ALFA TERTEGUN sekaligus geli memperhatikan cara makan Mia yang berbeda dari perempuan-perempuan yang berkencan dengannya. Tidak ada adegan memindahkan nasi setengah piring, dengan alasan klasik "ini terlalu banyak, aku sudah kenyang". Makanan di piring Mia terus berkurang, tanpa keluhan takut gemuk ataupun masalah lain yang kadang sangat mengganggu di telinga Alfa.
"Lapar atau enak banget? Sampai kamu nggak tega menyisakan walau sedikit?" Alfa melempar pertanyaan iseng untuk mengusir suasana canggung yang terbentuk usai mengutarakan keinginan mencium Mia.
Mia mengintip dari antara bulu mata, hanya sebentar, lalu kembali fokus pada nasi dan ayam geprek pedas di piring.
"Keduanya" jawab Mia, terdengar seperti pertanyaan pada diri sendiri.
Alfa mengakhiri aktivitas makan hingga menandaskan teh tawar pesanannya tadi. "Jadi—"
"Dok, saya nggak mau melanjutkan ini!" Meskipun ingin sekali meminta perempuan ini membiarkan dia menyelesaikan kalimat lebih dulu, Alfa mengalah. Dia menunggu Mia menggeser piring kosong, mengadu pandangan lagi dengannya setelah menghindar sejak tadi, lalu berkata, "Saya—saya nggak bisa."
Alfa menaikkan satu alis. "Katanya kamu suka saya?"
"Kagum. Saya koreksi kata suka jadi kagum."
"Kagum?"
Mia mengganggu cepat, dan Alfa tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum.
"Apa bedanya suka dan kagum? Buat saya—"
"Beda! Beda dong," potong Mia lagi.
Ekspresi Mia yang menggemaskan saat panik dan bingung terlupakan. Alfa tidak bisa menahan lagi rasa sebal karena kalimatnya selalu dipotong oleh perempuan ini. "Mia ...."
"Dok, rasa yang saya punya ke Dokter itu kekaguman atas semua yang Dokter lakukan ke orang lain."
Sepertinya Mia tidak mendengar nada sebal di panggilannya barusan, atau dia sebenarnya tahu, tetapi memilih mengabaikan. Kemarin tidak memedulikan kebingungannya, hari ini kekesalan Alfa.
"Dokter membantu tanpa pamrih, tanpa perlu diketahui siapa-siapa," lanjut Mia, "Dokter ingat saat pertama kali minta Bu Anna mengurus pembayaran dari pasien tabrak lari? Dari situ saya kagum sama Dokter. Saya pernah ditabrak lari dan ditolong orang asing. Ya, sekarang Dokter paham, kan? Saya melihat Dokter kayak saya lihat Chris Evans? Iron Man? Spiderman? Sejenis itu."
"Bedanya sama suka?"
"Saya nggak melihat Dokter sebagai cowok. Nggak ada maksud buat ke arah sana."
Alfa mengerutkan kening dengan ekspresi geli. "Seriously, Mia?" Dia melipat kedua tangan di atas meja dan memiringkan sedikit kepala, sementara Mia kembali menghindari kontak mata dengannya. Namun dia tidak berniat melepas Mia semudah itu. "Kamu datang ke ruangan saya, bilang suka, terus cium saya. Kamu cium saya, Mia." Alfa sengaja menekankan fakta itu. "Dan, sekarang kamu bilang nggak bermaksud apa-apa?"
Alfa coba untuk tersenyum, tetapi gagal. Seseorang dalam dirinya tidak terima dengan perbuatan Mia, seolah sedang dipermainkan. Namun, kenapa merasa seperti itu? Seharusnya Alfa senang, bukan? Dia tidak pernah bermain-main dengan tipe perempuan seperti Mia; tipe pengikut kebiasaan, seragam yang terlihat rapi dan tertutup—tanpa berusaha menonjolkan sesuatu. Berpotensi membosankan sangat besar. Dia sudah terselamatkan dari kegiatan memutar otak untuk mengakhiri hubungan, kenapa dia tetap duduk di sini?
Sialan!
Di depan sana, Mia menunduk dan terlihat sibuk memainkan dua jempol di atas meja. Seakan-akan sedang mempertahankan sikap untuk tidak mau memanjangkan apa pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Roommate
RomanceMia tiba-tiba mengajak Alfa menjalin hubungan. Tanpa Alfa antisipasi, permintaan itu berhasil menyeretnya ke dalam pertaruhan hati. *** Desas-desus mengatakan bahwa Alfa tak pernah serius tiap kali menjalin hubungan. Dokter tampan dan dermawan itu h...
Wattpad Original
Ada 3 bab gratis lagi