2# Mata Elang

136 16 9
                                    

"Tatapanmu menyeramkan. Tapi matamu, mengapa terlihat begitu indah?"

Debu mengepul dari tanah kering, terbang tertiup angin masuk ke rongga paru paru. Terasa sesak, sepertinya memang sudah tak ada lagi udara segar di bumi ini. Belum lagi panas matahari yang menusuk kulit hingga menjamah tulang. Rasa-rasanya Khansa ingin segera berlari lalu menceburkan dirinya ke termos Tukang es doger di tepi jalan.

Pada jam pulang seperti ini, Khansa memilih pulang berjalan kaki bersama kawan-kawan tercintanya -Yani dan Listi, menurut Khansa itu lebih berfaedah, daripada harus menghabiskan waktunya berkerumun di tempat sumpek untuk menunggu jemputan datang.

"Gila ya, ni hari panas amat. Neraka bocor kali nih!" gerutu Yani sembari mengibas ngibaskan tangannya -yang mungkin ia bayangkan tangannya adalah kipas abang abang tukang sate.

"Yaelah, kaya nggak biasa aja lo kepanasan." timpal Khansa tanpa dosa.

"Iya tuh, muka lo juga udah kayak teri gosong" Listi menambahkan.

Yani mengerucutkan mulutnya, tanganya ia lipat di dada. Melihat ekspresi Yani yang seperti ikan Koi tertusuk bambu sate, sukses membuat Khansa dan Listi tergelak.

Melihat kedua temannya tergelak, bukannya marah, Yani malah ikut tergelak. Akhirnya mereka bertiga tertawa dipinggir jalan. Mungkin orang yang tidak tahu akan menganggap mereka adalah korban mecin akut.

*

Tenggorokan mereka mulai kering karena terbahak sepanjang jalan. Mereka melanjutkan langkah mereka -kini- dalam diam, mereka larut dalam pikiran mereka masing-masing.

Khansa mendongakkan wajahnya, betapa terkejutnya ia saat mendapati banyak mata sedang menatap tajam ke arah mereka. Mata milik segerombolan cowok berandal, dengan seragam putih-abu. Khansa punya firasat buruk.

"Stop! " ujar Khansa lirih, tangannya ia luruskan macam palang kereta.
Serentak Yani dan Listi mengangkat wajah dan menghentikan langkah mereka.
"Apaan sih?" ucap Listi dengan nada bingung. Nampaknya, Yani dan Listi masih belum sadar jika mereka sedang dihujani dengan tatapan- tatapan tajam yang kini semakin menyeramkan kala beberapa dari mereka saling berbisik dengan senyum miring tertungging diujung bibir mereka.

"Lo pada nggak liat hah? Tuh pada ngeliatin kita. Apalagi yang pake motor biru!" Khansa melirik motor bebek biru yang  penuh modifikasi di sana-sini.

"Ha iya tuh, gila gue merinding" timpal Listi bergidik ngeri.

"Lah tinggal lewat aja, toh kita nggak bikin salah." seperti tak ada apa-apa, Yani meneruskan langkahnya yang diikuti pekikan tertahan dari Khansa dan Listi.

"Gila tuh anak," Listi menggeleng tak percaya.

"Gila gila! Lo tuh yang gila!" Ujar Khansa lalu mengikuti jejak Yani, ia mencoba berjalan santai. Mau tidak mau, Listi juga mengikuti Khansa dari belakang.

Saat mereka tepat berada di depan para berandalan itu, Khansa sedikit mengangkat kepalanya. Ia terkejut, saat ada sepasang mata segelap malam sedang menatapnya. Mata mereka saling bertemu sejenak, membuat Khansa sedikit terperangah, karena jujur, ia belum pernah melihat tatapan setajam -atau bahkan seindah- itu. Begitu ia sadar, ia segera memalingkan wajahnya.

'Bodoh..bodoh! Kenapa lo malah liatin dia, Khansa!' Rutuk Khansa dalam hati.

Khansa kembali menundukan wajahnya. Jantungnya berdegup cepat, dadanya bergemuruh, nafasnya sulit untuk ia atur. Khansa sungguh takut.

Yani yang melihat perubahan raut wajah Khansa heran, ia melihat wajah Khansa yang memucat dengan raut takut.

"Sa, lo kenapa?"

"Nggak. Nggak papa." kilah Khansa.

"Ayo cepet pulang. Gue laper" protes Listi.

"Yeee.. Otak lo makanan mulu tapi badan lo cungkring banget kayak kena cacing!" timpal Yani.

Khansa hanya diam, ia tidak begitu mendengar apa yang kedua temannya bicarakan.
Ia takut.
Oke, jujur Khansa sangat takut.

***

Si Kunang BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang