nanda selalu memberanikan diri membahas sesuatu untuk menjadi bahan pembicaraan. Sedangkan aku masih memilih diam dan hanya berbicara ketika Nanda menanyakan beberapa hal.

Aku menggeleng, bagaimana bisa aku datang ketika ada sosoknya disana? Kalau boleh kuputuskan, Nanda adalah hal yang membahagiakan sekaligus menyedihkan yang pernah aku rasakan. Dia tak pernah melakukan kesalahan, namun ketika melihatnya, ada sesak yang tak kunjung henti.

"Kenapa?" Nanda masih tak menyerah membuatku mau berbicara dan sedikit meresponnya. Haruskah aku mengatakannya? Haruskah aku bilang aku tidak datang karenanya?

"Yey satenya datang!" aku mencoba membuyarkan pertanyaan Nanda. Lelaki dengan kacamata berbingkai hitam pekat itu menunduk sambil tersenyum. Kemudian menarik nafasnya panjang dan ikut menyambut kedatangan sate khas Kuala Lumpur.

Aku memulai pembicaraan, namun bukan soal masa-masa lalu yang klise seperti yang dibahas Nanda. Aku tak berhenti bicara mengomentari sate jalan Alor yang terlihat begitu berbeda. Sate ayam ini tanpa kecap dan bumbu kacang. Bumbunya lebih gurih dan ada wijen disana.

"Agak aneh ya bumbunya,"

"Iya, kalau sate disini gak ada bumbu kecap atau kacang Ra, tapi enak kan?"

"Iya enak, empuk dan gak bau. Harusnya tadi kita bawa kecap sendiri Nan,"

Nanda tertawa, aku yang berbicara serius menatapnya tajam. Memberi arti bahwa aku benar-benar serius akan membawa kecap sendiri jika tau sate di jalan Alor memiliki olahan yang berbeda. Tak lama Nanda berdiri dari duduknya, kemudian melangkah menghampiri pelayan kedai, dan kembali dengan sebotol kecap dalam genggamannya.

Aku tertawa, dan berterima kasih karena Nanda mau bersusah payah meminta kecap kepada pelayan kedai. "Terima kasih Nan," Nanda tersenyum dan kembali meraih setusuk sate disana.

Langit semakin cantik dengan semburat oranye yang kini menghiasi jalan Alor. Aku masih berdiri di depan pengamen yang memutarkan lagu China, sambil memberi beberapa uang koin untuk mereka. Nanda, masih berjalan disampingku dan menjawab segala tanyaku tentang jalan Alor.

"Sudah sore Ra," Aku memandang Nanda sambil memberikan tatapan seakan lalu kenapa kalau sudah sore?  Kemudian Nanda menarik lenganku dan kembali membawaku pergi dengan motor antiknya.

Nanda bilang, dia akan membawaku ke sebuah tempat yang indah ketika dilihat sore menjelang malam. Perjalanan kali ini, Nanda lebih banyak diam, dan aku lebih memilih untuk melihat pemandangan Kuala Lumpur sore hari yang sejuk. Sambil sesekali ingin rasanya pergi jauh dari lelaki yang tengah mengendarai motor antik ini.

Melihat Nanda membisu, mengingatkanku kejadian di malam perpisahan itu. Malam dimana aku memutuskan untuk mengumpulkan seluruh keberanianku untuk berbicara dengan Nanda usai pentas malam puncak.

Sebuah panggung sederhana sudah dibuat apik di depan kolam renang villa tempat siswa berkumpul di malam puncak. Semua siswa datang berbalut baju hangat karena udara yang semakin dingin. Namun tak sedikit yang memutuskan menyeburkan diri ke kolam untuk sekedar bersenang-senang.

Malam itu, Riska mendukungku dengan penuh semangat. Riska yakin bahwa Nanda juga memiliki perasaan yang sama denganku, hanya saja karena waktu berjalan cukup jauh sejak hari dimana Nanda menyatakan hal tersebut, ditambah aku yang seakan tak menghargai keberaniannya di hari itu.

Jantungku berdetak tak normal, berjalan di belakang punggung Riska sambil menutupi telapak tanganku yang kedinginan. Semuanya tampil cantik dengan dress malam ini, namun aku dan Riska memutuskan datang hanya dengan baju panjang hangat dan celana jeans.

Tak lama berjalan keluar, terlihat rombongan Nanda dan teman-temannya berjalan ke arahku dan Riska. Nanda memandangku yang bersembunyi di balik punggung Riska, tanpa kusadari, ada yang berbeda dengan Nanda malam ini, bingkai kacamatanya menjadi biru muda sama persis dengan kacamata yang kukenakan malam itu.

"Hey!" sapa Nanda sambil menoleh ke arahku yang masih belum ingin membalas salamnya. Semakin yakin dengan kacamata yang Nanda kenakan, aku memutuskan untuk melepas kacamataku dan menggenggamnya sebentar.

Namun mata Nanda mengikuti kemana kacamataku pergi, ia terlihat seperti tengah meyakinkan bahwa kacamata itu sama persis dengan yang Nanda kenakan malam itu.

"Jangan bilang itu kacamata yang kemarin dari kunjungan optik ke sekolah kita?" tebak Nanda.

Riska yang menyadari hal itu menjawab Nanda sambil mengangguk. Riska juga menjelaskan, ternyata selama ini, aku juga memiliki minus ringan dalam penglihatan, dan kacamata yang aku pilih adalah kacamata dengan bingkai biru muda.

"Eh..." Riska terhenti sambil menunjuk kacamata Nanda dan melihat ke arahku sejenak.

"Kok kacamata lo biru Nan?" tanya Riska.

"Iya, ini kacamata baru yang dari kunjungan optik ke sekolah kita kemarin, makanya gue nanya kacamatanya Rara,"

Riska tersenyum ke arahku, seakan tengah memberi semangat lebih untuk semakin berani bicara dengan Nanda malam ini. Namun karena rasa gugupku yang semakin menjadi, aku semakin tak berani untuk sekedar memandang Nanda walau sejenak.

Pun sepertinya Nanda menyadairi ada hal aneh yang mengusikku malam itu. Aku melihat semburat kecewa di wajahnya, entah karena sikapku yang aneh, entah karena kacamata pilihanku dan Nanda yang ternyata sama persis.

Acara puncak di mulai, hari itu Nanda akan menyumbang satu lagu di acara puncak. Nanda tidak memiliki suara yang bagus, hanya saja, Nanda suka bernyanyi dan bermain gitar. Aku tak henti memandangnya yang bersiap untuk bernyanyi, dan malam itu ia memilih lagu 'Samsons - Hey Gadis!'.



Jadi, Inikah Kita Yang Sekarang?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang