Padahal waktu sudah beranjak menjauh, namun mengapa semua belum juga usai?
Nanda masih membisu memandang lurus, sedangkan aku masih berkutat dengan sesak yang tak kunjung usai. Ingin rasanya segera berlari dan tak lagi menjumpai lelaki yang kini berada 3 langkah di sampingku, aku sempat bahagia, namun kini, Nanda tak sekedar sebuah luka.
"Maaf, aku fikir, sejak akhir waktu di masa SD semua sudah jelas. Gadis itu cuma menganggap aku sekedar teman bermain. Tapi, kita bertemu lagi di tempat yang sama, dengan seragam putih biru di masa yang berbeda. Gadis itu datang dan tersenyum, waktu berlalu dia kembali semakin dekat, dan semakin melekat lagi dalam fikiran," jelas Nanda sambil tersenyum memberanikan diri memandangku.
"Kamu tau, seberapa besar aku ngumpulin keberanian aku hari itu? Rumit, aku bahkan sempat mengurungkan niat, tapi waktu terus berlalu, aku takut aku gak bisa lagi bertemu gadis itu, karena aku tau aku akan masuk ke sekolah yang bagus, karena nilaiku selalu lebih baik dari dia," sambungnya sambil tertawa kecil.
Seketika sesakku mereda, bukan karena pada akhirnya aku tau Nanda juga sempat kembali memiliki rasa itu, tapi, Nanda juga sempat merasakan seberapa berat mengumpulkan keberanian, namun akhirnya tak menghasilkan sesuatu yang diharapkan. Aku semakin terlihat menyedihkan bukan?
Nanda kembali bercerita, ia begitu menikmati hari-hari dimana hubunganku dan Nanda kembali membaik. Bermain bersama setiap pulang sekolah, kembali mengusik dengan keisengannya, sampai dia bisa mengantarku pulang dengan motor antiknya. Namun, pada kenyataannya, hari itu, sudah ada Yaya yang lebih dulu menguasai ruang hatinya.
"Aku ragu ketika gadis itu datang lagi Ra, disisi lain, hubunganku dengan Yaya sudah sangat baik. Kamu pernah dilema kan? Sulit kan? Kadang tak sedikit aku menyalahkan kehadiran gadis itu lagi di penghujung masa SMP, tapi aku gak bisa Ra, karena aku juga bahagia,"
Nanda melangkah mendekat, memaksaku menerima sapu tangannya. Nanda tersenyum sejenak, kemudian kembali menciptakan jarak, kini, Nanda berada satu langkah di sampingku. Sambil sesekali berdalih memintaku memperhatikan lampu-lampu cantik yang mengarah ke arah jembatan Putrajaya.
"Sejak aku antar gadis itu pulang ke rumah bude nya, saat itu juga aku banyak tanya ke Riska, kenapa gadis itu gak tinggal sama orang tuanya? Dan saat itu pula aku sadar, aku akan kehilangan gadis itu untuk ke sekian kalinya. Saat itu juga egoisku memutuskan, untuk tetap melanjutkan rencana membahagiakan Yaya,"
"Tapi nyatanya, sejauh apapun gadis itu pindah. Jemariku tak bisa berhenti untuk membalas segala update nya di sosial media. Percakapan kita kembali baik, banyak hal yang kita bicarakan meski hanya lewat rangkaian huruf dunia maya. Kamu tau gak Ra, bagian apa yang paling membahagiakan? Ketika gadis itu mengucapkan selamat ulang tahun dan ketika malam lebaran kita membahas masa dimana aku melukai gadis itu dengan bola kasti di waktu SD, dia tertawa Ra, bahkan aku bisa membayangkan tawanya meski hanya lewat huruf haha disana!"
Nanda menarik nafasnya panjang, sepertinya masih ada banyak hal yang ingin ia sampaikan. Aku terhenti menitihkan air mata, ketika Nanda menceritakan bahagia sederhananya di hari itu. Yang aku tau, ternyata saat-saat itu, aku tidak bahagia sendirian.
"Dan bagian yang paling menyedihkan ketika gadis itu mengucapkan anniversary untukku dan Yaya. Aneh bukan? Malah aku yang merasa kesakitan," jelas Nanda dengan intonasinya yang memudar di ujung cerita.
Aku masih dalam diam, semua ceritanya tak berbeda dengan apa yang selama ini aku rasakan. Jadi inikah yang membuat rasa ganjil di relung hatiku dan Nanda? Jadi inikah yang membuatku benar-benar ingin menyelesaikan semuanya? Tapi, kenapa waktu tidak pernah berpihak?
"Nanda..."
Lelaki itu menoleh dengan pandangan nanar, ada semburat rasa sedih disana. Dia memang anak mami, tapi Nanda tidak mudah menitihkan air mata. Terkadang aku ingin mengenalnya ketika ia sedih, atau ketika ia marah. Tapi, selama ini aku terlalu egois, aku hanya mengingat segala hal ketika Nanda tersenyum.
"Aku minta maaf. Aku gak tau kalau semuanya ternyata juga sulit buat kamu, aku terlalu egois karena pergi tanpa jawaban dan datang ketika hatimu sudah sembuh dari luka. Semua yang ada di ceritamu, membuatku sedikit lebih lega, karena ternyata semuanya tidak aku rasa sendirian, ternyata sakit itu bukan aku sendirian. Aku bersyukur bisa ketemu kamu hari ini, aku bersyukur bisa mendapat segala jawaban dan menghilangkan rasa yang mengganjal sejak bertahun-tahun lamanya. Kita sama, tapi waktu tak pernah sama dengan kita Nan, aku jadi lebih membenci waktu sekarang," aku tersenyum memandang Nanda.
Ada rasa lega disana, namun satu lagi pertanyaan, dan semua itu akan segera selesai. Sebuah pertanyaan yang entah harus ditanyakan atau tidak. Yang entah jawabannya akan menghasilkan sesuatu yang baik atau bahkan buruk. Sebuah pertanyaan yang statusnya masih abu-abu.
"Waktu tidak pernah salah Ra, dia hanya menunaikan tugasnya melaju dengan baik. Manusianya lah yang salah, memilih berhenti ketika ragu, memilih berhenti ketika nyaman, tanpa mengingat peran waktu yang akan terus melaju, apapun rasanya,"
Nanda tersenyum lebih baik sekarang. Kami masih saling pandang dengan suratan rasa lega di setiap relung hati kami masing-masing. Tidak lagi canggung atau bahkan mengalihkan topik untuk menghindar.
"Mungkin ini terlambat Nan, rasa itu masih ada, dan mungkin selamanya akan begitu."
Nanda tersenyum, membelai lembut puncak kepalaku. Nanda mengangguk, seakan menjawab aku tau Ra. Ia kembali menarik nafasnya panjang sambil menjawab bahwa rasa itu juga masih ada, entah sampai kapan, mungkin sama, selamanya.
"Namun waktu masih belum bisa bekerja sama dengan kita Ra, waktu memberi kesempatan ini saja sudah lebih dari luar biasa," aku mengangguk setuju. Entah hanya kisah cinta pertamaku yang pilu, atau semua cinta pertama akan selalu begitu.
Aku mengeluarkan selembar kartu dominasi hijau mint berukuran 15 x 20 cm dari ransel kecilku. Semuanya terasa lebih ringan, karena sejak awal pun aku dan Nanda sudah menebak akan berakhir seperti apa. Nanda tersenyum menerimanya, tak lama ia mengeluarkan telepon genggamnya dan mengirimkan sebuah file ke inbox emailku. Sebuah file dengan nama lengkap dan nama seorang gadis disana. Lengkap dengan tanggal dan lokasinya.
"Aku gak akan datang Nan,"
"Aku juga,"
Aku dan Nanda tertawa bersamaan, Nanda yang masih membaca lengkap isi kartu pemberianku. Dan aku yang masih sibuk melakukan zoom membaca file kirimannya. Saling menjelaskan tidak akan ada yang datang, untuk menjaga kelancaran acara sakral tersebut.
"Semoga kamu bahagia Ra,"
"Semoga kamu juga berbahagia Nan,"
Kami mengangguk, waktu sudah berlalu pergi. Kami memutuskan untuk segera pulang melalui jalan yang berlawanan. Hari ini, adalah hari terakhirku menaiki motor antik Nanda, hari ini adalah hari terakhir Nanda mengizinkanku duduk di motor antiknya. Hari ini, adalah hari terbaik yang pernah ada. Pada akhirnya, aku dan Nanda bisa melanjutkan kisah kami masing-masing, tanpa perlu terikat dengan segala tanya dan rasa yang mengganjal di kisah selanjutnya.
Siapa bilang kisahku dan Nanda berakhir menyedihkan? Percayalah, akan ada selalu kebahagiaan di setiap akhir cerita. Percayalah, setiap akhir itu adalah, bahagia. Jika belum bahagia, itu berarti belum berakhir, masih banyak yang perlu diperjuangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jadi, Inikah Kita Yang Sekarang?
RomanceSosok lelaki itu hadir lagi, bedanya, ia hadir pada waktu dimana aku dan hidupku sudah berjalan sangat baik. Aku yakin, begitu juga hidupnya. Namun, disamping kehidupan kami yang terlihat sudah lebih baik, ada satu hal yang belum kami selesaikan sej...