7# Kakak Tua

72 10 3
                                    

Gadis itu mengayunkan langkahnya dengan cepat. Ia terlihat sangat terburu-buru. Rambutnya yang dikuncir dua terayun ke kanan dan kiri. Poninya terbelah tertiup angin. Sesekali ia menatap jam tangan kuning terang yang melingkar di pergelangan tangannya. Baru pukul 06.55, itu tandanya masih ada waktu 5 menit sebelum upacara pembukaan MOS dimulai.

Khansa menghembuskan nafas lega, tampak di depan Khansa jika pintu gerbang sekolah masih terbuka. Ia segera masuk dengan tergesa-gesa. Ia tidak ingin terlambat dihari pertamanya masuk sebagai -calon- siswa SMA.

Sebelumnya Khansa telah dipilihkan beberapa SMA favorit di kotanya. Namun, setelah Khansa memikirkan semuanya, ia mantap memilih sekolah SMA Merah Putih. SMA biasa saja, yang bahkan tidak masuk ke dalam jejeran sekolah favorit. Setiap ditanya kenapa, pasti Khansa akan memberi alasan tidak masuk akal -yang bahkan mungkin tidak pantas disebut alasan.-

Di bawah pohon Akasia terlihat Tantri, Shella, dan Listi tengah duduk. Sesekali mereka terlihat berbisik-bisik, lalu tertawa. Berbisik lalu tertawa lagi. Orang yang ada di sekitar mereka sepertinya sudah bisa menebak, kalau mereka adalah korban mecin yang tidak terselamatkan.

Khansa segera menghampiri mereka. Tanpa pikir panjang ia mengambil Air mineral yang tengah Tantri pegang. Khansa dengan cepat menengguk air mineral milik Tantri hingga habis dengan sekali tarikan nafas. Khansa mengembalikan botol air mineral yang sudah kosong ke Tantri. Ketiganya menatap tak percaya. Mulut mereka membuka sempurna.

"Woy!" Khansa menggerakan telapak tangannya ke atas dan ke bawah, ia mencoba menyadarkan ketiga temannya yang seperti terkena pengaruh hipnotis juru gendam.

Mereka bertiga mengerjapkan kedua mata mereka masing masing. Mencoba meyakinkan diri bahwa itu adalah Khansa sungguhan, bukan hewan unta atau semacamnya.

Prittt

Suara nyaring pluit terdengar menusuk telinga. Menunda cacian yang akan Tantri, Shella, dan Listi lontarkan kepada Khansa.

Para calon peserta didik baru terlihat sangat antusias. Mereka segera berlari membentuk barisan seperti yang telah kakak-kakak OSIS arahkan. Di depan barisan mereka, terlihat beberapa orang dengan setelan seragam khusus OSIS telah berbaris rapi. Mereka menatap calon adik kelas mereka dengan tatapan ramah.

'Sepertinya ini akan jadi MOS yang menyenangkan.' batin Khansa girang.

Namun anggapan itu segera tertepis saat Khansa melihat seseorang diantara barisan kakak-kakak OSIS. Tatapan seseorang itu berbeda, ia tidak mengumbar tatapan ramah seperti yang lain. Ia mengumbar tatapan yang tajam. Tatapannya begitu tajam -setajam silet-. Ralat! Tatapan itu tajam seperti tatapan elang yang tengah mengincar mangsa, dan sepertinya tatapan itu tak asing bagi Khansa.

'Ah, itu si biru!!'  Khansa ingat, dia adalah orang yang sama, yang telah menatap Khansa dengan tatapannya yang tajam, dengan matanya yang segelap malam. Ternyata tatapannya masih sama. Sama tajam, dan memukau.

*

Sudah hampir 30 menit mereka berdiri di tengah lapangan. Keringat sebesar butiran jagung menetes dari dahi mereka yang sedang berbaris. Namun hebatnya, mereka tampak kuat. Belum ada yang pingsan sejauh ini. Dan semoga tidak ada.

Kakak-kakak OSIS berdiri di depan masing masing barisan. Mereka mengecek kelengkapan dan sesekali mencibir mereka yang tidak membawa kelengkapan sesuai ketentuan.

Khansa berdebar. Nafasnya memburu. Di depannya kini berdiri seorang cowok dengan perawakan tinggi, rambut hitamnya jatuh di dahinya yang terang, terlihat begitu kontras. Matanya tajam menatap Khansa. Begitu tajam seolah bisa membunuh siapa saja yang balas menatapnya. Senyum miring tersungging dari bibir tipisnya kala melihat Khansa yang  kini tertunduk dengan wajahnya yang mulai pucat.

Si Kunang BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang