6. Melewati Batas

1.5K 169 83
                                    

Aku masih ingat dengan jelas saat pertama dan terakhir kalinya Papi menamparku. Terasa ngilu baik di pipi maupun di hati. Aku juga masih ingat saat beberapa hari setelahnya Papi mengirimkan barang-barangku yang ada di rumah ke apartemenku. Dan saat aku meminta penjelasan darinya tentang semua itu, semakin dalam kepedihan yang kurasakan.

"Pergi dari rumah ini. Mulai hari ini saya tidak punya anak bernama Kiara Kyle Tanubrata," ucapnya tenang saat itu sambil pergi meninggalkanku yang masih berdiri di ruang keluarga rumah kami. Papi bahkan enggan untuk memandang wajahku.

Kak Ilana dan Mami yang saat itu tengah melihat peristiwa itu sampai menangis dan memohon pada Papi untuk memikirkan keputusannya kembali. Tentu Papi setuju dengan permintaan kedua wanitanya itu. Dan tentunya dengan syarat. Aku tidak boleh berhubungan lagi dengan Mala. Papi memberiku 2 pilihan, membiarkan Mala diasuh orang lain atau menitipkan Mala ke panti asuhan.

Aku tertawa saat syarat tidak masuk akal itu terlontar dari mulut Papi. Kedua syarat itu punya inti yang sama, yaitu aku harus membuang Mala. Aku tidak percaya kalau Papi akan setega itu pada bayi yang sama sekali tak berdosa.

Aku tidak memikirkan banyak hal saat aku melemparkan kunci mobil, kartu debit dan kredit, serta berbagai fasilitas yang diberikan Papi padaku tepat di kakinya. Yang ada di kepalaku hanyalah bagaimana aku bisa tetap membesarkan Mala. Sedikit pun aku tidak pernah berpikir akan memberikan anak itu pada orang lain. Dia anakku dan akan selalu begitu, meskipun itu berarti aku akan kehilangan segalanya.

Kubiarkan pikiranku melayang saat aku sedang berkutat dengan alat-alat dapurku, membuat satu sisi pancake buatanku menggelap. Sudah 4 buah pancake yang kubuat seperti ini. Rasanya aku ingin menyerah saja dan memulai sarapan dengan sereal serta susu.

Aku sudah akan memanggang adonan pancake-ku lagi saat bel apartemenku dipencet dengan tidak sabaran. Aku penasaran, orang tidak waras mana yang membunyikan bel pagi-pagi buta begini, apalagi dengan kuantitas yang tidak wajar. Apa dia tidak punya jam di rumahnya?

Aku berlari menuju pintu apartemenku karena kuantitas bel yang dibunyikannya makin lama makin bertambah. Dengan kasar aku membuka pintu apartemenku dan seketika itu aku melihat sosok Abi yang sedang nyengir tanpa dosa padaku. Dengan cepat dia menurunkan tangannya yang masih menggantung tepat di mana bel apartemenku berada.

Ingin rasanya aku membanting pintu di depan wajahnya yang menyebalkan itu, tapi apa daya, gerakannya masuk ke dalam apartemenku lebih cepat daripada gerak tanganku untuk menutup pintu.

"Main nyelonong aja ke rumah orang!" cibirku yang tidak ditanggapi olehnya. Abi malah dengan santainya menyusuri apartemenku hingga berhenti di depan pantry dan duduk di salah satu kursi di ruang makan.

"Lo sadar nggak sekarang jam berapa?" salakku galak.

Abi melirik jam tangannya. "Setengah 6."

"Dan lo sadar nggak kalau gue punya anak umur 3 tahun?" tanyaku lagi. "Mala masih tidur, Bi. Dia bisa nangis kalau kebangun dan nggak ada gue di sampingnya!"

Bukannya menjawab, Abi malah mengalihkan pandangannya ke pantry, terlihat tertarik dengan apa yang sedang kumasak untuk sarapan.

Kesal dengan sikapnya, aku mengambil serbet dan menyabetkannya ke punggung Abi. "Apa lagi sekarang?"

"Lo ikut gue ya nanti?" pintanya sambil mengusap punggungnya yang kusabet dengan serbet.

"Nggak ah, gue sibuk." Aku berusaha tidak memedulikannya dan kembali menuju pantry untuk menyelesaikan masakanku.

"Please?"

"Mau ke mana sih?"

"Mau main aja. Sekarang kan weekend."

Terrible Liar ✔️ (PUBLISHED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang