4. Paris

1.3K 159 16
                                    

Paris benar-benar kota yang menakjubkan. Dengan kekayaan yang dimiliki keluarga Tanubrata, aku bisa saja setiap bulan datang ke tempat ini, menghabiskan jatah liburan bulanan yang diberikan oleh Papi dan Mami untuk 'menyenangkanku'. Tapi, bisa sampai di Paris dengan kemampuan sendiri sungguh suatu pencapaian yang luar biasa dan aku sungguh bangga pada diriku.

Hari pertama aku menginjakkan kaki di negeri menara Eiffel ini, aku bertemu dengan seorang calon designer muda sepertiku dari Inggris. Namanya Jane Brown. Ternyata dia pergi ke Paris dengan tujuan yang sama denganku. Dan setelah kami sampai di asrama khusus, kami bertemu dengan lebih banyak calon designer dari berbagai Negara.

Sumpah, gue keren banget!

Saat aku berada di Paris, Tante Nada bisa menelponku seminggu atau bahkan 3 hari sekali hanya untuk memastikan kalau aku cukup makan dan istirahat. Abi yang saat itu sedang sibuk dengan skripsinya bisa menghabiskan waktu semalaman untuk melakukan video call hanya untuk memastikan aku tidak menginjakkan kaki ke tempat-tempat terlarang. Si Boss Kecil, Bima, bahkan bisa memenuhi chat WA-ku hanya untuk memastikan aku membawakan oleh-oleh untuknya.

Di saat orang-orang yang bahkan tidak memiliki hubungan darah denganku bisa meluangkan waktu untuk menghubungiku, tak ada satu pun keluargaku yang melakukannya. Menanyakan kabarku pun tidak. Aku ragu apakah mereka mengetahui kepergianku.

Semua masalah akan beres saat dilepaskan, maka aku melepaskannya. Aku menopang kepalaku dengan tangan kiri di atas meja bar, terhuyung sedikit dan tersenyum pada bartender yang ada di depanku. Tidak ada yang lucu, tapi di mataku semua seperti sebuah scene komedi. "Give me one more, please." ucapku sambil mengacungkan 3 jari tanganku.

Bartender yang wajahnya tampak memburam itu mengambil gelasku. "I'm sorry, Miss, but you can't. You're already drunk."

Aku menggeleng sambil mengangkat jari telunjuk tangan kananku, kemudian tergelak di hadapannya. "No no no, I'm not. Give me one more. Please?"

Bartender itu hanya menggeleng perlahan dan kemudian mengisi gelasku dengan minuman. Aku bertepuk tangan senang saat gelasku kembali terisi penuh, seperti balita tiga tahun yang senang mangkuknya terisi penuh ice cream. Ya, sepertinya bartender itu benar, aku sudah mabuk dan tidak seharusnya minum lagi.

Setelah menenggak habis minuman di hadapanku, kepalaku mulai terasa berat. Aku sampai tidak bisa mengangkatnya dan harus menopangnya dengan lengan kiriku di atas meja bar. Berkali-kali aku menggelengkan kepala, tapi pendanganku tetap kabur dan tak ada yang bisa kulihat dengan jelas saat ini.

"Kyle? Kyle, you ok?" tanya suara berat itu padaku.

Aku mengangkat satu alisku, berharap mengetahui siapa pria yang kini duduk berhadapan denganku. Wajahnya kabur dan kepalaku makin pusing saat aku berusaha mengenali wajahnya. Aku mengucek mataku berkali-kali dan entah kenapa wajah si kunyuk yang sedang sibuk menyelesaikan skripsinya itu yang muncul di hadapanku. Mungkinkah?

"Abi?" Aku tersenyum lebar saat melihat bayangan wajah sahabatku ada di hadapanku. "Lo ada di Paris!" pekikku yang langsung terduduk dan sedikit terhuyung, tapi berhasil terkendali saat pria itu menahan lenganku.

Berdiri dari kursiku, aku melompat senang sambil memegang kedua tangannya. "Lo ada di sini, di Paris! Lo selalu tau saat-saat gue butuh lo, Bi. Lo emang sahabat terbaik gue!" racauku sambil tertawa-tawa senang.

Pria itu menghentikan gerakanku dengan memegang kedua lenganku dan mendekatkan tubuhku ke tubuhnya. Seketika aku terdiam. Entah karena pengaruh alkohol atau bukan, saat aku merasakan sentuhan tangannya di kulitku, itu membuatku seperti melayang. Dan sebelum pria itu bertindak lebih jauh, aku mendorongnya, membuatku terhuyung dan nyaris jatuh jika aku tidak berpegangan pada meja bar.

"Go away," ucapku sambil menatap tajam pria itu.

Pria itu tidak berkata apa-apa. Dia kembali mendekat padaku dan berusaha menyentuhku lagi, tapi aku menampiknya.

"I said, GO AWAY FROM ME!" teriakku anarkis, membuat beberapa orang menoleh memperhatikanku.

"Sorry, but I have to take you out from here," ucapnya tepat di telingaku sebelum dia membawa tubuhku di pundaknya untuk keluar dari bar.

Aku berteriak, meronta, bahkan memukul-mukul punggung pria itu, tapi tak dihiraukan olehnya. Dia mengucap beberapa kata dalam bahasa Prancis pada beberapa pengunjung di bar sebelum dia membawaku keluar. Siapa pria ini? Apa maunya?

♥♥♥

Aku terbangun dan langsung terlonjak kaget keesokan paginya. Kuperhatikan sekelilingku dan kamar ini bukanlah kamar asrama yang kutempati selama empat bulan ini. Di mana aku sekarang?

Menyibak selimut tebal yang menutupi tubuhku, aku memperhatikan diriku sendiri. Mataku membulat sempurna saat aku tahu pakaian yang kugunakan pagi ini bukan pakaian yang kugunakan semalam. Sedangkan pakaianku semalam sudah terlipat rapi di sisi ranjang satunya. Ada seseorang yang menggantikannya untukku.

Aku menarik rambutku frustrasi saat sekelabat ingatan tiba-tiba muncul di dalam kepalaku. Jantungku berdebar tak terkendali saat satu sosok itu muncul dalam beberapa potongan ingatanku. Pria itu, pria yang membawaku keluar dari bar dalam keadaan mabuk. Jangan bilang kalau dia yang membawaku ke sini. Dan di mana ini? Hotel? Lalu, apakah dia juga yang menggantikan pakaianku? Jika benar, berarti pria itu...

Brengsek!

Secepatnya aku masuk ke dalam kamar mandi untuk mengganti pakaianku lagi. Berbagai kutukan sumpah serapah kutujukan pada pria yang entah siapa itu. Dasar pria brengsek, sialan!

Mengambil tas dan sepatuku, aku keluar dari kamar hotel sambil merutuki diri sendiri. Hal yang ditakutkan Abi akhirnya terjadi di saat Abi tidak ada di sisiku. Apa yang terjadi ini bukan keinginanku dan berbagai rasa bersalah menyelimuti dalam diri ini. Aku merasa telah dibodohi dan aku merasa ... aku bukan lagi seorang wanita. Apa akhirnya aku menangis? Ya, sepertinya aku menangis dalam perjalananku kembali ke asrama, menangisi kebodohanku yang bahkan tidak mengingat kejadian semalam.

"Where have you been?" tanya seorang wanita berambut sebahu saat aku baru saja masuk ke kamar asramaku. Dia adalah pelajar dari Surabaya yang juga teman sekamarku, Zilla. "Semalaman kamu nggak pulang. Aku nyari kamu ke mana-mana, tau."

Aku menggaruk ujung kepalaku yang tidak gatal, membuat rambutku makin berantakan. Aku belum mempersiapkan jawaban untuk pertanyaan ini. Haruskah aku jujur dan bilang padanya ada pria tak dikenal yang membawaku ke hotel? Tidak, tidak. Bisa-bisa Zilla menganggapku sebagai wanita murahan.

"Aku ... hmm ... semalam ketemu teman lama. Ya. Dan dia ngajak aku tinggal di apartemennya." Lagi-lagi aku berbohong. Sudah berapa banyak kebohongan yang kulakukan pada orang-orang di sekitarku?

"Oh ... Harusnya kamu kasih tau aku. Aku sampe bingung harus nyari kamu ke mana." Zilla menanggapi, kemudian melanjutkan kegiatannya merapikan tempat tidur. "Oh ya, nanti jam 9 kita harus ke tempat pameran. Lebih baik kamu siap-siap sekarang."

"Oke. Thanks, Zi. Dan ... maaf."

Aku berjalan masuk ke kamar mandi setelah mengambil pakaian ganti dalam lemariku. Tapi, bukannya langsung mandi, aku kembali teringat pada pria itu. Apa yang harus kulakukan? Apa aku harus mencarinya dan meminta penjelasan padanya? Tapi, dari mana aku harus memulai? Aku bahkan tidak ingat seperti apa wajah brengseknya itu.

♥♥♥





A/N:

Yeayyy! Aku update lagi, uhuy! 💃💃

Dengan adanya part ini, aku akan memberikan kabar baik dan buruk. Tapi, kedua kabar itu bakalan dipending sampai kira-kira part 8. Suka banget sih PHP-in orang? Ya gitu deh, daripada aku yang di-PHP mulu yeee 😋

Selamat menikmati renovasi story~

Terrible Liar ✔️ (PUBLISHED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang