4# Elang Biru

103 11 1
                                    

'...Itu cukup bisa ngasih gue pengertian. Kalau menunggu bukanlah hal yang menyenangkan apalagi hal yang pantas dipertahankan.'

Sudah hampir sebulan berlalu semenjak tragedi Khansa bertemu dengan kumpulan cowok berandal. Khansa juga sudah hampir melupakan kejadian itu . Kini ia fokus kepada Ujian Nasional yang tengah ia jalani.

Mudah bagi Khansa untuk mengerjakan semua soal keramat itu. Apalagi kemampuan berfikir Khansa berada di atas rata-rata. Kini Khansa berharap ia bisa masuk jajaran sepuluh besar peringkat paralel. Khansa ingin membuat kedua orang tuanya bangga.

Khansa dikejutkan oleh seseorang yang menepuk pundak Khansa. Ia memutar posisi tubuhnya. Seketika senyum Khansa merekah. Khansa tersenyum lebar hingga matanya membentuk lengkung bulan sabit.

"Ha..hai, Han!" sapa Khansa canggung.

"Hai, Sa. Ntar lo pulang sama siapa?" tanya Hanif mengumbar senyum tipis.

"Oh, ya biasa gue pulang sama duo kunyuk. Kenapa?"

"Mm... Balik bareng sama gue ya?"

Seketika wajah Khansa langsung memanas. Terlihat jelas semburat merah di pipinya.

"Oh, oke. Tapi gue ngabarin Yani sama Listi dulu ya." Khansa merogoh saku rok biru tuanya lalu mengirimkan pesan singkat pada Yani dan Listi.

"Udah? Ayo buruan!" ajak Hanif antusias.

"Iya."

Mereka kini pulang bersama. Sesuatu yang sangat Khansa idamkan sejak lama. Tapi mengapa baru sekarang Hanif mau mengajaknya pulang bersama? Padahal, mereka dikabarkan dekat sudah cukup lama. Ya walaupun mereka belum terikat suatu hubungan, kecuali hanya sekedar 'teman dekat'.

***
Sepanjang perjalanan pulang, Khansa dan Hanif terlihat sangat bahagia. Mereka tertawa bersama di atas motor milik Hanif. Sesekali mereka membahas mengenai soal-soal ujian. Maklum, mereka berada dalam jejeran siswa dengan tingkat kecerdasan yang di atas kata lumayan.

"Sa, tadi ujian matematika susah nggak?" Tanya Hanif tetap fokus melajukan motornya.

"Ya lumayan lah. Nggak susah kok."

"Wah. Lo hebat ya, Sa. Udah baik, Pinter, terus ummm... Cantik lagi. Gue jadi tambah suka."

Kalimat yang baru saja dilontarkan Hanif kontan langsung membuat Khansa malu. Dadanya berdebar. Ia merasa dadanya dihunus oleh ribuan anak panah. Bukan sembarang anak panah. Tapi ini, anak panah cinta.

"Apaan sih lo, Han!" Khansa menepuk pundak Hanif. Khansa tersenyum lebar. Jika digambarkan, mungkin sudah ada benda berbentuk hati yang menyembul dari balik dadanya.

"Aww. Sakit, Sa!" Pundak Hanif terangkat, membuat motor yangi kendarai oleng. Dan disusul dari gelak tawa dari Khansa dan Hanif.

Mereka tertawa bahagia, hingga mereka tidak sadar jika gerak gerik mereka sedang diperhatikan oleh sepasang mata segelap malam.

***

"Wah, Sa! Gue nggak nyangka kalo lo pulang bareng Hanif, iri deh gue!" ucap Shella heboh.

"Gue juga nggak nyangka. Berawal dari kecuekan Hanif sama gue, sampe kita akhirnya semakin deket, itu semua seolah berjalan terlalu cepat, gue juga nggak nyangka kalo Hanif bakal welcome sama gue."

"Iya, Hanif welcome banget sama lo. Padahal pas gue ngedeketin dia, gue berasa lagi ngomong sama arca batu. Dia sama sekali nggak welcome ke gue. Well, mungkin dia suka sama lo."

Mendengar perkataan Shella barusan, membuat Khansa seakan terbang melayang ke langit ketujuh.

"Ah, perasaan lo doang kali." kilah Khansa, padahal sudah jelas jika Hanif memang menyukainya.

Si Kunang BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang