Yes! sorakku dalam hati. Aku senang Papa selalu hadir sebagai penyelamat setiap kali Mama merencanakan hal yang konyol terhadapku. Aku buru-buru meraih tas dan meraup buku-buku di depanku, lalu berdiri. Aku mendekati Mama, menyalami, dan mencium pipinya.
"Ara kerja dulu, Ma," pamitku.
Mama hanya membalas dengan anggukan, sepertinya masih kesal karena rencananya belum berhasil.
Aku mengekori Mama dan Papa yang berjalan menuju carport. Yaris milik Papa sudah terparkir di sana, siap untuk dijalankan. Hari ini aku menumpang di mobil Papa karena mobilku masih di bengkel. Entah apanya lagi yang bermasalah, aku tidak tahu dan tidak mau ambil pusing karena aku sama sekali tidak tahu tentang mesin.
Kulihat Papa masih ingin berbicara dengan Mama. Jadi, aku memutuskan masuk duluan ke mobil. Aku membuka pintu mobil dan mengenyakkan tubuh mungilku di bangku depan.
Aku memperhatikan kedua orangtuaku dari dalam mobil. Mama masih dengan bibirnya yang dimanyunkan, sedangkan Papa mencoba menggoda Mama dengan mencolek hidung Mama, dan tampak membisikkan sesuatu. Aku yakin bisikan itu adalah gombalan Papa, terlihat dari ekspresi bibir Mama yang tadinya menekuk, langsung berubah menjadi senyuman malu. Mama memukul bahu Papa pelan dan Papa tertawa.
Ya, mereka memang selalu tampak seperti pengantin baru. Aku saja sampai merasa iri melihat kemesraan kedua orangtuaku itu.
Aku menurunkan kaca mobil, lalu berseru, "Pa, kalau mau mesra-mesraan ntar aja. Sudah siang, nih!"
Kedua orangtuaku serentak menoleh. Mereka tersenyum malu karena “kepergok” bermesraan oleh anaknya ini.
"Makanya kamu itu segera menikah, Ra. Biar bisa mesra-mesraan juga," jawab Mama yang kurespon dengan memutar bola mata.
Itu sih maunya Mama, bisikku dalam hati.
Sebelum Papa masuk ke dalam mobil, Mama merapikan dasi Papa. Tak lama kemudian, Papa sudah duduk di sampingku, di bangku kemudi. Papa memutar kunci kontak, lalu menyalakan mesin mobil dan mulai melaju meninggalkan carport.
"Makasih, ya, Pa," kataku memulai percakapan.
"Untuk apa?" tanya Papa dengan tatapan fokus ke jalan yang sudah dipadati oleh kendaraan lain.
"Sudah nyelamatin aku dari obrolan konyol Mama tadi."
"Hush!” Papa mengibaskan tangan kirinya ke depanku. “Kamu gak boleh ngomong gitu, Ra. Dia itu tetap istri Papa, loh. Wanita yang Papa cintai."
Ucapan Papa berhasil memancing tawaku. "Iya, deh. Tapi, tetap makasih, ya, Pa. Ara benar-benar terselamatkan tadi itu."
Bibir tipis Papa tertarik ke atas. "Papa gak nyelamatin Ara, kok. Tadi itu Papa memang sudah mau berangkat. Biar gak kejebak macet."
Aku balas tersenyum. Boleh saja Papa menyangkal, tapi aku tahu tadi itu Papa memang menyelamatkanku, seperti biasanya. Sikap Papa seperti inilah yang membuat aku lebih dekat dengannya daripada Mama. Mama itu lebih cocok dengan kakakku, Kak Adel. Sebab, mereka sama-sama ratu drama.
Aku memajukan tubuh. Jari telunjukku menekan tombol power pada MP3. Sedetik kemudian, lagu nostalgia milik Papa dan Mama mengalun, menemani perjalanan kami menuju sekolah tempatku mengajar.
Aku memandang ke luar jendela. Tiba-tiba saja pikiranku kembali pada obrolan kuno Mama tadi. Astaga! Ternyata, ada kegelisahan bercokol di hatiku akibat pembicaraan perjodohan konyol itu. Aku tersadar, tak selamanya aku bisa menghindar dari rencana Mama.***
Halo. Baca juga cerita romance komediku MODUS (bisa kan bukain pintu hatimu buatku?) Di akun beliawritingmarathon. Voment ya. Siapa tahu kamu yang beruntung dapatkan paket buku selama SETAHUN dari Bentang Pustaka. ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
JANGAN JODOHKAN AKU!
Fiksi UmumRE-PUBLISH DENGAN CERITA LEBIH RAPI, NGALIR DAN BIKIN GREGETAN. Suatu hari, luka ini pasti terobati