"JADI INI ceweknya, Al?"
Kalimat pertama dari Dokter Inez setelah beres menyuntik Mia dan suster yang menemani proses itu meninggalkan ruangan. Namun, hening sepertinya masih mau mendampingi pertemuan tak terencana ini, bahkan memanggil kecanggungan yang sangat besar untuk memenuhi ruang praktik yang besarnya tidak seberapa.
Merasa bukan haknya, Mia menengok ke orang yang punya kewajiban menjawab. Dan Alfa terlihat sama sekali tidak berniat membuka bibir, hanya memandang gelisah ke arah Dokter Inez yang juga setia bersikap sangat sibuk: menunduk dan menulis. Situasi ini sangat memuakkan. Tanpa bisa dicegah, otak Mia memutar lagi pertanyaan yang sama sejak Alfa menyeretnya keluar dari lift. Kenapa dia tidak menolak dan pergi saja? Kenapa dia harus melibatkan diri sejauh ini?!
"Mia?" Namanya yang dipanggil dengan nada datar membuat Mia tersentak dan meluruskan pandangan ke Dokter Inez. "Hai, Mia. Salam kenal ...."
Mia tidak bisa untuk tidak melirik Alfa lagi. Dia sengaja menabrakkan lututnya dengan lutut Alfa, tetapi lelaki itu bergeming. Sepertinya Alfa sama sekali tidak berniat memberi dukungan apa pun, setia mengunci bibir rapat-rapat dengan ekspresi tidak terbaca.
"Salam kenal, Dokter Inez." Mia mencoba mengendalikan suaranya agar tidak bergetar dan ... gagal.
Senyum yang dipasang Dokter Inez membuat Mia bergidik. Di antara kekagumannya pada kecantikan natural sekaligus kedewasaan di wajah Dokter Inez, Mia juga merasa ngeri—entah karena apa.
"Jadi, kalian sudah tiga minggu bersama?" tanya Dokter Inez, dan Mia buru-buru menendang ujung sepatu Alfa. Namun, lelaki itu masih saja mematung. "Pantas saja tiga minggu terakhir rumah sakit ini tenang sekali, nggak ada tangisan patah hati dari cewek yang bekerja di sini ataupun dari orang luar rumah sakit. Ternyata, bocah nakal ini sudah menentukan pilihan."
Mungkin hanya perasaan Mia saja. Namun, setiap kata yang keluar dan diiringi senyum lebar dari Dokter Inez, Mia menemukan kemarahan yang menggelegak. Belum lagi aksi adu tatap kedua manusia ini, serasa sedang memperdebatkan sesuatu. Hingga akhirnya kecanggungan dalam diri Mia meluruh dan digantikan rasa sebal.
Mengabaikan kemungkinan-kemungkinan menjengkelkan, seperti Dokter Inez yang marah kepada Alfa karena membawanya sebagai "calon", atau hubungan terlarang dua orang ini sedang ada masalah, secara tiba-tiba Mia menggeser kursinya rapat dengan kursi Alfa, lalu menggelayut manja di lengan lelaki itu.
Alfarezi Bagaskara mau Mia membantu. Baik. Seperti yang dilakukan Alfa di depan rekan kerjanya beberapa saat lalu, Mia berlagak bagai kekasih Alfa. Mengelus bisep lelaki itu dengan sangat lembut, hingga Alfa melirik penuh arti ke arahnya.
Sebelum sempat Mia menanggapi kalimat Dokter Inez, ketegangan mendadak meningkat drastis. Pintu ruang praktik terbuka keras, disusul suara panik dari suster yang keluar beberapa saat lalu. "Maaf, Dokter Inez, saya udah meminta Pak Dirga menunggu karena ada pasien. Tetapi—"
Mia tidak tahu apa yang membuat si suster berhenti bicara lalu pamit undur diri lagi, dia terlalu fokus memperhatikan sosok lelaki tinggi dan besar, berdiri di depan pintu yang tertutup dengan ekspresi bagai hewan buas kelaparan dan baru saja menemukan daging lezat. Susah payah, Mia menggeser lagi matanya ke Alfa, tetapi lelaki satu ini tetap saja tidak menunjukkan tanda-tanda mau bereaksi.
"Sori, Mia. Sebenarnya ini sudah lewat dari jam praktik saya, tapi mengingat Alfa sudah saya anggap adik sendiri ... ya, di sini lah kamu. Sayangnya, suami saya sepertinya sudah terlalu lama menunggu di mobil," jelas Dokter Inez. "Dirga, bisa tunggu lima menit? Di situ nggak masalah, toh, kamu dan Alfa sudah saling kenal." Ekspresi penuh wibawa dan percaya diri Dokter Inez hilang entah ke mana, seperti sedang ketakutan. Sementara, di bawah telapak tangannya, Mia merasakan urat-urat Alfa menegang. "Ini surat pengantar ke catatan sipil, dan selamat sekali lagi buat keputusan kalian melangkah ke jenjang yang lebih serius. Semoga segala urusannya dilancarkan. Akhirnya bocah nakal ini menyelesaikan petualangannya."
Mia mengangguk dan menerima amplop dari Dokter Inez yang lebih dulu berdiri dan melepaskan snelli.
"Al, aku pulang duluan." Dokter Inez memandang Alfa, tetapi lelaki di samping Mia enggan membalasnya. "Mia, saya pamit. Sekali lagi, selamat."
Bahkan, setelah pintu yang terbuka sebentar kembali menutup, Alfa masih mematung di kursi. Memusatkan pandangan pada kursi yang ditinggalkan Dokter Inez. Seakan-akan perempuan itu masih di sana, bukan pergi bersama sang suami. Perlahan, Mia menarik tangan dari lengan Alfa. Rasa kesal dalam dada Mia makin menjadi dan tak terkendali. Dia seperti dipaksa masuk ke kandang singa sendirian dan disuruh bertahan hidup tanpa bantuan apa pun.
"Cut! Terima kasih untuk syuting hari ini, aktingnya sangat mengesankan," ujar Mia dengan nada ceria dibuat-buat, lalu berdiri sambil membawa amplop dari Dokter Inez. "Karena tugas saya sudah selesai, saya juga pamit, Dok."
Mia baru saja berbalik, kakinya belum berhasil menciptakan satu langkah pun, dan Alfa melingkarkan kedua tangan ke pinggangnya. Menahan Mia dan menyandarkan kening ke punggungnya. Sudah ada tekad untuk mengakhiri adegan ini, tetapi setiap tarikan napas Alfa yang terasa berat menahan Mia melakukannya. Rasa frustrasi tak bertepi yang dia rasakan sewaktu Alfa memeluknya di lift kembali datang dan lebih menyakitkan. Satu rasa menyesakkan belum bisa diatasi, tiba-tiba sakit di kepala Mia ikut hadir. Tanpa menunggu atau memikirkan apa tanggapan Alfa, Mia memutus pelukan lelaki itu dengan sangat kasar. Sambil menahan isakan agar tidak terlepas dari tenggorokan, Mia keluar dari ruang praktik Dokter Inez.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Roommate
RomanceMia tiba-tiba mengajak Alfa menjalin hubungan. Tanpa Alfa antisipasi, permintaan itu berhasil menyeretnya ke dalam pertaruhan hati. *** Desas-desus mengatakan bahwa Alfa tak pernah serius tiap kali menjalin hubungan. Dokter tampan dan dermawan itu h...
Wattpad Original
Ini bab cerita gratis terakhir