5# Broken Wings

85 13 0
                                    

Satu-satunya hal yang Khansa ingin lakukan setelah ia turun dari panggung adalah pulang dan melepas heelsnya. Tumitnya sangat pegal. Jari-jarinya seakan ingin lepas dari tempat semula. Ia tak terbiasa -bahkan tak pernah- menggunakan heels yang haknya begitu tinggi.

Khansa kembali duduk dibangkunya. Teman-teman sekelasnya menatap dengan sorot kagum. Beberapa dari mereka menjabat tangan Khansa dan mengucapkan selamat padanya. Namun kini, Khansa hanya menginginkan ucapan selamat yang keluar dari mulut seseorang. Khansa menolehkan kepalanya ke sana- sini. Ia mencari seseorang yang ia inginkan. Khansa mencari Hanif.

Ya, Hanif. Khansa ingin dihari yang sangat menggembirakan ini menjadi hari yang spesial dan berkesan baginya. Ia ingin kepastian dari seorang, Yanuar Hanif.

Sebenarnya saat Khansa melangkahkan kaki di panggung, Hanif juga ada di sana. Namun Hanif hanya mengulum senyum tipis yang dingin.

Khansa keluar dari area panggung, ia berniat mencari Hanif. Khansa mengayunkan langkahnya ke arah kantin, Namun tidak ada Hanif. Lalu ia berfikir sejenak.

'Ah iya! Hanif suka tempat itu!' Khansa mempercepat langkah kakinya. Kini ia setengah berlari. Khansa hampir sampai ke gazebo taman belakang sekolahnya. Namun langkahnya terhenti ketika melihat Hanif duduk di dalam gazebo taman. Tidak. Hanif tidak sendirian. Ia bersama seorang gadis, nampaknya ia adik kelas Khansa.

Tenggorokan Khansa tercekat. Ia melihat Hanif menggenggam kedua tangan gadis itu, terlihat begitu hangat. Bahkan hingga sekarang Hanif belum pernah menggenggam tangan Khansa sehangat itu.

Bibir Hanif membuka, sepertinya ia akan mengucapkan sesuatu. Khansa menajamkan pendengarannya. Ia juga menguatkan hatinya untuk mendengar semua lontaran kata yang keluar dari bibir Hanif.

"Chika, udah lama gue nyimpen perasaan ini. Gue suka sama lo, dan gue nggak bisa bohong sama perasaan gue. Gue sayang sama lo, Ka!" ucap Hanif mengeratkan genggamannya.

"Aku juga sayang sama Kakak. Tapi, bukannya selama ini Kakak deket sama Kak Khansa? Aku pikir Kakak udah jadian."

"Gue emang deket sama dia. Tapi gue nggak suka sama dia. Dia cuma pelarian gue ketika lo membuat gue kecewa. Dia cuma pelarian gue dari lo. Gue nggak sayang sama Khansa. Dan gue cuma sayang sama lo, Chika!"

Khansa membeku di tempat. Ia tak percaya jika Haniflah yang melontarlan kata-kata busuk itu.

'Jadi gue cuma pelarian?
Pelarian? Pelarian?. Iya Hanif barusan bilang kalau gue cuma pelarian.'  batin Khansa perih.

Pandangannya kabur, air matanya kini penuh, dan tumpah saat hanif memeluk gadis itu. Hatinya sungguh sakit. Ia merasa seperti dihantam ribuan godam dan membuat hatinya hancur sehancur-hancurnya.

Khansa hendak berlari, namun ia tak sengaja menginjak sebuah ranting kering dan mengasilkan suara retakan lirih,
'Shit!!!' batin Khansa. suara itu bisa terdengar Hanif dan Chika.

Hanif dan Chika melepaskan pelukan mereka. Pandangan mereka tertuju ke arah Khansa. Terlihat Hanif akan berlari ke arah Khansa. Tapi Khansa mencegahnya.

"Stop! Mendingan lo berhenti di situ! Jangan harap lo bisa deketin gue lagi setelah mengatakan semua kalimat busuk yang keluar dari bibir manis lo! " ucap Khansa berlinang air mata.

"Ini nggak seperti apa yang lo pikirin Sa!" Hanif mencoba menenangkan Khansa.

"Setelah gue mendengar semuanya dan lo masih bisa bilang ini nggak seperti apa yang gue pikirin? Busuk! Lo membuat gue jatuh ke dalam pesona lo dan ternyata gue cuma di jadiin pelarian dan cih! Lo mencampakan gue! Tapi terimakasih. Lo udah buat gue sadar kalau cinta gue terlalu suci untuk cowok busuk kaya lo!"

Khansa berlari. Ia mengusap air matanya yang kian berderai jatuh seperti hujan. Riasan wajahnya sudah berantakan. Khansa tidak peduli. Ia tetap berlari sekuat tenaga dan berharap kejadian yang baru saja ia alami hanyalah mimpi.

Di sisi lain, Hanif menyesal. Ia tidak tahu kalau Khansa mendengar semua perkataanya. Sekarang ia merasa jahat. Hanif ingin meminta maaf, tapi sepertinya Khansa sangat terluka. Ia tidak mau jika ia menghampiri Khansa sekarang, ia malah akan membuat Khansa semakin sakit.

***

Khansa termenung di bawah pohon, ia menatap nanar pada danau di hadapannya. Perkataan Hanif tadi masih terngiang jelas di otaknya. Pelarian. Khansa hanya sebuah pelarian.

Sekarang ia sudah tidak berada di lingkungan sekolah. Khansa berlari begitu jauh, meninggalkan acara perpisahan yang masih belum usai. Khansa berlari ke arah danau -yang jaraknya cukup jauh dari sekolah. Danau itu tidak terlalu luas. Tapi angin di sana cukup sejuk. Cukup untuk menenangkan gejolak hati Khansa.

Angin menyapu lembut wajah Khansa. Menyibakkan rambut Khansa yang sudah acak-acakan. Angin meniupkan air mata yang mengalir di wajahnya, seolah tahu jika Khansa sedang bersedih.

Khansa mengambil batu kecil yang tersebar di tepian danau. Ia melemparkan batu itu ke danau yang menimbulman riak air danau, ia berharap jika kepedihannya turut terbuang bersama batu yang ia lempar.

"Ternyata sesakit ini melihat orang yang kita cintai mencintai orang lain. Sakit. Gue pikir cuma angin yang sukses membuat air mata gue menetes. Tapi sekarang, gue menangis karena alasan yang lemah. Dan menjijikan. Gue menangis karena hal bodoh yang di sebut; Cinta." Gumam Khansa sendirian. Ia tersenyum palsu.

Semua ini jauh berbeda dari kejadian yang Khansa bayangkan. Ia membayangkan, jika ia bertemu Hanif, Khansa akan mendapat ucapan selamat dan pelukan hangat. Juga sebuah kepastian.

Hanif memang telah memberikan kepastian tentang hubungan mereka berdua. Tapi kepastian itu jauh dari yang Khansa harapkan. Khansa ingin kepastian yang manis. Bukan Kepastian yang pahit. Bahkan rasanya lebih pahit dari empedu.

Rintik air hujan mulai jatuh dari langit. Sepertinya hujan tidak mengerti jika Khansa sedang sedih dan tidak ingin diganggu.

"HUJAN! GUE BENCI! GUE BENCI SEMUANYA! GUE BENCI DIA DAN GUE JUGA BENCI SAMA LO HUJAN!! GUE BENCII!!!" teriak Khansa. Ia menangis terisak isak. Kini bukan hanya mata dan wajah Khansa yang basah. Tapi semuanya. Rambut, baju, badan Khansa, dan juga hati Khansa. Sekarang hati Khansa basah karena darah yang mengalir deras dari luka yang Hanif buka.

Mencintai itu tidak hanya bersiap akan datangnya kebahagiaan, tapi juga bersiap untuk terluka; Teluka saat orang yang kita cintai memilih orang lain.

Si Kunang BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang