Wattpad Original
Ada 1 bab gratis lagi

Lima

406K 8.5K 394
                                    

MIA SEDANG sibuk-sibuknya mengurus beberapa tumpukan bukti pengeluaran dan pemasukan kas harian saat Nisa, salah satu petugas yang mengurus tagihan piutang farmasi, memutar posisi duduk untuk menghadapnya.

Namun, Mia bergeming, tidak berusaha basa-basi menanyakan alasan Nisa mendadak berbalik dengan kening mengerut. Dia tahu, cepat atau lambat, orang-orang di ruangan ini akan mendatanginya. Kalau tidak berkelompok, ya perorangan. Kalau bukan dari bagian keuangan lebih dulu, bagian lain: suster, apotek, atau mungkin koas dan residen. Kasak-kusuk tentang dia dan Alfa pulang bersama sudah menyebar. Sejak pagi tadi, ke mana pun dia pergi, selalu ada mata yang mencoba meneliti dirinya, bahkan di kamar mandi.

Menyebalkan.

"Mia ...."

"Mbak Nis, iya, aku kemarin pulang sama Dokter Alfa. Kami ngobrol beberapa hal, terus melewati malam masing-masing," kata Mia, seraya menutup kasar map hitam tebal di depannya. "Kalau Mbak Nis sama yang lain," dia sengaja mengambil jeda dan mengedarkan pandangan ke beberapa rekan lain yang terlihat mendengarkan dari meja masing-masing, "mikir aku aneh-aneh sama Dokter Alfa ...." Mia berhenti lagi dan menggeleng. "Khayalan kalian kejauhan."

Nisa meringis, begitu pun yang lain. Kemudian, Nisa menjawab, "Bukan begitu, Mia. Orang di luar departemen ini mungkin berpikir yang bagaimana-bagaimana, tapi aku dan anak-anak, kami khawatir sama kamu."

Seperti ingin mendukung Nisa, Ibu Utami—rekan kerja Mia yang biasa mengurus gaji-gaji dokter di rumah sakit ini—ikut memundurkan kursi agar sejajar dengan kursi Nisa.

"Kamu paling muda di sini, jarang bergaul. Aduh, Mia ... Mia," ujar Ibu Utami. "Kamu ibaratnya kayak kertas belum dicoret apa-apa. Polos banget. Kita khawatir kamu dimanfaatin sama Dokter Alfa. Ya, walau dia itu daddy long legs buat pasien-pasien kurang beruntung, tapi, Mi, dengar-dengar dua hari lalu dia sempat berantem sama suaminya Dokter Inez. Kamu pasti udah dengar gosip tentang hubungan terlarang Dokter Alfa dan Dokter Inez. Jujur, nih, kita takut kamu dijadiin tumbal buat nutupin skandal mereka."

Ketika Mia berusaha mencerna kalimat Bu Utami, mendadak ucapan Alfa kemarin menggema di pikirannya. Rumah yang saya mau sudah diisi orang lain. Apa pengakuan itu mengarah ke Dokter Inez? Sedari awal mendengar isu-isu itu, Mia berusaha mengabaikannya. Lagi pula, berita yang beredar juga mengatakan bahwa keluarga Alfa dan Dokter Inez memang dekat sejak mereka kecil. Jadi, kedekatan mereka terasa wajar-wajar saja di mata Mia.

Namun, detik ini .... Ucapan Ibu Utami, pengakuan Alfa kemarin ....

Dengan cemas yang berusaha diusir, Mia memandang bergantian Nisa dan Bu Utami, lalu tersenyum. "Terima kasih buat rasa khawatir kalian, tapi beneran, aku sama Dokter Alfa—"

Mia belum berhasil menyelesaikan penjelasan, tetapi pintu ruangan ini tiba-tiba terbuka dengan cara yang kasar seolah sedang ada hal gawat yang terjadi. Dan, si topik utama obrolan muncul. Dengan tubuh sekitar 180 sentimeter, rambut hitam kecokelatan yang tertata rapi, berjalan seperti model di peragaan busana bertemakan rumah sakit, laki-laki itu terlihat santai sekaligus gagah melangkah menuju ke arahnya.

Mia mengerjap dan menggeleng kecil. Dengan terburu-buru, dia kembali memandang dua rekannya yang sama saja seperti Mia, terlihat panik dan bersikap seperti orang bodoh. Kedua orang itu kompak kembali ke tempat masing-masing, sementara Mia berusaha menempelkan kedua mata ke layar komputer.

Jangan berpikir aneh-aneh. Dia ke sini mengurus pembayaran seperti biasa, menemui Bu Anna, pinta Mia pada hatinya yang menderu.

Di tengah usaha Mia meyakinkan diri, Alfa berdiri di samping mejanya. Aroma khas teh yang maskulin milik Alfa menyapa dan meminta perhatian, tetapi Mia tidak mau menoleh.

"Mia." Namun, panggilan dalam dan sedikit mengitimadasi itu memaksa Mia menurut. Dia mendongak. Alfa sedikit membungkuk untuk menjajarkan wajah mereka, lalu lanjut bicara, "Aku hubungi kamu dari tadi. Line. Telepon. Kamu sibuk banget?"

Aku? Aku?! Mia pasti terbahak kalau dia bukanlah pusat perhatian di ruangan ini. "Oh, handphone-nya di tas. Terus, tasnya di laci. Kalau lagi kerja, memang jarang main handphone. Kenapa?" Diam-diam Mia melirik beberapa rekan kerja yang bisa dijangkau, yang terlihat duduk kaku di kursi masing-masing dengan kuping seolah-olah membesar.

"Karena takut kamu lupa, aku minta izin duluan ke Bu Anna by phone sebelum ke sini," kata Alfa, membuat Mia semakin bingung. Sebenarnya mau dibawa ke mana arah obrolan ini, dan untuk apa? "Tuh, kan, kamu lupa ...." Satu tangan Alfa berpindah cepat dari sisi meja ke puncak kepala Mia, mengacak-acak dengan gerakan seperti mengelus anak kucing, ditambah senyum lebar yang mematikan itu. "Kita ada janji sama Dokter Inez. Kamu perlu suntik TT 1 buat syarat di catatan sipil."

Mia nyaris menjerit, tetapi berhasil ditahan oleh genggaman Alfa di pergelangan tangannya.

"Ayo," ajak Alfa.

Sekuat tenaga Mia menghalau perut yang mendadak tegang serta lutut yang lemas, dia mengikuti arahan Alfa untuk berdiri, lalu berpamitan ke Bu Anna dengan anggukan kecil. Ketika pandangannya dan Nisa berserobok, Mia tersenyum kaku dan meringis. Kemudian, dia keluar dengan langkah terburu-buru.

Sesaat setelah pintu ruangan tertutup, Mia sudah membuka bibir, tetapi Alfa kembali membungkamnya. "Jangan di sini," pinta Alfa pelan nyaris berbisik, masih tersenyum lebar tetapi sekarang sudah terlihat ada yang dipaksakan. Kedua mata Alfa berkabut dan Mia menemukan emosi besar bercokol di sana. Namun, apa pun itu, Alfa tidak punya hak menyeretnya ke situasi yang lebih aneh dari sekadar pulang bersama kemarin di tempat mereka kerja, secara terbuka pula.

Walau rasa ingin menuntut diberi penjelasan menggeliat tidak terkendali, Mia tetap berjalan di samping Alfa dan bergandengan. Melewati beberapa orang yang terbelalak, mengalah dengan keinginan untuk berteriak, gue juga nggak paham sama yang terjadi!

Genggaman Alfa terurai dan jarak tercipta lagi saat mereka memasuki lift khusus yang kosong.

"Saya sudah bisa tahu apa yang terjadi atau harus menunggu lagi?" tanya Mia, tidak bisa menyamarkan kesinisan di suaranya. "Suntik TT? Menikah? Kapan kita membicarakan itu, Dokter Alfa? Ah, apa efek penyakit saya mulai terlihat? Apa saya mulai mengalami kepikunan?"

Mia sama sekali tidak habis pikir dengan pilihan-pilihan yang diambil Alfa, terlalu asal-asalan.

"Dokter Alfa?"

Setelah memilih memanjangkan kebisuan yang terasa semakin menjengkelkan bagi Mia, Alfa memiringkan posisi berdiri dan berhadapan dengannya. Ketika mata mereka bertemu, detik itu juga Mia merasakan ada satu tangan besar mendorong kuat-kuat dada bagian tengahnya, tidak melakukan apa-apa, hanya diam dan menekan hingga rasanya sesak bukan main.

"It's true? Rumor yang beredar kalau Dokter Alfa dan Dokter Inez ... wah, jadi rumah yang Dokter maksud itu Dokter Inez?" Alfa masih diam, tetapi pegangan di besi lift yang terlihat mengerat—membuat Mia langsung mengetahui jawaban Alfa. "Jadi alasan Dokter berpindah-pindah dari satu cewek ke cewek lain untuk itu? Menutupi kalau—astaga!"

"Mia, kita saling bantu saja. Anggap ini bayaran yang saya mau." Diucapkan dengan nada dingin dan ekspresi datar.

Seketika, tangan besar yang tadinya cuma diam dan menekan dada kini memukul berulang kali di tempat yang sama, sampai sakit adalah satu-satunya hal yang bisa Mia rasakan.

"Apa harus sesadis ini, Dok? Memanfaatkan orang sekarat hanya untuk menutupi hubungan yang jelas-jelas salah?" Seluruh tubuh Mia mengeras. Dia memaksakan diri untuk menghela napas dalam-dalam, tetapi sesak makin menyiksa dirinya. Entah kenapa kekecewaan tiba-tiba meminta izin untuk menetap di hatinya, menambah kesakitan yang menyiksa. Kenapa dia harus sekecewa ini? "Dok, ini lebih jahat daripada menolak dengan alasan 'kamu bukan tipe saya' ...."

Alfa melangkah maju dan memeluk Mia erat-erat. Rasanya jauh berbeda dari pelukan Alfa yang pertama, tidak ada rasa nyaman atau perlindungan apa pun yang coba ditawarkan laki-laki ini kemarin. Hanya ada rasa frustrasi tak bertepi, hingga Mia merasakan air mata menggerogoti kedua kelopak matanya karena tidak diizinkan bergulir ke pipi.


Last RoommateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang