Pulau Sebatik Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Utara, November 2014
Bagiku, ujian tidak melulu tentang kesedihan, air mata dan kekurangan. Kadangkala, kita diuji dengan ketangguhan-ketangguhan. Kelebihan-kelebihan. Rasa longgar, maupun kelayakan. Bahkan, ada juga ujian tentang keputusan. Memutuskan.
Ada beberapa orang, yang seumur hidupnya disibukkan dengan menuntaskan kesedihan. Riwayat kenangan mereka, dilibatkan langsung dengan mengatur seberapa banyak air mata tertumpah, dengan seberapa banyak pengorbanan terwujud.
Sebagian orang juga melewatkan hidupnya dengan mengalahkan tantangan-tantangan. Kekuatan terbesar mereka adalah keberanian. Bahan bakar untuk mereka terus melaju adalah semangat. Takkan berhenti, jika belum sampai tujuan.
Duhai, namun hari ini... Aku diuji oleh keduanya, sekaligus. Bersamaan.
Baiklah, mari kita bicarakan sisi positifnya dulu. Aku adalah Rania Shafrinanda, salah seorang camat, wanita, termuda di negeri ini.
Aku cukup yakin, lebih dari sembilan puluh persen, jabatan camat terisi oleh para birokrat senior. Kisaran usia empat puluhan. Atau lima puluh. Dan bersama -setidaknya- seorang atau dua orang di pulau sebelah, kami baru saja memecahkan rekor. Sebagai pemegang tampuk amanah, Eselon 3, termuda di Indonesia. Sekali lagi, wanita pula. Di usia 29 tahun.
Kami dilantik setahun yang lalu. Iya, ini memang sisi baik berikutnya. Kami adalah sepasang camat. Aku di Sebatik Barat. Sedangkan Kak Hasy, suamiku, di Sebatik Tengah. Aku tak berani menduga-duga, bagaimana bisa kami seberuntung ini. Seperti jackpot, dan whuss! Yah, berharap saja, nanti tak seheboh kelihatannya...
Beberapa bulan menjadi camat wanita pertama dan termuda, di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Utara. Kalian takkan pernah tahu, betapa setiap hari aku selalu berkeringat dingin.
Ini adalah fenomena luar biasa. Menjadi camat termuda, wanita dan pertama, di salah satu kabupaten dan di provinsi yang juga sama mudanya. Jika membuka mesin pencari, maka akan kita temukan Kaltara adalah provinsi termuda Indonesia.
Pulau Sebatik, pulau yang menjadi rumah sekaligus pengabdianku. Pulau ini terbagi menjadi dua, singkatnya bisa kita sebut Sebatik Indonesia dan Sebatik Malaysia. Bahkan ada fenomena lumayan unik. Sebab berlekatan dengan garis perbatasan, ada seorang warga yang membuang hajat harus ke luar negeri dahulu. Rumahnya bertumbukan persis dengan perbatasan Indonesia-Malaysia. Bagian depan rumahnya adalah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, sedangkan toilet sekaligus pekarangan belakang adalah wilayah Malaysia.
Meski sepulau, karena berbeda teritorial, maka Sebatik Indonesia-Malaysia sungguh kontras. Bagian yang milik Indonesia, terisi berwarna-warni lahan. Rumput laut, kelapa sawit, pertambakan udang, ebi, ikan segar dan sedikit sawah. Perkampungannya minim fasilitas. Terutama listrik. Ini yang sering dikeluhkan warga.
Sebatik Malaysia. Mengagumkan. Memang sebagian besar terisi lahan kelapa sawit dan perkampungan. Namun mereka terlimpahi fasilitas. Listrik berkualitas. Bahkan Kota Tawau di seberang pulau, yang sering dijadikan tumpuan warga bertransaksi rumput laut, kelapa sawit ataupun berjualan udang, sungguh memukau. Telah berdiri pusat perekonomian, kesehatan maupun listrik yang merata.
Entahlah, aku selalu berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk mengulur kesabaran warga, jika mereka mengkomunikasikan masalah fasilitas padaku. Tentu saja, mereka takkan mau memahami, bahwa tak semuanya berada dalam kewenanganku. Kebutuhan dasar warga adalah untuk didengarkan, kurasa.
Jadi, aku hanya bisa mengangguk-angguk saja dan menampung semua keluh kesah warga pada fasilitasi listrik di daerah kami. Yang belum merata dan sungguh kontras dengan saudara di balik garis perbatasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nagara Bhakti
Tarihi KurguRania Shafrinanda dan Yasmin Athifa takkan menyangka. Bahwa tak pernah mudah menjalani hidup di Lembah Manglayang. Berbagai tempaan mereka lewati. Menghasilkan kepribadian sekokoh intan. Takkan pernah mudah melalui masa-masa sebagai Wanita Praja STP...