6# First Rainbow

62 11 0
                                    

Garis jingga berpadu dalam kelabunya awan. Angin bertiup kencang, membuat pohon bergoyang mengikuti irama angin. Hening. Tak ada suara yang berarti. Hanya ada suara desahan angin menabrak benda-benda padat yang ada di depannya. Angin menyibak rambut Khansa, membelai tubuh Khansa dengan kasar.

Dingin mulai menyeruak. Menjamah kulit dan menusuk tulang. Khansa merengkuh tubuhnya sendiri. Telapak tangannya reflek menggosok kedua lengannya. Ia berharap gesekan dari kulitnya akan sedikit mengenyahkan rasa dingin yang kian menggigit.

Sudah jadi rutinitasnya, duduk di balkon rumah setiap sore sembari menatap kagum sang senja. Namun sore ini senja nampaknya sedang lelah. Ia tak kunjung datang, padahal sore hampir terganti oleh malam.

Khansa tersenyum pada udara kosong. Ulasan senyum itu nampak mengulum sejuta perih dan sakit. Dinginnya udara di luar seakan tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan dingin hati Khansa.

Sudah hampir sebulan berlalu semenjak Hanif menghadiahkan Khansa sebuah luka menganga, yang sampai saat ini luka tersebut masih basah dan perih. Perih. Teramat perih, sampai-sampai Khansa hampir mati rasa. Setiap rentetan kejadian itu sukses membuat mata Khansa berair, dan lagi-lagi jatuh bergulir. Sebenarnya Hanif sudah mencoba menemui Khansa untuk meminta maaf, tapi tak dapat respon apapun dari Khansa. Dan saat Hanif mencoba mendatangi kediaman Khansa ia malah mendapat cacian yang menohok.

*Flashback on*

Hanif berdiri di depan sebuah rumah. Tepatnya di depan sebuah pintu cokelat dengan ukiran bunga teratai yang menawan. Tangan kanannya menggenggam sebatang coklat, ia berharap coklat itu akan sedikit meredam rasa sakit dan amarah Khansa. Hanif memejamkan matanya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri jika Khansa pasti akan memaafkannya. Ia mengangkat tangan kirinya yang terkepal, mencoba mengetuk pintu dengan hati-hati.

Satu kali ketukan. Tak ada respon. Dua kali ketukan. Masih belum ada respon. Dan pada ketukan ketiga Hanif mendengar suara langkah kaki dari dalam. Pintu mulai bergerak terbuka. Seorang gadis muda keluar dari balik pintu.

Wajah Khansa yang semula telah ceria nan ramah kini berubah seketika tatkala melihat seseorang di hadapannya. Sakit. Sangat sakit rasanya menatap kembali mata cokelat itu. Mengungkit harapan indah yang terkoyak brutal.

Khansa hendak menutup kembali pintu, namun tak bisa. Pintu itu terganjal oleh sepatu Hanif.

"Sa, please dengerin penjelasan gue."

Khansa hendak kembali mentup pintu, namun kembali dicegah Hanif.

"Please, Sa. Sekali ini aja." Hanif memohon.

Khansa diam. Ia membuka pintunya lebih lebar, memberi kesempatan Hanif untuk bicara.

"Gue nggak bermaksud untuk itu, Sa. Gue nggak bermaksud buat melukai lo. Gue cuma...cuma..." Hanif tersendat, ia tak tahu kalimat apa yang pantas diucapkan agar tak menambah luka Khansa.

"Cuma apa? Cuma jadiin gue pelarian? Cuma jadiin gue pelampiasan dari semua rasa kecewa dan kesepian lo?! Gue sadar, harapan gue terlalu besar. Harapan gue terlalu tinggi buat bisa milikin lo. Ah iya! Jangankan memiliki lo, dapet balesan rasa yang sama dari lo aja nggak mungkin." Khansa tersenyum miris. Air matanya kini mengalir deras dari matanya.

"Bukan kayak gitu, Sa. Oke, gue minta maaf kalau perkataan gue menyakiti hati lo. Dan gue..."

"Gue udah maafin lo. Sekarang mendingan lo pergi dari sini sebelum gue berubah fikiran!" Nafas Khansa memburu. Ia mencoba mengatur emosinya.

"Oke kalo itu mau lo. Gue punya sesuatu, dan gue harap lo menerimanya sebelum gue pergi." Hanif menyodorkan sebatang coklat kepada Khansa. Khansa menyeringai. Ia tak menyangka Hanif masih bisa bersikap manis padanya.

"Simpen coklat itu buat lo, gue minta jangan ganggu hidup gue lagi. Dan gue juga minta satu hal, cukup gue aja yang tersakiti karena semua perlakuan munafik lo. Jangan ada cewek lain yang menyia-nyiakan air matanya karena perkataan busuk lo." Khansa melenggang meninggalkan Hanif

Hanif membeku di tempat. Kini semuanya telah jelas. Khansa sangat membenci dirinya.

*flashback off*

Pelarian...
Kata itu terus terngiang dalam otak Khansa. Perih jika Khansa teringat kata busuk itu.

Air mata Khansa menetes perlahan. Setiap rentetan kejadian pada waktu itu sukses membuat Khansa kembali meneteskan air mata.

"...Dia cuma pelarian gue dari lo..."
"...Gue nggak sayang sama Khansa..."

Dan kalimat itu terlintas kembali. Kalimat menyakitkan yang terlontar dari bibir manisnya. Kalimat yang membuka luka menganga di hati Khansa.

Ia menatap awan kelabu dengan sendu. Tiupan angin yang semakin kencang tidak Khansa hiraukan. Walaupun dingin terus merambati kulitnya, ia masih ingin berada di luar. Ia merindukan senja.

"Angin. Gue nggak tau kenapa gue semakin larut dalam kesedihan ini. Seharusnya gue nggak pernah jatuh dalam pesona dia. Seharusnya juga gue nggak terlalu berharap. Seharusnya gue nggak menangisi apa yang telah dia perbuat ke gue. Seharusnya."

Hening. Tentu saja tidak ada balasan suara dari angin. Hanya satu tiupan lembut di wajah Khansa yang angin hadiahkan. Itu cukup bagi Khansa.

"Makasih, angin. Walaupun lo nggak bisa ngomong, tapi lo selalu memberikan belaian lembut lo buat gue." Khansa tersenyum pada udara kosong.

***

Tetesan air jatuh dari balik langit yang hitam.  Semakin lama, semakin deras. Sepertinya hujan malam ini akan berlanjut hingga pagi.

Khansa merebahkan tubuhnya di atas ranjang, sekedar melepas penat yang tubuh dan hatinya rasa. Ia memejamkan matanya. Ia mengumpulkan tekadnya yang seakan hancur berserakan menjadi puing. Khansa ingin membangun tekad itu kembali. Ia ingin melupakan Hanif, dan berikut semua kesakitan yang telah Hanif berikan.

Mungkin ini tidak mudah. Tapi setidaknya Khansa harus mencoba.

"Oke, Sa. Maybe it's not easy, but you can try, Khansa." Khansa menyemangati dirinya sendiri. Ia tidak mau terus menerus terjebak dalam lubang hitam, ia tidak mau tersedot ke dalam lubang hitam itu dan tidak bisa kembali.

Derai hujan di luar nampaknya semakin deras. Itu tentunya bukan hal yang Khansa sukai. Tapi, kini Khansa merasa bersyukur, karena suara hujan di luar mampu meredam suara isaknya.

'Biarin aja malam ini hujan, biar besok pagi bakalan ada pelangi.
Biarin aja malam ini gue nangis, yang penting besok bakalan ada semburat senyum yang melengkung indah kaya pelangi dibibir gue,' harap Khansa dalam hati.

Si Kunang BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang