Wattpad Original
Ada 5 bab gratis lagi

Satu

435K 21.4K 872
                                    

ALFA MENGHEMPASKAN diri ke kursi kerjanya setelah menjalankan tugas memutari pasien-pasien rawat inap, memberi tahu bahwa dia dokter umum yang berjaga dan siap membantu kalau-kalau ada sesuatu yang mendesak. Dia berniat untuk beristirahat sejenak sambil bermain Nintendo Switch, tetapi saat Alfa membuka laci meja kerja, kunci apartemen yang ditolak pengembaliannya oleh sang pemilik meminta untuk diperhatikan.

Alfa menarik napas tajam, lalu mengambil benda itu.

Sudah sepuluh hari, tetapi tidak ada tanda-tanda si pemilik kembali atau mencoba meyakinkan Alfa agar kunci ini terpakai. Sementara Alfa, tidak ada tanda-tanda otaknya mau berhenti memutar adegan ciuman singkat bersama perempuan aneh itu.

"Sialan!" geram Alfa pelan.

Pintu ruangannya tiba-tiba terketuk, membuat Alfa melempar asal kunci ke laci dan mengambil stetoskop. Namun, saat pintu terbuka, salah satu teman dokternya melongok, sambil mengangkat dua gelas putih lalu bertanya, "Kopi?"

Alfa mengeluarkan suara menggerutu, sementara lelaki berkacamata di ujung sana menggerak-gerakkan alis penuh arti ke arahnya.

"Duduk," suruh Alfa. "To the point, Andreas. Lo butuh bantuan apa dari gue?"

Sembari duduk dan mengulurkan satu gelas di hadapan Alfa, Andreas tersenyum penuh arti. Alfa segera paham kenapa satu dari dua teman dokter yang cukup dekat dengannya di rumah sakit ini datang ke ruangannya. Lagi pula, hanya dua orang itu yang tahu tentang apa yang sering dilakukan Alfa, sementara Bu Anna dan orang-orang di kantor administrasi tidak termasuk.

"Berapa dan kasusnya apa?"

Andreas tertawa. "Alfa. Alfa. Lo harus belajar basa-basi sedikit aja."

Alfa tidak bereaksi, menyandarkan punggung senyaman mungkin di kursinya dan melipat kedua tangan di depan dada sambil memasang wajah jangan buang waktu gue.

"Untuk saat ini 100 juta, nggak tahu ke depannya. Jantung bocor. Gayatri Tatyana. Perempuan, 5 tahun. Butuh tindakan segera, tapi bapaknya kerja di bangunan dan ibunya bersih-bersih rumah harian. Punya kakak tiga, masih SD," kata Andreas setelah meminum kopi yang dibawa sendiri. "Kayaknya mereka nggak ikut program KB, jarak umur dari anak satu ke anak lain deket."

Alfa menatap Andreas cukup lama, lalu menyahut, "Oke. Gue ngomong sama Bu Anna sekarang."

Seperti tidak bisa menyembunyikan kelegaan, Andreas langsung menyalami Alfa dengan cara yang berlebihan. Rasa puas seketika membanjiri dirinya. Dia tidak tahu kenapa ini menjadi kebiasaan. Berawal dari menolong salah satu orang korban tabrak lari yang harus dioperasi bagian otak tetapi tidak punya dana, lalu berjalan sampai detik ini. Meski dia bukan dokter spesialis seperti Andreas dan gajinya tidak terlalu besar sebagai dokter umum, tetapi Alfa punya bisnis-bisnis lain yang mampu mengisi kantungnya; coffee shop dekat rumah sakit, menyuplai alat-alat kesehatan untuk beberapa rumah sakit besar, jual-beli dan sewa apartemen, dan "jatah" sebagai salah satu dari empat pewaris Mega Tarinka—kontraktor swasta terbesar di Indonesia.

Mendadak gerakan tangan Andreas terhenti, dengan pandangan terasa menjijikan bagi Alfa. Belum sempat bereaksi, Andreas sudah cengar-cengir, hingga Alfa menghempaskan kasar tangan itu.

"Gue nggak suka cowok. Kalaupun suka, lo bukan tipe gue," seru Alfa, yang memecahkan lagi tawa Andrea.

"Anjir, gue juga masih normal, Bro!" protes Andreas di sela tawa. "Gue cuma nggak habis pikir aja, manusia berengsek yang demen banget bikin cewek patah hati ternyata mampu menyelamatkan banyak hati lain." Dengan ekspresi dan gerakan yang berlebihan, Andreas mengepalkan satu tangan dan menepuk-nepuk dada bagian kiri. "Bangga gue sama lo."

"Anggap aja keseimbangan," ucap Alfa. Kemudian, dia berdiri dan memakai lagi snelli yang sempat dilepas. "Gue urus dulu."

***

Sudah puluhan kali Alfa memasuki ruang administrasi untuk bicara dengan Bu Anna, kepala pengurus yang berwenang atas semua tagihan pasien-pasien di rumah sakit. Biasanya dia cuma bicara seperlunya dengan beliau, memberikan yang dibutuhkan, lalu pergi.

Namun, khusus hari ini, Alfa sengaja memajang-manjangkan obrolan bersama Bu Anna. Dia bertanya apakah ada pasien lain yang berpotensi membutuhkan pertolongan dana segera dan situasi gawat. Saat Bu Anna menyanggupi mencari informasi tentang keberadaan si pasien, Alfa mencuri pandang ke sosok perempuan yang duduknya berhadapan dan berjarak tiga meja dari meja Bu Anna.

Lamia Maharani. Mia.

Sejak kaki Alfa memasuki ruangan ini, tidak terlihat tanda-tanda perempuan itu tertarik dengannya. Di saat penghuni lain mencari alasan untuk melirik Alfa, Mia tetap fokus menatap bergantian layar komputer dan tumpukan map di sisi kanan meja.

Apa perempuan ini sedang sengaja bersikap tak acuh untuk menarik perhatiannya?

Sial. Kenapa pula gue memedulikan itu benar atau nggak? Kalaupun Mia sudah tidak tertarik dengannya, itu bagus, bukan? Artinya dia tidak perlu repot-repot menyusun penolakan dan menghadapi reaksi menyebalkan seperti tangisan.

Berengsek!

Tanpa bisa menahan gejolak sialan, yang dia sendiri tidak tahu pasti kenapa dan buat apa, Alfa mengambil pulpen dan menuliskan sesuatu di sticky note kosong, hingga Bu Anna yang menerima pesan tak bersuara itu buru-buru mendongak dan memasang wajah kebingungan. Alfa memberi kode dengan lirikan, dan lagi, Bu Anna mengintip ragu ke depan dari sela-sela kacamata.

Sebelum melakukan yang Alfa mau, Bu Anna kembali memandanginya—seolah bertanya, kenapa harus dia? Alfa memasukkan kedua tangan dan kertas berwarna oranye itu kantung snelli. Memasang ekspresi tidak mau ditolak, lalu mengangkat bahu.

"Mia, aku butuh bantuan kamu." Kemudian, Bu Anna melakukan hal yang Alfa mau. Seraya mengangkat map pasien rekomendasi Andreas, Bu Anna lanjut bicara, "Tolong bantu Dokter Alfa urus pembayaran untuk anak Gayatri."

Mia sempat terdiam beberapa saat, lalu meninggalkan kesibukan yang dilakukan untuk mengabaikan Alfa dan menghampiri meja Bu Anna.

"Aku ada beberapa pekerjaan yang nggak bisa ditinggal, sementara Dokter Alfa nggak bisa nunggu," kata Bu Anna saat mengulurkan map, dan diterima dengan senyum tipis oleh Mia. "Terima kasih, Mia."

Setelah sejak awal menolak melihatnya, Mia mengadu pandangan dengan Alfa. Memamerkan kepercayaan diri yang serupa seperti di kantornya berhari-hari lalu, seolah tidak ada kejadian aneh di antara mereka.

"Silakan ikut saya ke ruangan sebelah, Dok." Mia tersenyum semakin tipis, melirik Bu Anna sekali lagi sebelum berbalik dan berjalan lebih dulu menuju ruang khusus untuk melakukan pembayaran tanpa diketahui banyak orang.

Ruangan itu tidak sebesar ruangan sebelahnya. Hanya ada satu set meja kerja beserta dua kursi untuk tamu, komputer untuk mengakses data pembayaran, dan beberapa EDC dari bank-bank besar. Mia lebih dulu duduk di balik komputer, sementara Alfa sengaja tidak langsung duduk di kursi kosong depan perempuan itu.

Butuh beberapa menit yang terasa sangat lama dan melelahkan, sampai Mia mendongak dan menatapnya dengan sangat, sangat, sopan. Seolah dia orang yang sangat tua. Seolah mereka belum pernah saling berhadapan, berdua, di ruang tertutup seperti ini.

Dengan gerakan lambat, Alfa duduk dan bertopang dagu. Dia sengaja menyunggingkan senyum paling menawan, tanpa malu-malu menunjukkan pesona yang selalu berhasil membuat seorang perempuan merengek minta diajak melakukan yang lebih dari sekadar ciuman beberapa detik.

"Hari ini saya selesai jaga sama kayak jam pulang kamu." Alfa berhenti sebentar, dan Mia tidak kunjung bereaksi. Wajah, bahkan bibir tipis ... berengsek, ingatan Alfa langsung mengulang lagi bagaimana rasa bibir itu. "Kunci di saya menunggu untuk digunakan. Hari ini? Dan tolong, beri tahu saya nomor telepon kamu. Itu syarat wajib sebelum kita memulai yang kamu mau ...."

Last RoommateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang