Chapter 4

150 22 29
                                    

“Kopi ini namanya Peaberry Coffee. Yang paling enak dan unik yaitu Tanzania Peaberry. Mungkin sedikit mahal untuk mendatangkannya ke sini, namun rasanya tidak akan membuat penikmatnya menyesal jika kau bisa menyeduhnya dengan baik.”

Lelaki tiga puluh tahunan itu kemudian mengeluarkan Syphon, sebuah alat seduh kopi yang terdiri dari dua chamber, funnel, filter, dan gas burner. Ia kemudian menunjukkan pada gadis kecil yang sangat antusias menonton sambil mempelajari apa yang ia lihat dihadapannya bagaimana menggunakan alat-alat kaca itu.

“Pertama, kita basahi filter ini dengan air panas dulu, lalu letakkan dalam tabung ini, namanya chamber. Kaitkan, ya, biar tidak terlepas.”

Soeun—gadis kecil itu—menangguk-angguk. Tangannya masih memegang tepian meja yang hampir menutupi pandangannya karena badannya yang masih pendek. Ia lalu memperhatikan ayahnya memulai proses penyeduhan, mulai dari menuangkan air hangat, menyalakan gas burner, sampai air itu mendidih dan naik ke chamber bagian atas.

“Jika sudah mendidih seperti ini, masukkan bubuk kopi tadi di atas sini, lalu biarkan 13 detik ya. Sebisanya, tiga belas detik saja. Jangan terlalu lama, jangan terlalu cepat. Setelah itu baru aduk. Mengaduknya hanya bagian atasnya saja, jangan sampai ke bawah. Biarkan lagi selama tiga puluh detik. Setelah itu, baru matikan pemanasnya. INgat ya, ketepatan waktunya sangat mempengaruhi rasanya.”

Tak lama kemudian, kopi yang semula ada di chamber bagian atas turun ke bagian bawah, dan sang ayah langsung menuangkannya ke dua cangkir gelas yang ada di atas meja. Ayahnya memberikan cangkir kecil bergambar jerapah milik Soeun dan memegang cangkirnya yang jauh lebih besar. Ia kemudian mengajarkannya bagaimana menikmati kopi.

“Hirup dulu aromanya. Peaberry Coffee ini beraroma buah, lho.”

“Benarkah?” Soeun kemudian mengikuti ayahnya menghirup aroma kopi di cangkirnya. Benar. Kopi ini beraroma buah yang khas sekali. Setelah menyeruputnya sedikit, Soeun pun merasakan seperti ada campuran kismis dan coklat yang masuk ke mulutnya bersamaan dengan rasa pahit kopi.
Luar biasa. Unik sekali rasanya.

Soeun kegirangan. Ia kemudian meniup cangkirnya agar panas cepat beranjak dari kopinya dan ia bisa menelannya lebih cepat dan banyak. Namun, ayahnya langsung menghentikannya dan mengatakan bahwa meniup minuman panas adalah tidak sehat. Soeun akhirnya hanya menyeruput kopi hangat itu sedikit demi sedikit hingga habis.

Soeun senang, apalagi menemukan kopi yang rasanya begitu indah ini. Ingin rasanya ia meminta ayahnya membuatkan sekali lagi untuk diberikan pada Nana yang sayangyna masih terbaring di rumah karena demam. Bukan hanya Nana, rasanya ia ingin seluruh dunia tahu betapa nikmatnya kopi ini. Ya, dia ingin memberitahu semua orang dan membiarkan mereka merasakannya.

Soeun terbangun. Langit-langit menghadang tatapannya. Ia menggeliat sedikit dan menyadari jam di samping tempat tidurnya sudah menunjukkan pukul 06.30.
Ia baru saja bermimpi bersama ayahnya.

Padahal kejadian di mimpinya itu bukanlah sekedar bunga tidur, melainkan kenyataan yang benar-benar terjadi di masa lalunya. Itu adalah sepenggal memori saat ia masih berusia delapan tahun, dimana saat itu hari-harinya dihabiskan di dapur untuk menyeduh kopi. Setiap hari ia mencicipi berbagai macam kopi yang dibuat oleh ayahnya sang pembuat kopi, dan setiap hari pula ia belajar cara membuat kopinya sendiri.

Dan kopi yang satu itu beserta cara membuatnya, adalah kopi yang sama yang ia jadikan menu spesial di Homme saat ini.

Soeun tidak tahu mengapa mimpinya malah mengingat kenangan itu, bukan hal yang lain. Apakah dewa mimpi sedang kehabisan jalan cerita untuk diberikan padanya di tidurnya kali ini atau bukan, Soeun heran.

HOMMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang