14

2.3K 206 14
                                    

Kepanikan menyerbu para pelayan yang bertugas membersihkan istana setiap paginya. Seorang pelayan wanita ditemukan mati dengan leher membiru seperti bekas cekikan. Disebelahnya ada nampan berisi poci dan beberapa cawan teh.

"Kejadian aneh ini terjadi dengan beruntun." Zuan memperhatikan para prajurit mengangkat tubuh pelayan itu dari selasar. "Pantas saja tadi malam tidak ada teh yang sampai pada kita. Apakah dia orangnya?" Zuan menoleh pada Heye.

Heye yang tengah berpikir melirik. Bibirnya terkatup rapat. Logikanya mempertanyakan hal ini. Untuk apa membunuh seorang pelayan?

"Panggil Muyun Ruyi!"

Teriakan Yixia membuat Zuan dan Heye mendongak bersamaan. Keduanya bangkit berdiri, berlari menghampiri sang ratu.

"Apa yang terjadi, shengshang?"

Yixia tak menjawab. Matanya berkilat marah. Pengawal yang tadi diperintah untuk memanggil Ruyi sudah kembali dengan Ruyi yang melangkah tenang didepannya.

"MUYUN RUYI! APA MAKSUDMU MEMBUNUH PELAYAN ISTANAKU?"

Ruyi mengernyitkan kening. "Aku?"

"Seseorang telah melaporkan padaku bahwa tengah malam tadi kau terlihat mengendap-endap didepan balairung. Pelayan yang mati itu memergoki keberadaanmu."

Ruyi menghela napas panjang. "Baik. Kuakui aku ada disana. Mereka..." Dia menunjuk Heye dan Zuan. "Membicarakan kemajuan pencarian Mingrui. Pelayanmu memang menanyakan kenapa aku ada disana. Aku mengatakan hanya berjalan-jalan sebentar lalu kembali ke He Jia'ao. Serius. Aku bersumpah demi para Dewa, aku tidak membunuhnya."

"Tapi informanku mengatakan sebaliknya, Muyun Ruyi." Yixia menahan murkanya. "Kau membekap pelayanku dan membawanya sedikit menjauh lalu mencekiknya."

"MUYUN YIXIA!"

"AKU RATUMU!!"

"Yang Mulia, aku tidak membunuhnya. Aku bersumpah!"

Yixia menggeleng tegas. "Bawa dia ke penjara!" Perintahnya.

Ruyi diseret paksa meski ia berontak dan meneriakkan kata-kata sanggahan. Heye menatap tajam kearah kepergian Ruyi dan beralih pada Yixia.

"Yang Mulia...." Ia mencoba bicara.

"JANGAN MEMBANTAHKU!"

Yixia berbalik pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Heye dengan pandangan menyelidik memperhatikan Zuan dari kepala sampai kaki.

"Kenapa?" Zuan terlihat risih.

"Tidak. Hanya... Apa kau membersihkan sarang laba-laba pagi ini?" Tanya Heye.

"Tidak." Zuan menggosok punggung tangan kirinya. "Untuk apa membersihkan sarang laba-laba? Kotor dan membekas dipakaian juga rambutmu. Lebih gampang jika meminta pelayan membersihkannya."

Heye tak berkomentar. Ia tidak melepaskan tatapannya dari rambut Zuan yang kotor karena sisa-sisa sarang laba-laba.

***

Heye menuntun kuda yang dipinjamnya dari penjaga istal. Dengan langkah pelan ia menjajari Yixia yang berdiri melamun dihalaman samping. Sang ratu pasti merisaukan adiknya yang menghilang.

"Yang Mulia, mau pergi berkuda?"

Heye menelengkan kepalanya pada kuda hitam bersurai putih yang ia pegang. Menunggu reaksi Yixia. Untuk beberapa saat hanya hembusan angin yang menimbulkan gemerisik dedaunan.

"Baiklah. Kurasa aku butuh hiburan."

Heye tersenyum. Ia menaiki kuda itu dan mengulurkan tangan pada Yixia yang terlihat ragu.

"Kita akan lewat gerbang belakang," kata Heye seolah paham pikiran Yixia yang khawatir jika orang lain akan melihat mereka menaiki kuda berdua. "Saya menemukan tempat bagus tidak jauh dari istana. Anda akan menyukainya."

Yixia menyambut uluran tangan Heye yang terasa hangat dan mengalirkan getaran asing pada dirinya. Saat telah duduk dengan benar diatas pelana, Yixia bisa merasakan punggungnya menempel pada dada Heye. Seketika jantungnya berdebar kencang membuat Yixia kesulitan bernapas. Perasaan asing memenuhi dadanya. Aneh sekaligus membuat nyaman.

"Rileks saja, Yang Mulia."

Bisikan Heye disisi wajahnya membuat anak rambut Yixia yang keluar dari gelungan terasa menggelitik. Terutama suara pria itu serak dan dalam. Gelenyar aneh terasa semakin mengganggu dan mengaduk perutnya. Terlebih saat kuda sudah mulai berjalan mengakibatkan tubuh mereka berdua menempel berkali-kali untuk beberapa saat lamanya. Yixia ingin turun saja. Tapi dorongan untuk merasakan kebersamaan dengan Heye membuatnya berusaha menikmati pemandangan disepanjang jalan.

Yixia memejamkan mata. Menikmati semilir angin dan bau rerumputan yang terbawa. Untuk sesaat ia ingin melupakan semua kegelisahannya. Tanpa sadar ia bersandar didada Heye, membayangkan hari tua yang bahagia tanpa perlu memikirkan apa yang harus dan tidak harus ia lakukan. Saat itu juga, Yixia sadar selama ini dirinya kesepian. Beginilah hidup sebagai orang istana. Tidak ada satu orang pun yang dapat benar-benar ia percaya. Seringkali dia bahkan mempertanyakan kepercayaannya terhadap Sima.

"Kita sudah sampai, shengshang."

Suara Heye yang terdengar merdu membuat Yixia dengan bodohnya membayangkan banyak hal. Ia seolah melihat dirinya dan Heye juga anak-anak mereka yang lucu. Seandainya dia bukan seorang ratu. Seandainya saja dia hanya seorang gadis desa biasa. Mungkinkah... Mungkinkah jika... Ia membuka mata, memperhatikan Heye turun lebih dulu dan kemudian membantunya. Pria itu menuntun langkah Yixia menuju sebuah pohon paling besar diatas bukit itu dan merentangkan tangannya.

"Segar. Hiruplah udara ini sebanyak-banyaknya, Yang Mulia. Pikiran anda tentunya akan menjadi lebih jernih." Heye menolehkan kepalanya sedikit. "Disebelah sana ada hamparan bunga matahari. Warnanya cantik. Saya akan membawa anda kesana."

Yixia tidak mempedulikan ucapan Heye. Yixia bahkan tak melanjutkan langkahnya. Ia terpaku ditempatnya berdiri. Melihat siluet tubuh Heye yang dihasilkan oleh matahari hampir terbenam didepan mereka. Ia teringat pria misterius didalam mimpinya.

"Gushan, nona."

"Yang Mulia...."

"Oh? Apa?" Yixia seolah kehilangan orientasi sesaat.

"Saya bertanya, apakah anda suka tempat ini?"

Senyum Heye begitu manis membuat wajahnya semakin bersahaja. Yixia terpesona. Ia menatap mata Heye dalam-dalam.

"Iya. Aku suka."

20 Juli 2017

Queen Yixia' Man《Park Shinhye》Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang