Chapter 9

891 91 8
                                    

Setelah acara pernikahan Kim Jae Kyung dan Park Seung Hwan, rumah keluarga Park berjalan seperti biasa. Bedanya ada dua orang perempuan yang setiap pelayani Tuan Park sekarang. Dua wanita itu sama sekali tidak menunjukkan konflik batin yang sedang melanda mereka. Justru, keduanya mempertontonakn hubungan layaknya adik dan kakak. Akan tetapi, sangat berbeda dengan anak-anak mereka. Leeteuk dan Donghae masih canggung untuk menyapa Kibum karena anak itu memang sangat pendiam. Dibandingkan Leeteuk, Donghae lebih banyak mencoba mendekati Kibum meskipun selalu mendapat penolakan dari si dingin.
Seperti hari ini, setelah jamuan makan malam antara keluarga besar Park. Donghae berencana untuk mengajak Kibum bermain kembang api di halaman belakang bersama dengan Leeteuk. Akan tetapi, langkah Donghae berhenti ketika gendang telinganya menangkap suara seseorang yang terbatul-batuk dengan keras di kamar mandi dekat dapur. Reflek, kakinya melangkah ke sumber suara. Sedikit menggedor pintu dengan perasan was-was karen pikirannya sudah kemana-mana. Begitu ia memutar knop, ia terkejut karena ternyata pintu tersebut tidak dikunci. Sontak Donghae memasukkan kepalanya ke dalam guna melihat apa yang terjadi, dan betapa terkejutnya dia ketika menemukan sang Ibu duduk di lantai kamar mandi dengan terus memegang dadanya. Batuknya pun belu juga berhenti.
“Ibu!” pekik Donghae.
Anak itu tidak tahu apa yang harus ia lakukan, sehingga ia hanya bisa membantu sang Ibu dengan sedikit menepuk-nepuk punggung sang Ibu sama seperti ketika Ibunya menepuk-nepuk punggungnya ketika batuk. Donghae semakin kalut ketika tepukannya yang semakin menguat tak juga membuat batuk Ibunya reda. Ia menatap sekeliling, mengumpat pelan ketika menyadari rumahnya begitu besar hingga suara teriakannya tidak bisa di dengar oleh orang di luar. Pandangan itu berhenti pada sebuah kantung plastik dengan serbuk putih ke kuningan dan sebuah alat seperti penghisap yang tergeletak di dekat kloset. Ia tidak tahu benda apa itu, tapi otaknya tidak bodoh untuk menarik kesimpulan bahwa Ibunya memakai benda-benda tersebut.
Saat tak ada tanda reda, Donghae berada dipuncak kalutnya ketika sang Ibu justru menangis sambil memegang lengan atasnya kuat-kuat. Ia menatap wajah Ibunya yang kini begitu merah menahan sesak yang mulai merambat, sehingga air mata Donghae mulai mengalir tak terkendali. Anak itu menangis sejadi-jadinya ketika mata sang Ibu kini menutup sempurna di hadapannya. Ia takut. Rasa takut itu begitu membunuhnya, hingga kefrustasian muncul bersama dengan teriakannya yang melengking tinggi memanggil Ayah, Hyung, dan siapapun yang ada di rumah.
.
.
“Sejak saat itu semua berubah dengan aku yang tidak bisa menerima perubahan itu. Sialnya, hukum alam begitu kuat dengan prinsip siapa yang lemah akan binasa. Aku binasa hari itu. Hilang. Musnah. Tiada.
Dan aku tak tahu, apakah akan ada musim semi lagi setelah musim dingin”
-Park Donghae-
.
.
.
If You Gone
Setelah memastikan pekerjaan aman, pria jangkung itu kembali mamcu mobilnya, kali ini dengan kecepatan pelan. Ia sudah tak lagi kuat setelah menyelesaikan pekerjaan paling sulit selama karirnya sebagai manager kepala. Ia tak habis fikir bahwa ia benar-benar melaksanakan perintah pribadi Tuannya yang jika tertangkap akan menyakiti Tuan satunya. Mobilnya berhenti tepat di toko yang terletak di depan gang. Arlojinya yang sudah hampir menunjuk angka dua belas itu semakin menambah keinginannya untuk segera mengistirahatkan tubuhnya. Pria itu masuk, sedikit heran dengan suasana sepi yang ada di toko tersebut.
“Maaf Tuan, kami sudah tutup”
Pantas saja, pikirnya. Ia berbalik, tak banyak protes untuk meninggalkan toko. Tapi kemudian suara lain yang mengizinkannya masuk membuatnya kembali berbalik dan duduk di kursi meja konter, tepat di depan sang empunya suara.
“Anda ingin minum?”
“Satu botol saja”
Tutup botol di buka, pria di balik meja konter yang tak lain adalah Yesung itu menyodorkan gelas dan botol yang sudah dibukanya. Di tengah kesibukannya mengelap gelas-gelas, Yesung sesekali melirik pria tersebut. Mata pria itu lelah dan layu, sama sekali kontras dengan setelan jasnya yang bahkan masih terlihat rapi di tengah raut wajahnya yang sendu. Itulah mengapa ia mempersilahkan masuk meskipun toko sudah tutup.
Yesung menghela nafas, membayangkan dirinya ada di posisi pria tersebut. Dulu, ia sama seperti orang lain yang ingin bekerja menggunakan jas, sepatu pantofel, dan duduk berjam-jam di ruangan ber-AC. Tapi sayangnya nasib tak mendukungnya setelah orang tuanya berpisah dan ia ikut dengan Ibunya. Saat itu, Yesung yang sudah 18 tahun memutuskan untuk tinggal pisah dengan sang Ibu dengan dalih tak ingin menyusahkan. Akhirnya, hidup sendiri itulah yang membuatnya bisa membangun toko. Yesung bersyukur, meski tak besar, tapi di sini dialah bosnya. Tak ada yang memerintahnya dan ia bekerja sesuai keinginannya. Ia pikir, itulah yang lebih penting daripada berbalut jas di ruang ber-AC.
“Jae Kyung-ssi, maaf”
Satu kalimat yang lolos dari bibir pria itu membuat gerakan Yesung sedikit terhenti. Nama yang tak asing itu begitu mengganggu telinganya hingga ia tak lagi fokus pada gelas di tangannya. Yesung menajamkan telinga, bersiap kalau-kalau ada kalimat lain yang lolos dari mulut pria itu.
“Anda pasti kecewa”
Yesung mengerutkan kening, sedikit kehilangan minat untuk terus memasang telinga. Tapi ia tidak diam, kali ini berusaha memancing obrolan.
“Kenapa?” tanya Yesung ragu.
“Park Seung Hwan meminta saya memastikan bahwa DH tidak kembali. Sedangkan saya tahu Anda berusaha begitu keras untuk menjemput DH. Rasanya seperti berdiri di atas duri, saya tidak tahu harus pergi kemana. Jadi saya hanya patuh”
DH? Inisial itu tertulis di gantungan kertas pada buket bunga milik Donghae. Jika inisial itu adalah sebuah kebetulan, lalu bagaimana dengan Jae Kyung dan Park Seung Hwan?. Otak Yesung bekerja, mencoba menggabungkan semua memori yang ada di otaknya. Dua nama yang sama sekali tidak asing, ditambahkan dengan inisial yang aneh. Ah, tidak. DH berarti Donghae. Semua itu menyambung bersama dengan kalimat pria di depannya. Emosinya memuncak, terlebih ketika pernyataan Leeteuk yang ingin membawa Donghae bertentangan dengan wajahnya yang acuh tak acuh.
“Maaf”
“Maaf, kami sudah tutup. Anda bisa membawa sisanya” ujar Yesung yang kembali menutup botol pria itu. kemudia ia mnyuruh seorang pegawinya untuk membopong pria itu setelah ia mengambil kunci mobil yang pria itu geletakkan di sampingnya.
Hatinya sedang buruk, ia tidak bisa terus melihat pria itu di depannya. ia juga tak bisa terus berada di posisinya. Dengan cepat Yesung meletakkan gelas dan keluar dari toko dengan sedikit membanting pintu, membuat pegawainya sedikit terkejut dengan perubahan bosnya. Yesung masuk ke dalam mobil, menekan gas keras-keras melewati mobil pria itu yang masih juga tak beranjak. Tujuannya hanya satu, yakni Leeteuk. Jadi ia terus menghubungi Leeteuk berulang kali hingga ia mendapat sahutan.
Tengah malam itu, bukan hanya Yesung atau Jung Han saja yang sedang beradu dengan emosinya, Donghae juga. Sosok yang menjadi pusat emosi Yesung dan Jung Han itu terus bergerak di atas kasurnya. Berbalik ke kana, ke kiri, kemudian ke kanan lagi, sesekali terlentang, berkali-kali menutup mata dan menghela nafas. Pikiran Donghae sedang penuh, obrolannya dengan Yesung tadi dan bayangan Kyuhyun bercampur. Sungguh, ia merasa bersalah pada adiknya itu.
Donghae tidak bisa diam jika menyangkut Kyuhyun, jadi ia memutuskan untuk beranjak dari kasurnya menuju kamar Kyuhyun. Pelan-pelan Donghae membuka pintu kamar Kyuhyun dan sengaja tak menyalakan lampu, takut-takut membangunkan adiknya yang Yesung bilang sudah tidur. Ia berjalan begitu pelan hingga tak menimbulkan suara sedikitpun untuk mendekati ke arah Kyuhyun.
“Hidupkan lampunya hyung. Kau mau menabrak meja?”
Dan setelah itu suara kursi jatuh terdengar. Donghae meringis, mengutuk dirinya yang terlalu terkejut dengan suara Kyuhyun hingga membuatnya menabrak kursi.
“Sudah kubilang hidupkan lampunya”
Lampu menyala. Donghae kembali terkejut melihat Kyuhyun yang berjalan dari arah pintu.
“Aku baru dari kamar mandi saat kau masuk. Jadi jangan tanya kanapa aku berjalan dari arah pintu”
Mata Donghae tak lepas dari setiap langkah Kyuhyun. Ia ikut mendudukkan diri di lantai ketika Kyuhyun mulai membaringkan diri di atas kasur. Lama ia memandang Kyuhyun, tak berani membuka suara.
“Ada apa?” tanya Kyuhyun yang masih merasakan esensi Donghae di sampingnya.
Menggaruh tengkuknya yang di tekuk, Donghae begitu gugup. Tapi kemudian ia menggeleng, dan menarik dirinya untuk mendekat ke tubuh Kyuhyun. Menarik dan menghembuskan nafas pelan untuk menenangkan dirinya yang gugup.
“Tidak ada. Hanya ingin mengatakan yang sebenarnya terjadi hari ini”
Dua detik menjadi begitu lama ketika Donghae menunggu reaksi Kyuhyun. Tanpa sadar ia meremas- jari-jarinya sendiri, berusaha mengurangi kegugupan. Tapi jawaban yang ia dapat meruntuhkan semuanya.
“Aku tidak ingin tahu dan tak mau tahu alasannya”
Sejak itu, dunia Donghae seperti berhenti. Ia memejamkan mata dengan terus menggigiti bibir bawahnya. Otaknya bekerja keras mencari kesalahan lain yang ia lakukan dan apa kalimat yang selanjutnya harus ia lontarkan. Jika dia boleh menjadi pecundang untuk adiknya, maka saat ini ia akan memilih untuk kembali ke kamarnya dan membiarkan masalahnya beralut. Toh, Kyuhyun masih bersamanya. Tapi, ia buka seseorang seperti itu. terlebih untuk Kyuhyun.
“Boleh aku tidur di sampingmu Kyu?”
Keringat dingin Donghae berhenti ketika Kyuhyun mengangguki pertanyaannya. Segera ia beranjak ke sisi kanan Kyuhyun dan membaringkan tubuhnya. Masih ada space karena Donghae tidak begitu berani untuk menempel ke tubuh Kyuhyun. Jarak seperti itu saja sudah sangat cukup untuknya.
Donghae pikir, setelah itu suasana akan lebih hangat dan cair. Tapi sialnya, suasana justru semakin dingin. Kyuhyun tak bersuara juga tak bergerak sama sekali dari posisinya, sedangkan Donghae begitu takut untuk memulai. Meminta tidur di sini saja sudah keputusan besar yang ia lakukan di tengah hubungannya yang sedang tidak baik dengan Kyuhyun.
“Hyung...”
Donghae memiringkan tubuhnya menghadap tubuh Kyuhyun yang masih membelakanginya. Ia menatap punggung Kyuhyun lekat-lekat tanpaa mengelurkan suara sedikitpun. Ia tak mau Kyuhyun berhenti melanjutkan kalimatnya karena dirinya.
“Kau tahu aku selalu menunggumu kan?” Kyuhyun memberi jeda, dan Donghae mengangguk-angguk pelan. Kyuhyun melanjutkan, "Aku menunggumu karena aku tahu kau akan pulang. Tapi aku tidak suka jika kau pulang karena terpaksa”
Kalimat itu bermakna lain, memiliki pesan lain, ungkapan lain, dan Donghae tahu itu. Air matanya lolos dari sudut mata, jatuh ke sarung bantal putih milik adiknya. Ia tak suka air mata, jadi ia seka cepat-cepat agar tak menimbulkan isak. Kemudian Donghae menghapus semua jarak dan memeluk tubuh Kyuhyun dari belakang. Tak mempedulikan tubuh Kyuhyun yang sedikit tersentak dengan gerakan tiba-tibanya.
“Maaf Kyu-ahh. Seharusnya aku mengatakn yang sebenarnya. Terlepas dari kelebihan yang kau miliki, tidak seharusnya aku berbohong dan menutupi semuanya. Maafkan aku. Kau tahu, aku benci ketika adikku menjauh karena diriku”
“Aku tidak menjauh. Aku hanya menunggumu, tapi kau selalu datang dalam bentuk semu. Selanjutnya, kau harus benar-benar datang”
“Aku janji. Sekarang, maukah kau memaafkanku?”
“Asal kau mengizinkanku minum satu botol saja besok”
Kyuhyun berbalik, membuat mata keduanya bertemu di ajrak yang dekat. Tanpa sadar Donghae mengangguk dan mengatakan setuju, sebelum kemudian ia menggeleng keras ketika Kyuhyun membalas pelukannya sambil berteriak senang.
“Ya, tidak bisa seperti itu. Kau masih di bawah umur. Tidak bisa!”
“Yak!” teriak Donghae kesal yang lagi-lagi kalah dari Kyuhyun.
Donghae berusaha melepas pelukannya, tapi Kyuhyun terus memeluknya erat. Menautkan jari-jarinya untuk membuat simpul yang tidak bisa Donghae lepaskan. Acara marah tig hari ternyata membuatnya begitu meindukan Donghae, tadi ia tidak bukan tipe yang main peluk hanya karena ia bahagia. Jadi ia bersyukur dengan situasi kali ini.
Akan tetapi, jauh di dalam hati, Kyuhyun sama sekali belum puas. Ia boleh berbaikan dengan Donghae. Tapi ia tak melupakan nama Kim Kibum yang hadir dalam obrolan yang di dengarnya. Nama itu begitu menganggu, seperti ada sesuatu yang membuat nama itu begitu dekat namun jauh dari Donghae, dan ia bersumpah akan mencari tahu.
Esoknya, Donghae benar-benar menghabiskan waktu bersama Kyuhyun. Ia sengaja mengambil cuti dari semua pekerjaannya sepulang sekolah. Ia pikir, waktu seperti ini harus ia ambil utnuk memperbaiki hubungannya dengan Kyuhyun yang sempat renggang. Sayangnya, lagi-lagi Donghae kewalahan mencegah rengekan Kyuhyun untuk minum. Terhitung sudah dua botol soju yang adiknya itu teguk persis untuk malam ini.
“Ahjumma, satu botol lagi”
“Tidak ahjumma” potong Donghae cepat seraya meraih tangan Kyuhyun yang melambai. Ia menghela nafas, ingin sekali memukul kepala Kyuhyun.
“Ayo pulang, Kyu” ajak Donghae yang dengan cepat berdiri dan menarik tangan Kyuhyun, tapi dengan gerakan cepat pula Kyuhyun melepas tangannya. Donghae berhenti, menoleh, mengerutkan kening melihat penolakan yang ia terima.
“Siapa Kim Kibum?” lirih Kyuhyun membuat Donghae membelalakkan mata, menelan ludah, tangannya bergetar, rasa takut memuncak. Sesuatu yang selalu coba ia tutupi, bagaimana Kyuhyun mengetahuinya?
Donghae duduk kembali, meletakkan ranselnya pada posisi sama persis seperti tadi. Lama ia menatap Kyuhyun, dalam. Otaknya berputar, bingung jawaban seperti apa yang harus ia lontarkan. Hubungannya dengan Kyuhyun baru membaik, tidak mungkin ia merusaknya karena berbohong lagi. Tapi tidak ada hal lain, kecuali berbohong.
“Ah, dia temanku. Kenapa?” jawab Donghae singkat dan cepat, ingin menutupi kegugupannya.
Respon Kyuhyun selajutnya adalah yang paling menakutkan. Anak itu hanya diam, matanya yang hampir menutup menatap Donghae. Manik kelabu dibalik kelopak itu menyiratkan warna lain yang tak belum pernah ia temui sebelumnya. donghae menelan salivanya sendiri, meremas jeansnya kuat-kuat, dan bibir dalamnya ia gigit.
Tiba-tiba Kyuhyun menggeleng kuat, tangannya bergerak sesuai dengan gerakan kepalanya, matanya tertutup sempurna, tapi kepalanya masih tegak berdiri. “Tidak, tidak. Aku hanya ingin bertanya. Kenapa? Tidak boleh? Bukankah temanmu, berarti temanku juga?”
Donghae kembali menelan ludahnya keras-keras. Segera ia menuangkan soju dalam gelas Kyuhyun dan gelasnya. “Oh, iya benar. Temanku berarti temanmu juga” jawab Donghae gugup dan langsung menegak soju pertamnya malam ini.
Senyum Kyuhyun sumringah, terlebih ketika Donghae menyodorkan segelas soju ke arahnya. Kyuhyun mengangguk sebelum kemudian tak sadarkan diri. Donghae bangkit, segera meletakkan tubuh Kyuhyun di atas punggungnya. Ia sedikit kualahan karena tubuh Kyuhyun yang lebih tinggi membuatnya sulit untuk meraih tongkat dan ransel yang tergeletak di lantai. Tapi perlahan, sama seperti terakhir kali Kyuhyun mabuk, Donghae menggendong tubuh itu di punggungnya. Sedikit mengeluh, tapi sama sekali tak berhenti melangkah.
“Hyung, aku harap kita terus seperti ini” bisik Kyuhyun lirih tepat ditelinga Donghae.
Donghae mengangguk, mengiyakan doa Kyuhyun. Ia bodoh karena gerakan itu tidak mungkin dilihat Kyuhyun, tapi bukankah seharusnya doa memang tak diketahui oleh siapapun? Tapi bagaimanapun, doa itu harus terkabul, apapun alasannya.
“Aku mungkin tak memilikimu di masa lalu, tapi hari ini, esok, lusa, dan di masa depan, kau milikku. Bukan yang lain. Jangan khawatir” ujar Donghae entah Kyuhyun dengar atau tidak.
***

If You GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang