5. Awal dari Semua Masalah

1.3K 166 21
                                    

Tempat pertama yang menjadi tujuanku setelah kembali adalah apartemenku. Aku tidak ingin kembali ke rumah untuk sementara waktu —atau mungkin selamanya. Alasannya hanya satu, yaitu bayi perempuan berusia 3 bulan yang kini terlelap dalam gendonganku. Aku hanya belum siap memberikan penjelasan pada mereka yang akan menanyakan perihal anak ini.

Aku memiliki sebuah apartemen di lantai 15. Sebuah pemberian dari kakekku beberapa tahun lalu dan kini benar-benar menjadi milikku setelah kakek meninggal. Aku sering sekali ke tempat ini saat aku sedang ingin sendiri. Sebenarnya aku bisa melakukannya di rumah, toh rumahku tak kalah sepi dengan apartemen ini. Tapi, sepinya rumah makin membuatku frustrasi, berbeda dengan tempat ini yang selalu membuat pikiranku lebih bersih.

Aku berjalan di koridor menuju apartemen nomor 2314 saat pintu apartemen nomor 2315 terbuka, apartemen milik Mbak Dera, satu-satunya tetangga apartemen yang kukenal. Seorang pria berpakaian serba hitam dengan tampang menyeramkan keluar dari sana. Itu pasti mantan suami Mbak Dera yang brengsek itu. Sepertinya hidupnya makin tidak teratur setelah mereka bercerai. Tapi, untuk apa lagi dia ke sini?

Tak ingin mencampuri urusan orang lain, aku memencet tombol pin untuk membuka pintu apartemenku. Setelah membereskan barang-barangku dan menidurkan bayi mungilku di ranjang, aku kembali mengaktifkan ponsel lamaku yang sudah berbulan-bulan kusimpan dan tak pernah kugunakan. Dan yang terjadi setelahnya, ponselku tidak berhenti memunculkan pemberitahuan yang muncul di ponselku. Lampu LED-nya pun tak berhenti berkedip, mulai dari merah, hijau, kuning, dan biru.

Enggan membukanya satu per satu, aku membiarkan ponselku berkedip sesukanya. Lebih baik aku melakukan sesuatu bersama dengan Mala atau merencanakan sesuatu setelah kepulanganku. Sepertinya, penting untukku melanjutkan studiku yang sempat kutinggalkan selama setahun. Dan lebih penting lagi untuk mencari pekerjaan karena aku tidak mungkin membiarkan Mala kelaparan.

Aku duduk bersandar di kepala ranjang dengan laptop di pangkuanku. Sambil sesekali mengajak ngobrol Mala, aku mulai mencari-cari pekerjaan yang sekiranya cocok dengan bidangku.

"Mala sayang, Bunda akan bikin Mala bahagia entah gimana pun caranya," ucapku lembut seraya membelai kepalanya yang ditumbuhi rambut tipis kecoklatan. Dia membalas ucapanku dengan senyum. Dan seakan memberiku kekuatan, aku ikut tersenyum bersamanya.

♥♥♥

Baru saja aku berhasil mengenyakkan diri ke alam mimpi, tidurku terusik oleh suara bel apartemen yang dipencet dengan tidak sabaran. Aku tidak yakin siapa yang tiba-tiba datang ke apartemenku, tapi siapapun dia, dia sudah pasti orang yang tidak ingin dibuat menunggu. Meski dengan enggan, aku bangkit dari ranjangku dan menghampiri pintu untuk menyambut tamuku yang kurang ajar itu.

Saat aku membuka pintu, betapa terkejutnya aku saat yang kulihat pertama kali adalah sosok pria perusia hampir kepala 6 dengan setelan jas lengkap dan 2 bodyguard kekar dengan pakaian serba hitam di belakangnya. Wajah mengintimidasi itu memang jarang sekali kutemui, tapi aku sangat tidak asing dengannya. Apa yang Papi lakukan di sini, di apartemenku? Dan apa-apaan 2 bodyguard yang mengekorinya di belakang itu?

Aku menatap pria paruh baya di hadapanku. Katakanlah Papiku seorang pengusaha sukses, tapi bentuk tubuhnya jauh dari sosok om-om bertubuh tambun yang mulai susah berdiri karena kelebihan lemak di perut. Papi sangat menjaga tubuhnya —yah, meskipun aku tidak yakin perutnya akan se-sixpack pria-pria maskulin di Drama Korea.

Tanpa dipersilakan, Papi masuk ke dalam apartemenku dan menutup pintu di belakangnya, meninggalkan 2 bodyguard setianya menunggu di luar. Dengan santai dia melenggangkan tubuhnya melewatiku menuju ke ruang tamu.

"Jadi, akhirnya kamu kembali," ucap Papi mengawali pembicaraan kami. Aku tak yakin ini akan menjadi pembicaraan yang santai layaknya pembicaraan ayah dan anak karena baru diawali saja sudah setegang ini. "Sudah puas menghilang dari kehidupan kami?"

"Untuk apa Papi ke sini?"

"Jadi, ke mana kamu pergi selama ini?" tanya Papi datar sambil bersandar setengah duduk di punggung sofa, mengabaikan pertanyaanku sebelumnya.

"Kyle sudah menitipkan pesan ke Om Prama kalau Kyle ke Paris. Kyle dapat beasiswa untuk sekolah fashion design di sana selama—"

"Selama 6 bulan. Ya, Papi tau itu," potongnya sebelum aku selesai. "Lalu, kemana berbulan-bulan setelahnya? Kamu tidak pernah pulang ke rumah, tidak ada di Orchid, juga di rumah kakak-kakamu. Kamu juga sama sekali tidak memberi kabar pada kami."

Aku membuang muka ke arah jendela yang mengarah ke balkon. "Itu bukan urusan Papi," cicitku.

Papi tergelak mendengarku. "Bukan urusan Papi, katamu?" ulangnya. "Kamu pikir dengan siapa kamu bicara sekarang? Setelah beberapa bulan menghilang dan seperti ini kamu bicara dengan Papimu?"

"Sejak kapan Papi peduli sama aku?" Aku balik bertanya. Tanganku terlipat di dada seolah menantangnya. "Bukannya Papi selalu sibuk sama pekerjaan Papi dan nggak ada waktu untuk ngurus aku? Kenapa sekarang —setelah 23 tahun— Papi jadi peduli sama aku?"

"Jangan buat Papi tertawa, Kyle! Papi selalu peduli sama kamu."

"Selalu?" ulangku seraya tertawa hambar. "Coba sekarang Kyle tanya sama Papi. Papi punya waktu berbulan- bulan untuk cari Kyle. Papi punya ratusan orang yang bisa Papi bayar untuk cari tau ke mana Kyle pergi. Tapi, Papi ke mana? Ke mana kalian semua saat Kyle pergi? DAN KE MANA KALIAN SAAT KYLE BUTUH KALIAN?!"

"CUKUP, KYLE!!" Dia bangkit dari duduknya. Bentakannya tak kalah keras dengan suaraku. "Apa kamu pikir Papi dan Mami bersenang-senang saat kami tidak ada di rumah? Apa kamu pikir kami meninggalkan kamu demi diri kami sendiri? Tidak begitu, Kyle. Kami mengorbankan segalanya demi kebahagiaan anak-anak kami, demi kebahagiaan kamu!"

"Kebahagiaan Kyle? Iya, benar. Berkat kalian Kyle jadi benar-benar bahagia. Kyle bahagia dengan dunia Kyle sendiri di mana nggak ada Papi dan Mami di sana!" Aku menekan setiap kata yang kuucapkan padanya.

Dadaku naik-turun menahan amarah. Kuakui aku sudah tidak bisa berpura-pura baik-baik saja sama seperti yang kulakukan sebelumnya. Setiap aku melihat Papi, setiap penjelasan yang diucapkannya seakan menjadi pemicu ledakan amarahku. Semua unek-unek yang mengganjal dalam hatiku selama 23 tahun kutumpahkan di hadapannya.

Tangan Papi sudah terangkat hendak menampar pipiku saat suara tangis Mala pecah dan terdengar hingga ke ruang tamu. Kulihat Papi menurunkan tangannya dan dahinya berkerut menatapku. Papi berjalan cepat menuju kamarku. Dia bahkan menghempas tanganku saat aku berusaha mencegahnya untuk pergi ke sana.

"Anak siapa itu?" tanya Papi tajam sesaat setelah membuka pintu kamarku. Bayi perempuan yang sedang menangis itu membuat Papi menatapku penuh tuntutan.

Aku tidak menjawabnya dan karenanya Papi menyeretku masuk ke dalam kamar, menghempaskan tubuhku hingga aku jatuh tersungkur ke atas karpet yang menjadi alas ranjangku. "Jelaskan ke Papi, anak siapa ini, Kyle?!"

Aku bangkit berdiri, menatap balik mata Papi yang memancarkan kemarahan yang luar biasa. "Dia anak Kyle, Pi. Anak ini anak Kyle!"

Dan satu tamparan mendarat di pipiku, membuatnya ngilu bahkan setelah beberapa hari. Bukan hanya marah, Papi murka padaku!

♥♥♥

A/N:

Howlaaaaa! 😊👋

Saya update lagi setelah pulang dari Business Trip nih, wkwkwk 😂🤣 (Gaya banget bahasanya pake Business Trip segala buset!)

Berhubung bulan Februari cuma ada 28 hari, republish cuma sampe Part 28 aja gimana nih? Lumayan, di Part 28 udah separuh lebihnya keseluruhan cerita ini lhooo 😁

Terrible Liar ✔️ (PUBLISHED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang