Lonceng pintu kaca Homme berdering pelan. Soeun, dengan coat marun panjang yang melekat di tubuhnya serta sebuah tas kamera besar, menyumbul dari balik pintu. Remang menyambut langkahnya yang belum sempurna. Hanya lampu diatas counter pesanan yang menyala teduh, sementara semua lampu lain mati. Hening dan gelap. Soeun kemudian menyempurnakan langkahnya memasuki ruangan itu dan menutup pintu kembali. Ia melempar pandangannya pada jam dinding yang berada tepat di atas pintu.
Pukul tujuh malam.
Masih terlalu sore untuk menutup Homme. Padahal, tadi pagi Homme begitu ramai. Ia bahkan sampai tidak sadar ada berapa banyak orang yang ia lewati demi mengejar Sungjae-yang pada akhirnya gagal ia dapatkan.
Kemana Nana? Ken? Kenapa Homme tutup cepat sekali?
Soeun kemudian berjalan menuju lantai dua. Namun tampaknya di bangunan itu memang hanya ada ia seorang malam ini. Lampu tangga menuju lantai dua mati, begitu juga semua penerangan lain di lantai dua. Begitu tenang bahkan suara setetes air pun tidak terdengar.
Soeun mengetuk pintu kamar Nana yang berada di sebelah kamarnya, namun tak ada jawaban. Kemudian ia memasuki kamarnya, meletakkan tas dan menggantung coat-nya, lalu merogoh ponsel di salah satu sakunya. Ia mencari nomor Nana di kontak utamanya, lalu langsung menghubunginya. Namun tidak ada nada sambung maupun tanda-tanda akan diangkat. Ponselnya pasti mati.
Nana-ya....
Soeun kemudian beralih menelepon Ken, manusia paling tampan se-Homme. Namun, tak ada hasilnya. Mereka sama sekali tidak bisa dihubungi, dan tidak mengabari apapun sebelum pergi. Soeun berlari ke lantai satu, menuju counter pesanan, mempunyai firasat akan sesuatu.
Benar saja. Sebuah memo kecil tertempel di atas tombol-tombol mesin kasir. Dan tulisan yang ada di sana adalah tulisan khas milik Nana: kecil, tapi sangat rapi. Soeun mengerutkan dahi ketika membaca memo berwarna oranye itu petama kali, namun ia membacanya bekali-kali sampai ia tahu apa maksud dari kalimat yang tertulis disana.
"Mari kita istirahat sejenak dan lakukan apa yang kita inginkan. Tapi, ingatlah Soeun-ah, Homme masih tempatmu untuk pulang."
Soeun terdiam-sebenarnya sejak tadi ia memang diam. Ia menatap nanar memo kecil itu. Apakah ini salam selamat tinggal dari Nana untuknya?
Tapi, kenapa?
"Ini jauh lebih penting saat ini."
Kalimat itu terngiang di telinga Soeun. Perkatannya tadi pagi itu, pasti sudah membuat Nana kecewa sekaligus marah. Soeun terbayang percakapan singkatnya tadi pagi dengan Nana di ambang tangga, yang bahkan tidak ia tanggapi serius. Namun, mengingatnya kembali membuat Soeun sadar bahwa ia sudah salah. Padahal Nana sudah memohon padanya dengan seluruh perasaannya, dan dengan mudahnya Soeun mengabaikannya. Hati Nana pasti tersakiti olehnya.
Dan kini, entah dimana gadis itu berada. Selama ini ia bahkan tidak pernah marah pada Soeun. Namun kini dengan teganya ia meninggalkan Soeun sendirian tanpa mengucapkan apapun. Ia pasti benar-benar sudah kecewa sehingga memilih untuk pergi saja.
Mata Soeun panas. Seketika dadanya sesak dan nafasnya tidak teratur. Hatinya terasa penuh dan ia jatuh ke jurang kebingungan yang luar biasa. Sendiri, tertinggal. Apa ini bentuk hukuman atas perlakuannya?
Ya Tuhan... apa yang sudah aku lakukan?
Soeun terduduk di lantai dengan tangan yag masih memegang surat kecil itu. Sekarang, apa? Ia benar-benar tidak tahu. Ia mengecewakan sahabat terbaiknya hanya demi melakukan pekerjaan yang tidak jelas yang juga berakhir gagal. Ia mengecewakan Homme, dan pelanggan-pelanggan yang seharusnya dilayani bak raja, begitu ajaran ayahnya sejak dulu. Ia bahkan ditinggalkan sendirian. Ia merasa seperti pengkhianat sekarang.

KAMU SEDANG MEMBACA
HOMME
Fiksi PenggemarKau tahu bagaimana aku menemukan Lee Changsub? Ia berjalan sendirian di kegelapan, menuju arah yang tidak pasti, dan merusak skandal besar yang hampir berhasil kuungkap. Aku berpikir untuk balas dendam padanya dengan membuka hal rahasia yang aku yak...