Chapter 1 Keseharian Satou Takeshi

83 5 0
                                    

     "....shiro-san, Nakamura-san, Juunichi-san, dan... Takeshi"

     Suara Yoshino-sensei yang berat menggema di ruang kelas 2-A. Yang terdengar hanyalah suara Yoshino-sensei seorang, tidak ada satu pun siswa yang berani bersuara akibat ketegangan mereka. Pembagian hasil ulangan—adalah peristiwa yang mengerikan bagi mereka. Sedangkan bagiku, itu adalah hal yang membosankan— ah, bukan berarti aku bosan karena yakin pasti mendapat nilai bagus, justru sebaliknya. Aku segera berdiri setelah mendengar namaku dipanggil terakhir.

    Aku benci ini—seluruh kelas memandangiku dengan pandangan sinis selagi aku berjalan ke depan.

    " Satou Takeshi! nilaimu semakin memburuk. Apa kau bahkan niat sekolah?! kalau kau tetap tidak berubah, kau akan tinggal kelas, dan akan kulaporkan semua ini ke ayahmu. Ayahmu sudah berkali-kali memberimu maaf dan berusaha mati-matian memberimu jalan untuk naik kelas. Apa kau tidak malu sebagai anak seorang kepala sekolah?!!"

    "yaa..", jawabku malas.

   Belum-belum aku langsung mendapat omelan panjang lebar. Aku bahkan tidak perlu sibuk-sibuk melihat nilai hasil ulanganku. Kalau kata Yoshino-sensei nilaiku turun, berarti nilaiku lebih buruk dari ulangan minggu lalu kan?—berarti nilaiku lebih rendah dari 9. Ah, jangan salah sangka—maksudku 9 itu beda dengan 90, maksudku adalah 9, hanya 9. Mendapatkan angka 2 digit adalah hal yang hampir mustahil bagiku. Bisa dibilang, hasil ulangan minggu lalu adalah rekorku. Dan hal semacam ini hanyalah keseharianku.

    "Takeshi, setelah pulang sekolah, temui aku di ruang guru!" ujar Yoshino-sensei, "selain Takeshi, kalian boleh pulang."

    Lalu Yoshino sensei langsung pergi ke luar kelas. Seperti biasa, keadaan kelas menjadi berisik.

    "Heee... Takeshi, nilaimu itu apa nggak terlalu parah yaa??" tiba-tiba ejekan si anak kacamata terdengar di telingaku,"kalau kau mau, kau boleh memohon untuk kuajari lho.."

    "..."

    Aku sudah tidak ingin memperhatikan ejekannya. Amano, si anak berkacamata itu memang anak paling pintar di kelas ini, tapi sikap sombongnya itu sangat menyebalkan. Mendapat ejekannya sudah menjadi keseharianku. Mendapat cap sebagai 'anak terbodoh yang pernah hidup sepanjang berdirinya SMA Takeyama'—itu mungkin ada benarnya. Seluruh siswa yang sudah puas mengolok-olokku segera pulang. Lalu aku segera menemui Yoshino-sensei di ruang guru dan mendapat omelan tambahan. Biasanya setelah pulang, aku akan diomeli ibuku lagi, selanjutnya ayahku—dan seterusnya.

***

    Di jalan pulang aku selalu berpapasan dengan Tugu Guru dan Murid. Entah kenapa, setiap kali aku melewati tempat ini, ada perasaan yang membuatku sedih— mungkin rindu. Aku bahkan tidak tahu kenapa. tugu itu menyerupai seorang guru yang sedang menggendong muridnya, seolah berharap muridnya dapat melanjutkan kehidupan. Tugu itu didirikan setelah peristiwa pengeboman di Hiroshima saat Perang Dunia kedua. Rasanya kalau melihat Hiroshima yang sekarang, aku bahkan tidak percaya kota ini pernah di bom besar-besaran.

    Aku melihat sesosok perempuan di bawah tugu itu. Tempat itu sepi, hanya ada beberapa orang yang berjalan lalu-lalang. Tiba-tiba perempuan itu mengalihkan pandangannya ke arahku. Ternyata dia perempuan yang cantik. Matanya bulat berwarna coklat, bibirnya mungil, kulitnya sangat putih sampai terkesan agak pucat. Rambutnya terurai sampai punggungnya, membuatnya semakin anggun. Kalau dilihat, mungkin dia seumuran dengan Yoshino-sensei, bisa jadi lebih muda. Saat aku masih sibuk mengaguminya, tiba-tiba mata kita bertemu. Perasaan ngeri seketika menjalar ke seluruh tubuhku. Dalam otakku sekilas muncul ingatan yang dipenuhi api dan tangisan—

    (apa yang salah denganku?!)

    Perempuan itu hanya terdiam memperhatikanku. Ia memberi senyuman padaku sekilas. Wajahnya tampak ramah. Tapi, yang muncul di kepalaku barusan itu apa?—mungkin sebaiknya aku segera pulang. Aku menganggukkan kepalaku sedikit pada perempuan itu untuk memberi salam, lalu ia membalasnya dengan sebuah anggukan ringan diikuti senyuman ramah. Aku merasa pernah melihat senyuman itu—

Kenapa tiba-tiba muncul hal aneh di kepalaku?— oh, ya— mungkin itu karena game yang kumainkan kemarin malam. Theme-nya memang tentang peperangan. Mungkin aku terlalu banyak memainkan game itu.

***

    Menjelang sore hari, aku baru tiba di rumah. Dan seperti perkiraanku, ibuku langsung mengomeliku berjam-jam. Semua omelan itu baru selesai di malam hari, ditambah omelan ayahku yang baru pulang. Setelah semua omelan selesai, aku segera kembali ke kamar.

    (Akhrinya...)

    Awalnya aku ingin melanjutkan game ku, tapi mungkin itu ide buruk—mengingat hal aneh yang terjadi di otakku tadi. Jadi aku memutuskan untuk segera naik ke tempat tidur. Rasa kantuk pun mulai menyerang. Dan hari itu berakhir seperti hari-hari biasanya.

***

    Keesokan harinya, semuanya pun berjalan seperti hari-hariku sebelumnya. Dari bangun tidur, aku langsung diomeli karena telat bangun. Di sekolah pun belum berakhir ejekan akibat nilai ulanganku kemarin. Dan sekolahku hari ini berakhir dengan hukuman membersihkan toilet karena tidak mengerjakan PR matematika. Di jalan pulang, aku sendiri mulai merasa kesal. Hukuman membersihkan toilet adalah hal yang paling buruk bagiku, walaupun kejadian itu sudah terulang beberapa kali.

    Di dekat tugu, aku kembali melihat perempuan cantik yang kemarin juga kulihat. Hari ini, malah tidak ada seorang pun di sekitar sini. Wajahnya yang putih pucat terlapis bayangan tugu. Wajahnya.. senyumannya.. Entah kenapa aku merasa pernah bertemu dengannya selain kemarin, Saat aku berencana menanyakannya, perempuan itu tiba-tiba berjalan menjauh. Secara refleks tanganku meraih lengannya—

    (HEEEEEEEEHHH!!)

    Mataku terbelalak,

    (Tu-tunggu—kenapa—kenapa tanganku bisa tembus????!!!)

    Ini tidak masuk akal! Walaupun aku ini 'anak terbodoh yang pernah hidup di sepanjang berdirinya SMA Takeyama' pun pasti akan tahu kalau ini tidak masuk akal. Perempuan itu menoleh ke arahku. Kali ini wajahnya yang cantik pun menimbulkan aura seram. Keadaan sekitar yang sepi pun menambah efek menyeramkan. Mungkin ini mimpi. Aku menampar pipiku berkali-kali untuk memastikannya. Sekarang pipiku sudah bengkak, lalu aku sekali lagi menyentuh tangannya.

    (HE?)

    Kenapa tanganku masih tembus?—

    "HAAAAAA???!!!!!"

    Suara teriakanku memecah kaheningan tempat itu. Perempuan itu terlihat bingung melihatku, padahal seharusnya aku yang bingung di sini...

    "Takeshi, kau kenapa?"

    Lho?—kok dia bisa tahu namaku?—kengerian semakin menjadi-jadi dalam kepalaku, suaraku pun agak susah keluar karena barusan berteriak kencang,

    "Ka-kau-kau ini—siapa—bukan..KAU INI MAKHLUK APA??!!", Suaraku kembali melonjak.

    Sejak kecil memang aku dididik agar tidak memakai suara kencang saat bicara dengan orang yang lebih tua, tapi— kurasa yang berdiri dihadapanku sekarang bukan manusia...

     "Ah, maaf, aku lupa memperkenalkan diri. *eh-em*, Aku Yamamori Miyako, 20 tahun--eh 90 an sih, mulai hari ini aku adalah hantu yang akan menggentayangimu, salam kenal..."

***

Ghost-senseiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang