Chapter 8

792 90 23
                                    

            Setelah Donghae menyelesaikan riasannya dengan balutan jas hitam dan sepatu pantofel kecil yang mengkilap, ia memutuskan untuk beranjak ke ruangan sebelah dimana sang Ibu sedang merias diri. Donghae kecil menatap orang-orang yang mengucapkan selamat padanya tepat setelah ia keluar. Ia tak tahu bahwa ruangan yang seharusnya menjadi privasi keluarga pengantin itu juga dipadati banyak orang yang berlalu lalang untuk melihat sang pengantin wanita di ruang tunggu.

Donghae terus berjalan, mengabaikan senyum yang dilempar orang-orang itu. satu-satunya yang ingin ia temui dan ia lihat senyumnya adalah ibunya. Jadi ia memacu kaki pendeknya untu mengambil langkah-langkah besar. Tapi langkah itu memelan ketika ia melihat pantulan Ibunya dikaca yang sedang menangis. Sehingga tanpa menunggu lama, Donghae kecil berlari ke arah Ibunya dan membuat sang Ibu gelegapan untuk menghapus air matanya.

"Ibu kenapa menangis?" cicit Donghae khawatir.

"Oh, Hae. Tidak, Ibu tidak menangis" jawab sang Ibu seraya menaikkan Donghae ke atas pangkuannya.

"Jangan bohong"

"Itu namanya air mata kebahagiaan, Hae. Bukan kesedihan"

Suara kakaknya –Jung Soo- yang baru saja masuk membuat Donghae menatap Ibunya lekat untuk mencari kebenaran dari wajah sang Ibu.

"Benar yang dibilang hyungmu. Ibu menangis bahagia sayang"

"Berarti Ibu tidak menangis karena Ayah menikah dengan Kim ahjumma?"

Sang Ibu tersenyum, "Tentu saja tidak. Kim Ahjumma orang yang baik, jadi pasti akan menyenangkan jika Ibu punya teman yang sama-sama menjaga Ayah"

Kilat kebahagiaan yang masih belum bisa sepenuhnya Donghae tafsirkan kebenarannya itu membuat senyum Donghae ikut mengembang. Di usianya yang masih kecil tentu sebuah kewajaran ketika Donghae berfikir bahwa Ibunya tak bahagia karena Ayahnya menikah dengan orang lain, apalagi ketika ia menemukan sang Ibu menangis sendirian di hari ernikahan Ayahnya. Tapi Donghae juga anak kecil yang bisa dengan mudah di pengaruhi hanya dengan kata-kata dan senyum menenangkan. Terlebih ketika hal itu mendapat dari orang terdekatnya, dalam hal ini adalah Jung Soo. Tentu saja ia percaya, sehingga ke khawatirannya akan sang Ibu mengabur begitu saja.

"Dan kita akan memilik teman baru juga, Hae" ujar Leeteuk menambahkan.

"Benarkah? Siapa?"

"Kim Kibum, anak Kim ahjumma akan menjadi saudara kita. Dan yag terpenting kau akan menjadi kakak utuknya. Bukankah kau selalu ingin menjadi kakak?"

Donghae semakin antusias mengangguk, binar cerah terpancar di matanya dengan begitu alami. Membuat sang Ibu diam-diam tersenyum, melupakan perasannya sebagai wanita. Di kepalanya hanya ada senyum bahagia kedua putranya, itu sudah untuknya.

.

.

"Seseorang membangun sebuah jembatan untukku. Aku menerimanya, dan bodohnya aku berterima kasih"

-Park Donghae-

.

.

.

Tiga pasang sepatu itu semakin mendekat. Ketiganya tidak berbalut kulit mahal atau warna yang mengkilap. Hanya sepatu biasa. Tapi hal itu sudah membuat nyali Donghae yang menjadi sasaran meciut. Semakin kaki-kaki itu bergerak maju, maka semakin besar pula ia mengambil langkah mundur. Mereka adalah tiga orang anak buah Kibum, dan Donghae tahu itu. Meskipun ia sudah berjanji untuk tidak melemah dihadapan Kibum dan teman-temannya, tetap saja kakinya gemetar jika dihadapkan langsung dengan tiga orang yang merupakan anggota paling kuat dari semua anak buah Kibum. Ia bisa saja menang melawan Kibum seperti yang ia lakukan akhir-akhir ini, karena nyatanya Kibum memang lemah di permainan kata-kata. Tapi tiga orang di depannya? Melihat seberapa kekar otot-otot pada punggung tangan mereka saja sudah membuatnya bergidik.

If You GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang