SATU HAL yang paling tidak disukai Mia di dunia ini adalah melihat rencana yang disusun matang-matang olehnya berantakan. Segala perhitungan meleset, dan Mia kebingungan cara untuk memperbaiki.
Rencana-rencana hidupnya dikacaukan satu penyakit sialan. Kini segala hal yang dia perkirakan tentang Alfa juga salah.
Mia sengaja mempertanyakan hal-hal yang seharusnya menyinggung Alfa, tetapi malah membuatnya terpaksa mengatakan sesuatu yang bahkan belum diketahui orang tuanya. Mengira hal itu mampu membuat Alfa melupakan kekonyolannya, bukan duduk di apartemennya dan berkata, "Ayo, kita berhubungan sampai kamu mempunyai banyak kenangan tentang pasangan."
Bahkan, Mia tidak pernah berpikir Alfa akan menemuinya setelah penolakan itu!
"Mia ...."
Spontan, Mia memaksa kakinya berhenti. Rasa menyengat terasa di lidahnya. Mia ingin melemparkan lebih banyak kalimat menyinggung, seperti apa Dokter sangat penasaran bercinta dengan cewek sekarat? Apa menemani saya akan jadi prestasi membanggakan bagi Alfarezi Bagaskara? Atau, apa hal yang sangat Dokter benci? Saya mau melakukannya detik ini juga supaya Dokter segera meninggalkan saya. Namun, semua tertahan dan bergema di benaknya.
Dia orang pertama yang memulai.
Mia yang meminta demi satu alasan paling tolol selama hidupnya. Nekat? Ini bukan nekat, ini menyusahkan diri!
"Sudah lima belas menit kamu mondar-mandir di sana, mau sampai kapan?" tanya Alfa dengan ekspresi tenang, yang semakin Mia lihat semakin menyebalkan. Untuk kali pertama sejak rasa kagum mengendap dalam dadanya, Mia ingin melempar wajah tampan itu dengan sesuatu.
"Mia?"
Mia menarik kursi bulat dari meja makan, lalu duduk sedikit serong ke kanan di depan Alfa. Dia ingin mencoba membicarakan ini sekali lagi. Siapa tahu ini hanya keputusan terburu-buru dari Alfa—dorongan harga diri?
"Dokter, kenapa harus menyusahkan diri buat saya? Saya bukan tipe cewek yang Dokter mau. Saya punya penyakit merepotkan, dan kita nggak saling kenal. Saya—"
"Anggap saja kamu berutang sama saya." Sepasang mata tajam milik Alfa mengunci Mia, hingga reaksi jantung Mia menjadi tidak terkendali. "Jangan tanya saya apa bayarannya dan kapan harus dibayar, saya juga belum tahu. Seperti menabung saja. Kalau sudah banyak, saya ambil."
Mia terkesiap, makin sulit memilih harus bereaksi bagaimana. Apa dia harus tersenyum lalu mengucapkan terima kasih? Atau melakukan hal yang lebih gila lagi supaya lelaki ini melupakan permintaan, ciuman, bahkan pengakuan Mia? Tetapi, apa?
"Apa kamu menyesal sudah datang ke ruangan saya?"
"Banget," jawab Mia tanpa sadar. "Saya pikir Dokter nggak akan tergoda. Saya sadar, saya nggak punya sesuatu yang istimewa, sementara cewek yang biasa deketin Dokter seenggaknya punya satu kelebihan yang disukai laki-laki. Kalau dipikir-pikir, alasan utama saya pergi ke Dokter itu—" Mia menggigit bibir bawahnya keras-keras, menyesal sudah memanjangkan obrolan lagi. Seharusnya dia mengusir Alfa.
"Alasan kamu ternyata berlapis, ya?" Mendadak Alfa mencondongkan badan, lalu menarik kursi yang diduduki Mia dengan sangat mudah, hingga jarak yang diciptakan Mia beberapa saat lalu lenyap dan kedua lutut mereka saling bertabrakan.
"Dokter, astaga, gini—"
"Alasan utama, alasan pendamping, apa pun alasan kamu, ceritakan. Saya punya banyak waktu buat mendengarnya." Tatapan Alfa kian tajam, berupaya menggali isi hati dan pikiran Mia. "Mia ...."
"Saya marah karena keadaan mengacaukan hidup saya seenaknya, padahal diri saya sendiri nggak pernah sekali pun mengubah susunan yang ada."
Tangan Alfa meninggalkan kedua sisi paha Mia, terlipat di depan dada yang terlihat semakin kencang dalam balutan kaus hitam pas badan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Roommate
RomanceMia tiba-tiba mengajak Alfa menjalin hubungan. Tanpa Alfa antisipasi, permintaan itu berhasil menyeretnya ke dalam pertaruhan hati. *** Desas-desus mengatakan bahwa Alfa tak pernah serius tiap kali menjalin hubungan. Dokter tampan dan dermawan itu h...
Wattpad Original
Ada 2 bab gratis lagi