Wattpad Original
Ada 6 bab gratis lagi

Prolog

655K 21.2K 725
                                    

"SAYA SUKA Dokter Alfa."

Tiga kata itu berhasil membuat Alfarezi mengerjap-ngerjap seperti orang bodoh. Dia memaksakan diri tersenyum, lalu menggeser pandangan ke pintu ruang jaganya yang baru saja tertutup seiring kalimat si perempuan mencapai titik.

"Saya serius, Dokter Alfa," sambung perempuan itu dengan ekspresi penuh tekad. "Saya suka dan mau jadi pasangan Dokter."

Alfa menyandarkan punggung ke sandaran kursi, bertanya-tanya siapa perempuan di depannya ini. Bukan pasien, apalagi salah satu perempuan yang dia kenal sambil lalu. Kalau diperhatikan dari pakaian, blouse lengan panjang berlambang rumah sakit dan celana panjang warna biru muda, si perempuan pasti bekerja di rumah sakit ini, tetapi bagian apa? Tidak ada name tag yang biasanya wajib tergantung di saku dada sebelah kiri, membuat Alfa semakin mengerutkan kening.

"Sorry, tapi kamu siapa?" tanya Alfa. "I mean, saya merasa belum kenal kamu."

Si perempuan mendadak menjulurkan satu tangan. Dengan dagu yang sedikit maju, perempuan itu memberi kode kepada Alfa untuk segera menyambut. Demi kesopanan, Alfa menuruti kemauan si perempuan.

"Lamia Maharani. Panggil aja Mia."

Masih mempertahankan nada dan ekspresi percaya diri seperti awal masuk ke ruangan Alfa, Mia mengulas senyum tipis. Sepersekian detik, Alfa merasa Mia tidak berniat menyudahi salaman mereka, hingga tanpa sadar dia sudah mengetuk-ngetukkan jari telunjuk tangan kirinya ke paha.

Seakan sadar pada kegelisahan Alfa, Mia mengurai genggaman mereka, melebarkan senyuman, lalu mengangguk pelan.

Tanpa memedulikan satu alis Alfa yang terangkat dan kebingungan akan situasi saat ini yang membesar, Mia kembali bicara, "Saya bukan pasien rumah sakit jiwa yang lepas dan mencuri seragam pegawai di sini. Saya bekerja di lantai satu, bagian administrasi. Setiap kali Dokter mengunjungi Ibu Anna untuk membantu pembayaran pasien-pasien yang kekurangan, kita bertemu."

Alfa terdiam, berusaha mengingat orang-orang di ruangan administrasi itu kecuali Ibu Anna, kemudian menyerah dengan cepat.

"Jadi, kamu suka saya karena itu?"

"Apa menjadi roommate Dokter harus memberikan alasan spesifik selain suka?"

"Wait, what?"

"Roommate. Seperti Suster Nancy, Suster—"

Alfa menaruh telunjuk ke bibirnya sendiri dan menggeleng pelan, meminta Mia untuk berhenti menyebutkan nama-nama perempuan yang pernah dia ajak bermain di ranjang. Kalaupun istilah itu memang sering dia pakai untuk menawarkan hubungan kasual, tetapi biasanya Alfa yang memilih, bukan si perempuan.

Entah Mia tidak merasa bahwa situasi makin aneh atau pura-pura tidak merasakannya, perempuan itu hanya mengangkat kedua bahu tidak acuh saat Alfa melipat kedua tangan di depan dada dengan wajah datar. Seolah tanya-jawab singkat mereka barusan tidak menambah kecanggungan sama sekali.

"Gini, Mia, saya ...."

Belum habis rasa heran dalam diri Alfa untuk pengakuan dan ajakan tidak biasa beberapa menit lalu, tiba-tiba Mia memutari meja kerja Alfa. Bahkan, memaksa posisi mereka saling berhadapan dengan bersusah payah mengubah posisi kursi kerja Alfa. Dia tidak ringan, dan Mia ... merengkuh wajahnya seakan mereka sering melakukan hal-hal macam ini. Tidak mengizinkan Alfa bereaksi, Mia menyapukan bibir ke bibirnya.

Berlangsung singkat, tetapi berhasil membuat hormon-hormon gila dalam diri Alfa menggeliat. Di kepalanya ada yang berteriak—memerintahkan untuk menahan Mia sebelum perempuan itu mengembalikan jarak dengan berdiri tegak di depannya. Namun, tidak dia lakukan. Alfa mematung, belum sanggup mencerna apa yang terjadi.

Dia lelaki normal ... dan sentuhan bibir yang terasa manis serta lembut itu, walau dari perempuan asing dan aneh, tetap saja ... sialan!

"Bagaimana, Dokter Alfa?"

Pertanyaan Mia berhasil menghentikan pikiran-pikiran berengsek Alfa, menendang jauh-jauh ide untuk mendudukan Mia di meja kerjanya atau memangku perempuan itu untuk melanjutkan kegiatan lebih dari sekadar kecupan kecil.

"Apa saya—"

Enggan menunggu kalimat Mia mencapai titik, Alfa menggeleng cepat dan tegas.

Seraya menelusuri bibirnya dengan ibu jari, Alfa menatap Mia dalam-dalam. Setengah dirinya ingin mencoba, setengah lagi meminta untuk berhati-hati. Perempuan normal mana yang belum pernah melakukan obrolan secara langsung, tiba-tiba datang mengaku suka dan menawarkan hubungan hanya sekadar ranjang. Aneh. Menyeramkan.

Bagaimana kalau ini jebakan untuk mengeluarkan Alfa dari rumah sakit? Sudah jadi rahasia umum, ada beberapa orang tidak suka dengannya.

"Sorry, Mia. Saya rasa—"

"Ini access card pintu apartemen saya. Saya tinggal di Apartemen Mediterania 2 tower H, untuk nomor unit sudah saya catat di sana," potong Mia, menaruh kartu dan kunci ke atas meja kerja Alfa.

"Tapi—"

"Karena urusan saya di sini sudah selesai, saya pamit." Untuk kesekian kalinya Mia tidak memberi kesempatan Alfa mengutarakan pendapat, kemudian menjauh dan berjalan menuju pintu ruangan Alfa.

Sebelum pintu berhasil berayun terbuka, Alfa buru-buru meninggalkan kursi dan menyambar lengan perempuan itu. Spontan, sepasang mata gelap tajam milik Mia bergantian menatap genggaman tangan dan wajah Alfa. Sepersekian detik, rona kemerahan menghiasi pipi Mia, yang segera hilang saat Alfa menaruh kunci ke telapak tangan Mia.

"Saya nggak bisa, Mia. Kamu bukan tipe saya."

Last RoommateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang