MIA MELANGKAH gontai keluar dari pintu utama rumah sakit. Sekali lagi dia membaca pesan singkat dari Alfa, dan sekali lagi paru-parunya serasa kering sampai ingin pingsan. Sepertinya menginap semalam di rumah sakit lebih baik, daripada menghadapi laki-laki yang menolaknya cepat dengan alasan; kamu bukan tipe saya, lalu muncul seolah tidak pernah mengatakan kalimat yang membuatnya tidak bisa tidur berhari-hari.
Baru saja otaknya merancang alasan untuk mengabaikan buah dari kegilaannya kemarin, tiba-tiba notifikasi pesan singkat dari Alfa masuk. Lelaki itu tidak ada dihadapannya, tetapi degup jantungnya berhenti sepersekian detik saking gugupnya. Astaga. Mia. Mia. Kenapa sih kamu suka sekali menyusahkan diri sendiri?
Sambil mengetukkan ujung ponsel ke bibirnya, Mia melanjutkan niat awal. Meminta lebih ramah kepada orang-orang di benaknya untuk segera menemukan alasan, kemudian sebuah ide gila terbesit; bagaimana kalau dia pergi saja tanpa memedulikan laki-laki itu? Lagi pula, dia sudah ditolak.
Saat tekad Mia sudah cukup bulat, ponselnya bergetar dan pesan singkat berubah jadi panggilan telepon dari Alfa.
Dia berusaha meminta dirinya untuk tidak bereaksi dan panik. Terus menjejalkan pikiran; tidak ada ruginya bagi Alfa kalau dia membatalkan tawaran, yang sebenarnya diambil di tengah kekalutan Mia.
Kalau bukan aku yang menemani aktivitasnya malam ini, masih ada cewek lain, begitu kata Mia dalam hati.
Getaran ponsel sempat berhenti sebentar lalu terasa lagi, membesarkan keinginan Mia untuk segera pergi. Dengan yakin, Mia memasukkan ponsel ke tas. Namun, saat kakinya siap menuruni satu undakan tangga, sebuah kalimat membuat Mia langsung mematung.
"Correct me if I wrong. Are you trying to escape?"
Mia menunduk dalam-dalam, memperhatikan jarak sepatu si pemilik suara yang sangat dekat dengannya. Kepanikan yang coba ditekan Mia menjadi tidak terkendali. Masih berusaha keras tidak mau menatap Alfa, Mia sengaja melebarkan jarak antara mereka. Menoleh ke kanan-kiri untuk memastikan berapa banyak orang melihat adegan ini, supaya dia bisa menyiapkan jawaban masuk akal kalau penggemar laki-laki di depannya menyerang.
"Mia?"
Spontan, Mia mendongak dan memelotot merasa kesibukan otaknya terganggu. Kemudian, buru-buru mendatarkan wajah lagi. Astaga, kenapa sih dia selalu berubah jadi badut di depan Alfa? Dan sekali lagi, matanya mengkhianati kekesalan Mia. Dengan lancang mengagumi garis rahang Alfa yang keras, bentuk bibir yang tegas dan sensual. Bibir. Seketika rasa panas menjalari sekujur badan Mia, diikuti rasa menggelitik yang membuat lututnya lemas.
"Mia, saya—"
"Lupain, Dok," potong Mia, seraya memeluk diri sendiri. "Sori, waktu itu saya memang tolol banget. Dan sekarang saya sudah sadar, jadi Dokter Alfa nggak perlu memaksakan diri buat—ya, you know what I mean, right?"
Di antara tiupan angin yang semakin kencang dan kerepotan Mia menjaga agar rambut ikalnya tidak menambah rasa malu, Alfa memainkan kacamata hitam di satu tangan sambil mengamati Mia. Entah apa isi otak lelaki ini, ketenangan yang terpasang di wajah kebulean Alfa, menyulitkan Mia menebak.
"Kamu bisa tunggu saya di dekat pos satpam itu?" tanya Alfa setelah diam yang cukup panjang dan meresahkan. "Saya ambil motor dulu di bawah." Mia mengikuti arah kacamata hitam Alfa, siap mengangguk tetapi berhasil menggeleng.
Mia berdecak, dengan wajah yang biasa ditampilkan di depan Bu Anna sehabis membuat kesalahan hitung. Memelas.
"Dokter Alfa, saya mau mundur. Begini, hari itu—"
"Saya ambil motor dulu. Kita cari tempat makan dekat sini, terus bicarakan yang harus dibicarakan," sanggah Alfa, seraya memendekkan jarak antara mereka dan sedikit membukuk untuk menjajarkan wajah mereka. "Saya lapar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Roommate
RomanceMia tiba-tiba mengajak Alfa menjalin hubungan. Tanpa Alfa antisipasi, permintaan itu berhasil menyeretnya ke dalam pertaruhan hati. *** Desas-desus mengatakan bahwa Alfa tak pernah serius tiap kali menjalin hubungan. Dokter tampan dan dermawan itu h...
Wattpad Original
Ada 4 bab gratis lagi